10. Sepertinya Sedang Bermimpi

911 134 3
                                    

Giyan melemparkan tasnya dengan asal di tempat tidurnya. Wajahnya masih terasa memanas, dia bahkan terlalu malu untuk menatap tampilan wajahnya di cermin. Sudah pasti saat ini wajahnya memerah karena menahan malu.

Dia mengerang tertahan, berusaha menghilangkan pikirannya dari hal memalukan yang baru saja dilakukannya tadi. Kali ini bukan karena adegan ciuman yang baru saja dilakukannya dengan Liam, walaupun ciuman itu juga sebenarnya cukup membuat pikirannya bekerja cukup keras. Tapi ada hal lebih penting dari sekadar ciuman, hal memalukan yang seharusnya bisa ditahannya.

Giyan membuang napas panjang dan merasa hari ini dirinya begitu menyedihkan. Entah angin dari mana yang membuatnya nekat hingga mengajak Liam pacaran. Liam pasti berpikir jika dia sudah mulai tidak waras. Bagaimana bisa tiba-tiba saja dia mengajak lelaki yang selalu berwajah sombong itu untuk pacaran?

Agar pikirannya kembali waras, Giyan berusaha berguling dari pinggir tempat tidur ke pinggir yang lainnya sambil terus memaki dirinya sendiri. Tapi nyatanya dia masih ingat dengan jelas bagaimana tadi tiba-tiba mengajak Liam berpacaran.

Giyan menjerit dengan keras dan terus menjerit karena dia merasa sangat malu atas apa yang telah dilakukannya. Hanya karena adegan ciuman tadi, dia terbawa suasana dan lebih gilanya lagi malah mengajak Liam berpacaran. Walaupun hanya ajakan untuk berpura-pura pacaran, tapi tetap saja bagi Giyan, apa yang telah dilakukannya begitu memalukan.

Wajar saja jika Liam menolak mentah-mentah permintaannya tadi, hanya orang tidak waras saja yang akan mengiakan permintaannya tadi. Hanya orang yang tidak waras seperti dirinya saja yang mau saja mendengarkan permintaan pacaran pura-puranya tadi.

Giyan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan seluruh wajah yang terasa memanas. Dia tidak bisa membayangkan apa yang sedang dipikirkan Liam setelah ajakan pacarannya tadi.

Andai saja Giyan bisa lebih menahan diri, mungkin hingga saat ini Giyan akan merasa lebih baik, bukan perasaan cemas dan malu seperti ini. Liam pasti akan memberikan cap wanita paling aneh padanya yang cukup dengan beberapa kali pertemuan saja sudah dengan beraninya mengajak pacaran.

Suara ponsel yang berdering membuat Giyan tersentak. Tangannya kemudian meraba-raba tasnya yang tergeletak di tempat tidur. Giyan bahkan sebenarnya sudah tidak bersemangat lagi untuk mengetahui siapa yang menghubunginya.

"Sudah sampai di apartemen?" tanya suara dari balik panggilan telepon. Giyan mengernyit dan menatap layar ponselnya sebelum mulai berbicara.

"Sudah, barusan," jawabnya singkat dengan nada tidak bersemangat karena yang menghubunginya adalah Gwen.

"Diantar Liam?" tanya Gwen lagi dan dijawab Giyan dengan gumaman pelan.

"Besok usahain deh gimana caranya biar mobil gue bisa dibawa ke bengkel," pinta Giyan. Walaupun tadi Liam telah menawarkan diri akan mengantar dan mengambil mobilnya yang saat ini berada di kediaman keluarga Gwen, tapi setelah penolakan Liam tadi, Giyan jadi berpikir jika tidak seharusnya dia berharap pada pertolongan Liam. Giyan yakin jika Liam pasti akan berpikir ulang untuk menawarkan bantuannya setelah apa yang terjadi tadi.

"Nggak minta tolong Liam aja?" tanya Gwen.

"Nggak deh. Dia juga ada kerjaan lain," balas Giyan dengan nada kesal karena merasa Gwen terlalu bergantung pada Liam.

"Langsung aja minta orang bengkel buat bawa mobilnya," ucap Giyan.

"Kayaknya lo mesti mempertimbangkan buat mencari mobil baru," timpal Gwen.

"Iya, tunggu syuting yang ini selesai dulu," balasnya.

"Malam ini gue nggak perlu temanin lo di apartemen, kan?" tanya Gwen memastikan.

"Nggak perlu deh. Besok juga nggak ada syuting atau kerjaan. Besok gue mau bangun sesuka hati gue," sahut Giyan. Gwen kemudian mengakhiri panggilan telepon setelah Giyan berkali-kali memperingatkan Gwen untuk mengurus mobilnya besok.

Setelah panggilan Gwen berakhir, Giyan kembali memaki dirinya sendiri yang kesulitan untuk menghapus pikirannya tentang Liam. Lagi-lagi tentang Liam dan semuanya benar-benar membuat Giyan kesal.

***

Giyan terbangun dari tidurnya dengan rasa nyeri di kepalanya yang begitu kuat. Padahal pagi ini dia sudah sengaja mematikan seluruh alarm yang dimilikinya, tapi tetap saja matanya tidak mau berkompromi dan bangun lebih awal dari keinginannya.

Semalam Giyan merasa kurang tidur karena selalu ada sosok Liam yang terus-menerus membayangi pikirannya. Begitu menyebalkan sampai rasanya dia ingin pura-pura lupa ingatan saja.

Padahal tidak ada syuting ataupun pekerjaan di pagi hari ini, tapi dia malah bangun lebih awal. Giyan meringis saat menyadari jika pagi ini pasti akan dilewatinya dengan perasaan tidak nyaman. Dan semuanya karena Liam.

Giyan masih sempat bersyukur karena hari ini tidak ada syuting, yang artinya dia tidak akan bertemu Liam hingga beberapa waktu ke depan. Dengan perasaan tidak nyaman yang terus dirasakannya, Giyan terus memaki dirinya sendiri. Dia sudah sering mengagumi sosok lelaki tampan, bahkan jauh lebih tampan dari Liam. Tapi kenapa hanya dengan Liam, dia merasa seperti orang bodoh yang sulit sekali mengendalikan dirinya?

Kepalanya masih terasa berat, perasaannya begitu tidak nyaman, sungguh merupakan perpaduan yang tidak baik untuk pagi hari yang cerah ini. Giyan tidak mau membayangkan bagaimana dia akan bersikap saat bertemu dengan Liam besok. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa adalah keahliannya. Tapi Giyan tidak yakin apa dia bisa melakukannya di hadapan Liam.

Sudah cukup, Giyan! 

Begitu terus yang diucapkan Giyan di dalam hati sambil beranjak dari tempat tidurnya. Walaupun hari ini tidak ada syuting ataupun pekerjaan berarti, tapi bukan artinya Giyan akan bermalas-malasan di tempat tidur. Dia harus menyelesaikan novelnya yang beberapa hari terbengkalai sebelum editor akan menerornya. Satu hari ini sepertinya cukup untuk membalas waktu yang sempat dilewatkan Giyan untuk novelnya yang belum selesai.

Suara bel pintu kamarnya yang berbunyi beberapa kali membuat Giyan membatalkan niatnya yang akan ke kamar mandi. Sepertinya tidak mungkin Gwen, karena Gwen memiliki kunci cadangan apartemen milik Giyan.

Walaupun enggan, Giyan mendekat menuju pintu dan membukanya dengan perlahan. Mungkin petugas kebersihan apartemennya.

"Kenapa belum bersiap-siap juga? Lo nggak lupa dengan apa yang bakal kita kerjakan pagi ini, kan?" Sosok Liam berada di hadapannya sambil memeluk lengannya dan menatap Giyan dengan wajah tidak senang.

Giyan tersentak dan tanpa sadar mundur beberapa langkah dari posisinya berdiri. Dia bahkan berpikir jika sedang bermimpi karena melihat sosok Liam yang begitu jelas di hadapannya. 

"Mandi dulu lo sana," ucap lelaki itu dan tanpa segera masuk ke apartemen Giyan sebelum gadis itu mempersilakannya masuk.(*)

Next ⏩⏩ Hidden Part 10
(Baca hidden part 10 di KaryaKarsa ya, link ada di profil atau cari akun dengan nama ravaa ❤️☺️)

Hasta Lavista, Baby!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang