BAB XX - Kecupan di Akhir Kata

2.4K 253 61
                                    

🦋



     Nikmatilah semua rasa kehidupan,
     Nikmatilah semua luka yang kau dapatkan,
     Sebab saban jiwa cantik dengan lukanya.  
     Dan, setiap luka punya makna bertahan.



Tak pernah sekalipun Miuza membayangkan akan melihat Renan dalam kondisi seperti ini. Meski ia pernah menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri, ketika sosok itu berada di titik yang tidak bisa dibilang baik-baik saja. Tapi, apa yang Miuza lihat sekarang, nyatanya, tetap membuat hatinya diliputi sakit dan sesal.

Seandainya Miuza lebih dewasa dalam memahami posisi Renan, mungkin keadaanya tak separah ini. Seandainya emosi itu tidak merebah di hatinya, mungkin Miuza dapat lebih berguna untuk tidak membuat Renan semakin terluka.

Dan sekarang, Miuza hanya tenggelam di teluk pengandaian tanpa bisa mengulang waktu dan menyelamatkan sosok yang ia sayangi.

Sosok yang sekarang ini ia tatap dengan seksama. Sosok yang sedari tadi hanya terpejam, membuat perasaannya semakin sendu. Sebab, hari ini tidak hanya langit yang berwarna abu-abu, melainkan juga hatinya yang ikut berkelabu.

Entah sudah berapa kali Miuza mengusap pipinya yang basah. Karena air matanya bagaikan hujan yang jatuh ke hilir. Tanpa mengenal kemarau, isaknya terus berlimpah dan mengalir. Terlebih, ketika sosok yang berada di genggaman terbujur kaku dengan alat medis yang melingkupi tubuhnya.

"Miuza," Tian memanggilnya. Saat itu pula untuk pertama kalinya Miuza melihat wajah perempuan yang bersama Renan beberapa waktu lalu. "Ini Hening, adik tiri Renan." Dan benar, perempuan itu adalah sosok yang pernah memantik api cemburu di hati Miuza.

"Saya, Tiara dan ibunya Renan akan ke kantor polisi untuk menyelesaikan kasus kemarin. Jadi paman ingin menitipkan Hening sama kamu, boleh?" Tanya Tian. Meski keraguan terlihat di wajahnya, tapi Miuza tetap mengangguk.

"Mungkin kami akan sampai sore di sana, kalau Miuza ingin pulang, tolong hubungi ke paman, ya?" Lagi, Miuza mengangguk. "Hati-hati, paman Tian." Sama sepertinya, Hening yang juga baru pertama kali bertemu Miuza pun terlihat ragu-ragu. Lantas, ia memilih duduk di samping kiri Mas-nya yang masih tak sadarkan diri.

Lama Miuza dan Hening berdiam di tempat tanpa bersua. Hingga akhirnya mata mereka bersiborok, dan membuat Hening tersenyum kecil. Hening sangat berbeda dengan Renan. Wajahnya tegas, memiliki satu gigi gingsul dan memakai kaca mata. Rambutnya sedikit terang dan ikal seperti Renan.

Hening yang merasa diamati pun menatap balik sosok di seberangnya. Ia tak menampik jika Miuza memiliki perpaduan rupa yang tampan dan cantik di wajahnya. Kulitnya begitu bersih dan memiliki senyum yang rupawan.

Hening masih sibuk mengamati wajah itu sampai tidak sadar jika Miuza telah memanggilnya. "Ada sesuatu di wajahku?" Tanya Miuza, menyadarkan Hening dari lamunannya. Hening menggeleng. Senyumnya merekah, tertunduk malu. "Sebentar lagi sudah masuk makan siang, Hening mau makan apa?" Dan, Hening yang ditanya begitu, kembali mengangkat wajahnya.

"Terserah kakak Miuza saja. Aku bisa memakan apapun." Jawab Hening, dengan senyum yang masih melekat. "Kalau begitu Hening pilih salah satu," Miuza memberikan ponselnya setelah membuka aplikasi makanan. Hening hanya diam seraya menatap Miuza. "Hening?"

Sepertinya Miuza harus mengecek wajahnya, ia takut benar-benar ada noda di—"Aku pernah lihat kakak." Ucap Hening. "Ternyata, kakak itu lelaki yang ada di dompet Mas Renan." Lanjutnya. Tentu kalimat Hening membuat Miuza menaikan alisnya. Ia sedikit bingung.

"Aku pernah melihat Mas Renan terdiam sambil memandang sebuah foto di dompetnya. Aku baru sadar sekarang kalau foto itu adalah kakak." Jelas Hening. Mulut Miuza membentuk huruf 'O' karena ia cukup kaget saat mendengar fakta tersebut. Hening mengambil ponsel Miuza dan memilih makanannya. Setelahnya, ia berikan kembali ponsel itu ke pemiliknya.

Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang