🦋
Terkadang yang luput diingat,
kita hanya butuh bercengkrama
dengan kawan lama atau
isi kepala.Setelah mendapat hasil pengumuman, Renan tak lupa memberitahukannya kepada Tian. Sosok itu, tanpa Renan duga, tiba-tiba pulang lebih dulu dan sudah berada di rumahnya pada pukul setengah tiga sore. Tian melangkah menghampiri Renan dan memeluk putranya erat.
"Mas, ya Tuhan, bapak bangga banget sama Mas Renan!" Serunya, selepas memeluk anak keduanya. Renan yang juga tak kalah senangnya, tersenyum sambil memeluk bapaknya kembali.
"Makasih ya, Pak. Terima kasih sudah dukung pilihanku."
Renan memejamkan matanya, menikmati momen itu dengan kehangatan di hatinya. Tian dan Renan memang berstatus sebagai Bapak dan Anak. Namun, momen kebahagiaan seperti ini, jarang sekali terjadi. Biasanya, baik Tian ataupun Renan lebih memilih menyimpan keresahan hati mereka sendiri.
Tanpa niat berbagi, cenderung merayakan duka dan bahagia dengan sepi.
"Aku izin mau main sama anak-anak komplek dulu, boleh?" Tanya Renan, menatap Tian dengan ragu. "Hanya sebentar, nanti sebelum magrib sudah pulang." Namun setelahnya, keraguan itu bak hilang bersama buih ombak yang menenangkan.
"Mau bapak antar?"
Renan tersenyum mendengarnya. Tapi kemudian ia menggeleng. "Renan pakai motor saja, Pak. Takut macet kalau hari Senin. Apalagi jam pulang kerja." Tuturnya, dan Tian hanya dapat mendukung pilihan anaknya itu.
"Kabarin bapak kalau sudah sampai."
Renan sengaja tidak memberitahukan di grup Alumni TK. Kancil tentang keputusannya yang akan datang. Ia ingin memberi kejutan karena di antara kelima orang tersebut, memang hanya Renan yang sudah tidak lagi tinggal di komplek mereka dulu.
Perjalanan membutuhkan waktu dua jam, sudah termasuk lampu merah dan macetnya ibu kota. Inilah alasan mengapa Renan malas untuk keluar rumah, apalagi setelah pindahan. Ia tidak ingin merasakan pegal di pantatnya karena menempuh perjalanan jauh.
Ditambah kalau keadaan tiba-tiba hujan deras. Oh wait, perkataan Renan langsung terbukti saat itu juga. Langit yang awalnya cerah, berubah gelap dan hadirkan gerimis yang jatuh ke permukaan kulitnya. Sial.
Kompleknya yang dulu hanya berjarak 2 km lagi, dan Renan memutuskan untuk menerobos hujan ketimbang berteduh. Alhasil, saat Renan sampai di rumah itu, semua orang tidak hanya kaget dengan kehadirannya, tapi juga kaget karena tubuh lelaki itu sudah kuyup berkat hujan.
"Wey anak bekasi, lu abis kecebur empang apa gimana?" Itu Malik. Lelaki yang dianggap bocil kematian karena sifatnya. Renan tidak mengambil hati karena ia sudah mengenal Malik selama bertahun-tahun. Justru ia balas menyahuti.
"Iya nih, abis ngobak di empang belakang."
"Gue pikir lo nggak datang, Nan." Kali ini Homi yang angkat suara setelah menuangkan minuman dan memberikannya pada Renan. Sedang Moeza yang datang dari arah dapur, langsung menghampiri Renan dan memberi handuk kering untuknya.
"Thank you, guys."
"Mau pinjam baju gue atau Miu?" Tanya Moeza. Sebenarnya siapa saja yang meminjamkan akan Renan terima. Toh, ukuran mereka sama 'kan? Namun sebelum Renan menjawab, Miuza sudah menyela lebih dulu. "Pakai baju gue aja. Baju Moe mainstream, hitam semua satu lemari."
Alhasil, Renan mengikuti langkah Miuza. Untuk pertama kalinya Renan masuk ke kamar lelaki itu setelah bertahun-tahun mereka berteman. Kamar Miuza dipenuhi miniatur kartun seperti spongebob, one piece, dan lainnya. Ia tidak sempat mengamati satu-satu karena Miuza tetiba mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]
Fanfiction"Jika Kita Tidak Pernah Bertemu" SERIES I : HYUCKNA AU #REMITIME - Renan dan Miuza Semesta dan bayangannya. Miuza yang senantiasa memiliki segalanya. Sedang Renan hanyalah bayang-bayang yang tak kasat mata. Seperti itulah sosok Ananda Renan sebelum...