🦋
Seperti anak domba yang hilang,
ia tersesat dan tak tahu arah pulang.Seperti bulan di langit malam,
Jiwanya hening berkias temaram.Seperti anak domba dan bulan,
ialah Ananda Renan.Malam itu, setelah makan malam berdua dengan bapaknya, Renan masuk ke kamar dan hanya termenung di sana. Ada satu pernyataan yang sejak tadi mengganggu pikirannya. Kalimat yang semakin lama dipikirkan, semakin ia tahu maksud dari semua itu. Bapak tidak mendukung keinginannya untuk kuliah di luar kota.
"Kalau tidak dapat jalur undangan, lebih baik kamu ambil formulir yang bapak berikan. Kampusnya dekat dari sini, tidak perlu repot ke luar kota."
Renan menghitung ruas-ruas jarinya seraya memejamkan mata. Ia bingung harus mengamini doa yang mana. Tetap berada di rumah ini dengan hidup terkungkung, atau berharap bahwa saat membuka website penerimaan jalur undangan, ia akan mendapat warna hijau—yang artinya mulai hari itu pula satu impiannya dikabulkan.
Sejujurnya, Renan sudah pasrah apabila doa yang kedua ternyatanya tidak ia dapatkan. Namun yang menjadi masalah, satu-satunya kesempatan Renan untuk keluar dari rumah telah hilang, dan itu berarti, Renan harus mencari kesempatan lainnya.
Mengapa Renan sangat ingin keluar dari rumahnya?
Lelaki yang berusia tujuh belas tahun itu juga merenungkan hal yang sama. Ia bukanlah anak yang dikucilkan. Bukan pula seorang anak yang dituntut untuk terlihat sempurna. Namun setelah Renan merenungi kehidupannya selama 12 tahun kebelakang. Di mana setelah perceraian orang tuanya yang memaksa Renan hanya tinggal dengan Christian, membuat hidupnya tidak sama lagi.
Dua belas tahun yang sia-sia, sebab setelah Renan dan Christian pindah rumah. Meninggalkan kehidupan kecilnya, dan juga kelima sahabatnya yang dulu selalu bisa menghiburnya. Renan merindukan jiwanya yang itu. Kebahagiaan pada jiwanya yang sekarang kalah besar ketimbang kehidupannya pada usia lima tahun. Dan, Renan merasa inilah waktu yang tepat untuk mencari kebahagiaannya yang lain.
Jika keluarga tidak dapat membuatnya bahagia maka semestinya, Renan mencari kebahagiaan yang lain, yang bisa memenuhi kekosongan jiwanya.
Karena hidup yang monokrom begitu menyiksa. Renan tidak menampik bahwa selama ini ia sangat kesepian. Bapaknya yang sibuk bekerja, hidup yang harus dipisahkan oleh kakaknya. Bahkan, ibunya, Renan sudah tidak tahu kabar dan hampir lupa rupanya.
Bertahun-tahun, Renan mencoba mengikhlaskan ketidaksempurnaan pada keluarganya. Sekarang ia sudah dapat menerimanya. Namun melupakan—apakah seorang anak yang dipaksa dewasa sejak dini dapat benar-benar melupakan luka yang ia terima?
Untunglah semesta menitipkan cobaan ini padanya, sebab Renan pikir, jika anak lain yang merasakan penderitaan sepertinya. Maka dipastikan anak itu akan memilih menyerah atau dengan mudah merusak hidupnya. Renan tak begitu. Meskipun Christian tidak selalu memberi perhatian, namun setidaknya, Renan masih merasakan kehangatan dari kasih sayang yang ia terima.
"Mas Renan?"
Pikiran Renan sibuk berkelana hingga tak sadar bahwa bapaknya telah berdiri di depan pintu kamarnya. Sosok itu melangkah masuk, lalu duduk di ujung kasur Renan. Tubuh Renan yang semula telentang, dipaksa bangun menghadap sosok yang lebih tua.
"Boleh bapak bicara sebentar?" Katanya. Christian atau yang disapa Tian, tersenyum menatap sang putra. "Mas, ingin sekali kuliah di luar kota, ya?"
Renan tercengang. Berapa kalipun bapaknya membahas, Renan tetap tidak siap. Karena jika lagi-lagi ia mendapat jalur undangan tersebut, mau tak mau, Renan harus mengucapkan salam perpisahan kepada bapaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]
Fanfiction"Jika Kita Tidak Pernah Bertemu" SERIES I : HYUCKNA AU #REMITIME - Renan dan Miuza Semesta dan bayangannya. Miuza yang senantiasa memiliki segalanya. Sedang Renan hanyalah bayang-bayang yang tak kasat mata. Seperti itulah sosok Ananda Renan sebelum...