BAB XXIII - Halaman Terakhir

2.8K 234 59
                                    

🦋


Aku percaya,
sejauh apapun kamu—semesta
akan bahu-membahu menyatukan kita.


Di dalam gedung pencakar langit, seorang lelaki tengah terdiam di hadapan jendela besar. Menatap kota tersibuk di negeri ini. Jalan yang dipadati oleh kendaraan. Muda-mudi terhampar bagai ilalang dan cahaya-cahaya dari pertokoan mulai dinyalakan.

Seolah menyadarkan manusia akan batas yang sesungguhnya. Karena semua diciptakan dengan batasan. Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain. Hari ini membatasi esok dan kemarin. Sedangkan esok membatasi hari ini dan lusa. Jalan-jalan ikut memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara atau kantor walikota.

Juga rumahmu dan seluruh tempat di mana pernah ada kita.

Itulah puisi Aan Mansyur yang paling dikagumi oleh banyak khalayak yang hubungannya dibatasi jarak dan waktu. Seperti hubungan Renan dan Miuza. Di mana, puluhan purnama sudah berlalu. Hantarkan rindu yang semakin membuat salah satunya candu.

Ialah Renan. Sebab semua yang berkaitan dengan Miuza adalah candu baginya. Candu yang mampu melumpuhkan jiwa dan raganya. Renan tak dapat berhenti, sebab sulitnya setengah mati.

Sudah bisa pulang?

Setiap hari, setiap jam bahkan setiap detik, ingin rasanya Renan menanyakan hal itu kepada Miuza. Namun apa daya, pertanyaan itu selalu berakhir sebagai tanda tanya yang tak memiliki jawaban.

Nyatanya, sejak Miuza pergi melalang buana dan meninggalkan Renan yang selalu merindukannya.

Meski begitu, tidak ada masalah di antara mereka. Komunikasi yang Renan dan Miuza lakukan hampir setiap hari membuat keduanya merasa diacuhkan.

Kendati, Renan tahu bahwa ada yang berbeda dari kekasihnya. Sudah lima hari, percakapan mereka selalu menggantung di satu pihak. Entah, apakah Miuza menyadari atau tidak, tetapi Renan sangat merasakannya dan itu membuat pikiran buruknya seolah datang memayungi lobusnya.

Apakah Miuza sudah bosan bersamanya? Apakah ada lelaki lain yang lebih menarik perhatiannya? Kalau boleh jujur, maka dua pertanyaan itu yang paling mewakili isi hati Renan.

Seperti sekarang, sudah 48 jam Miuza tak kunjung membalas pesannya. Itu artinya, sudah dua hari kekasihnya itu hilang kabar. Membuat pikiran dan hati Renan berkecamuk. Pun, berulang-ulang kali sang atasan meminta Renan untuk fokus dengan pekerjaan.

Namun apa boleh buat? Sekarang ini Miuza seolah bekerja sebagai candu yang dapat merusak semua organnya.

Renan juga telah menanyakan keberadaan Miuza kepada keluarganya. Paman Joe dan Paman Jiu bahkan Moeza, serempak menjawab tidak tahu. Ketiga orang tersebut juga mengusulkan Renan untuk menunggu saja.

Tidak. Ia tidak bisa hanya diam menunggu. Itulah yang Renan pikirkan. Ia tidak bisa tenang barang sedetik pun. Sejak kemarin hatinya selalu diliputi rasa cemas dan rindu. Dan Renan tahu, selama rindu itu masih menjajah, maka hatinya tak akan pernah benar-benar merdeka. Ia pun tahu, untuk mendapatkan kemerdekaannya, ada dua hal yang bisa ia lakukan: melupakan atau mengungkapkan.

Untuk pilihan pertama, makhluk di bumi juga tahu tahu bahwa Renan gagal melakukannya. Namun, mengungkapkan? Bagaimana bisa ia memberitahu kepada Miuza kalau sosok itu saja menghilang dan tak dapat ditemui batang hidungnya?

Renan pusing. Ia butuh obatnya yang tak lain dan tak bukan adalah Miuza.

Ketika pulang kantor, Renan memang langsung pulang ke arah kompleknya. Kendati, sebelum pulang ke rumah, ia mampir sebentar ke rumah Nino karena di rumah itu sedang ada pertemuan antar keluarga.

Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang