BAB XI - Sebuah Peluk yang Salah

2K 251 4
                                    

🦋


     Miuza, dan delik pertama.

     Antara dusta di balik persahabatan, atau
     rasa yang bersembunyi dalam pelukan.


Setelah makan malam dengan rebusan jagung dan makanan cepat saji yang dibeli sebelum mendaki. Akhirnya, beberapa dari mereka memutuskan untuk istirahat. Karena total dari mereka adalah delapan orang dan tenda yang didirikan ada dua. Maka, masing-masing tenda akan diisi oleh empat orang.

Anet, Imei, dan Nauli memilih untuk tidur di satu tenda bersama. Ketiga perempuan tersebut juga mengajak Miuza untuk tidur di tenda mereka. Selain karena Miuza dan Anet cukup dekat, ketiganya juga berpikir bahwa dibutuhkan satu cowok untuk berjaga-jaga.

"Gue tidur duluan ya, guys." Seru Anet. Diikuti oleh Imei dan Nauli yang juga masuk ke dalam tenda.

"Gue juga deh, nanti yang terakhir jangan lupa matiin api-nya, ya." Ujar Ilham. Menyisakan beberapa orang di luar sana.

Renan menyuruh Miuza pergi tidur saat tak sekali-dua dirinya melihat lelaki itu menguap. Namun, Miuza seolah enggan beranjak dari sana. Ia hanya duduk sambil menopang dagu, menatap percikan api yang melumat batang kayu hingga berubah abu. Renan yang sejak tadi memandangi raut Miuza, mencoba mendekati lelaki itu.

"Ngantuk?" Tanpa mengalihkan pandangannya, Miuza menggeleng. Entah apa yang menarik di hadapannya, sampai Miuza mengabaikan keberadaan Renan di sampingnya.

"Gue tidur duluan kalau gitu. Jangan kelamaan di luar nanti kedinginan." Ucap Renan. Mengusap kepala Miuza seperti biasa.

Ketika Renan berlalu. Miuza baru mengalihkan netranya pada punggung yang semakin menjauh. Huft. Helaan napas Miuza terdengar kasar. Kenapa Renan bersikap biasa saja? Itulah yang Miuza pikirkan.

Apakah kecupan singkat mereka tidak berarti apa-apa untuknya? Miuza mendongeng dalam pikirannya sendiri.

Setelah kejadian tadi siang, baik Renan dan Miuza, kembali ke tenda layaknya tak terjadi apapun. Awalnya Miuza melakukan hal yang sama, tapi setelah netranya menatap senyum Renan yang dihiasi cahaya senja, dan saat jemari Renan mengelus helai rambutnya. Lagi, seperti ada yang mengganjal di hatinya.

Berulang kali ia mempertanyakan, apakah sikap yang ditujukan Renan untuknya memang lumrah atau diam-diam ada sebuah rasa yang sengaja disembunyikan?

Namun, ia mencoba melupakan alasan kedua, di mana Miuza tak ingin berharap apapun. Lagi pula, ia sendiri tak siap dengan jawaban Renan, jikalau apa yang dirasakan lelaki itu berbanding terbalik dengan asumsinya saat ini.

Di kala bulan semakin tinggi, dan tak terasa Miuza sudah termenung selama itu. Sialnya, ketika ingin kembali ke tenda, Miuza merasa ingin buang air kecil. Maka dengan sisa keberanian dan cahaya ponselnya, Miuza mencari semak semak.

Sejujurnya, ia tidak seberani itu. Bahkan, Renan mengakui bahwa Miuza adalah anak yang penakut. Tapi dalam situasi genting. Tidak ada pilihan lain selain memberanikan diri 'kan? Si penakut pada akhirnya harus memilih pilihan yang berseberangan dengan akal sehatnya.

Meski saat ia buang air kecil, Miuza merasa sedang diawasi. Beberapa kali Miuza melihat rerumputan bergoyang sendiri. Maka dengan terburu-buru, ia menyelesaikan kegiatannya dan kembali ke tenda. Karena tak melihat jalan, Miuza sampai menabrak punggung seseorang hingga membuatnya hampir terjatuh.

"Renan?" Miuza menatap Renan yang sedang menahan bobot badannya.

"Buang air kecil sendiri? Kalau hilang gimana?" Miuza masih terpaku saat Renan memberikan tisu basah kepadanya. "Bersihin dulu tangannya." Dan, dengan gerakan tergugu, Miuza bersihkan kedua tangannya.

Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang