🦋
Siapa yang mengundang duka?
Membiarkannya menerobos pintu
dan duduk seperti raja?
Menjamunya dengan bunga beragam rupa.
Apa tidak bisa lain kali saja?[Adnan Aram, "Tantrum", hlm. 16]
Miuza berdiri di depan kaca. Matanya sembab dan rambut hitamnya sedikit berantakan. Sejak pagi tadi hingga sore, Miuza hanya mengurung diri di kamar. Matanya tak berhenti menangis. Hatinya sakit. Bahkan, jauh lebih sakit dari putus cintanya yang terakhir.
Miuza menyesali perbuatannya. Seharusnya ia bisa lebih menahan diri dan tidak membiarkan rasanya diketahui begitu saja. Ia pikir, setelah jujur dengan perasaannya, hatinya akan merasa lega. Karena beberapa hari ini, seperti yang sudah dikatakan, bahwa tidak ada satu hari pun yang Miuza lewati tanpa memikirkan Renan.
Miuza pikir, jika kebisingan dalam hatinya dapat diartikan dengan mudah. Maka tak perlu mencari cara hanya untuk bersandiwara, untuk ia terlihat baik-baik saja. Selama ini Miuza selalu bimbang dengan perasaannya sendiri karena ia takut. Ia takut akan merusak persahabatannya dengan Renan apabila ia mengatakan yang sejujurnya.
Namun pagi ini, setelah mendapati Renan yang lagi-lagi menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Miuza tahu bahwa lelaki itu tidak memilihnya sebagai sosok yang dapat dipercaya. Gejolak di hatinya tiba-tiba mendidih dan tak dapat lagi digenggam. Sesaat, ia biarkan seluruh rasa itu meluap dan terpangkas tandus sampai tak lagi bermuara.
Detik ini, bohong jika Miuza katakan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia sangat bodoh saat tahu bahwa ia cemburu dengan kembarannya sendiri yang lebih mengetahui kondisi Renan ketimbang dirinya, dan merasa bodoh ketika ia menyadari di detik-detik perpisahan mereka pun Renan tidak menahannya.
Apakah benar-benar hanya Miuza yang jatuh di sini? Apakah hanya Miuza yang nyatanya berharap bahwa hubungannya dan Renan dapat lebih dari sahabat kecil? Sebab, setelah pertemuan mereka pagi itu, ia seakan tahu. Tak ada lagi kata kita di matanya. Tak ada lagi kita yang tenggelam dalam tanda tanya. Semuanya berakhir, kisah mereka menemui titik akhir.
Miuza menangis. Ia kembali menangisi hatinya dan seluruh perasaannya yang tak berbalas.
Esoknya. Ia mencoba untuk melupakan lelaki itu. Miuza menyetujui untuk bertemu dengan Deka dan berharap bahwa ia bisa membuka lembaran baru tanpa pernah memikirkan Renan lagi. Karena, seperti yang Renan katakan, lelaki itu tidak ingin menghalangi hubungan Miuza dan Deka. Maka, di sinilah ia berada.
"Miuza?" Panggil Deka yang sebelumnya tidak mendapat jawaban. "Kamu lagi mikirin sesuatu?" Tanyanya. Miuza memejamkan matanya sebentar dan berusaha untuk memfokuskan pikirannya.
Tanpa Miuza sadari bahwa sejak tadi Deka sudah mendapati dirinya yang banyak melamun. "Nggak mikirin apa-apa." Jawab Miuza, ia menarik ujung ranumnya. Walau Deka tahu jika senyum itu penuh dengan kepalsuan karena sesuatu sedang terjadi pada Miuza. Namun, Deka memilih untuk tidak mempersoalkan hal tersebut.
Hingga ponsel Miuza menampilkan panggilan dari Moeza. "Nggak di angkat?" Tanya Deka. Sedang Miuza menggeleng tanpa berniat menjelaskannya. Hembusan napas Deka terdengar. Memang benar ada yang tidak beres, pikirnya.
"Akhir-akhir ini aku takut terjadi sesuatu sama Renan." Topik itu membuat Miuza mengalihkan pandangannya. "Kalau lagi ada masalah, Renan selalu seperti itu. Menghilang kayak ditelan bumi." Lanjutnya. Miuza masih enggan menanggapi.
"Terakhir kali dia menghilang karena ada masalah keluarga. Kamu tahu kalau orang tuanya sudah bercerai 'kan?" Miuza mengangguk, meski setelah itu tak ada respon lainnya. "Dan, udah lima tahun dia nggak ketemu sama ibu dan kakaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]
Fanfiction"Jika Kita Tidak Pernah Bertemu" SERIES I : HYUCKNA AU #REMITIME - Renan dan Miuza Semesta dan bayangannya. Miuza yang senantiasa memiliki segalanya. Sedang Renan hanyalah bayang-bayang yang tak kasat mata. Seperti itulah sosok Ananda Renan sebelum...