🦋
Jarak hanyalah sebuah kata.
Sampai diksimu tak lagi punya makna.Sedang kita serupa kata tanpa spasi.
Aku meragu dalam kumpulan diksi,
dan kau, bagaikan jutaan kata-kata
yang tak bisa lagi kumengerti.Seharusnya, tadi siang Renan bertemu dengan Deka dan Miuza. Namun, semua itu terhalang karena kedatangan seseorang. Dari kejauhan, namanya dipanggil dan ia menoleh, Renan tak langsung mengenali perempuan itu.
"Ini aku Hening,"
Renan baru ingat kalau perempuan itu adalah adik tirinya. Kenapa ia bisa sampai ke Bandung? Pikir Renan. Adik tirinya itu tersenyum, seakan mampu membaca pikiran Renan. Dengan penuh keraguan, Hening melangkah dan seketika, raut wajahnya bak diselimuti awan mendung.
"Aku kabur dari Jakarta. Kakak, Ibu sama Om Tian nggak tahu kalau aku nekat ke Bandung hari ini." Jelas Hening, membuat hati Renan terperanjat.
Setahu Renan, usia Hening baru menginjak 12 tahun. Bagaimana bisa anak ini kabur dari Jakarta ke Bandung? Dan yang menjadi pertanyaan Renan, mengapa tidak ada satupun yang tahu, baik itu bapaknya, ibunya atau kakaknya, kalau Hening pergi ke sini?
"Kamu tahu itu bahaya 'kan? Gimana kamu bisa kabur ke sini, Hening?" Tanya Renan. Saat ini, mereka berdua masih berada di Fakultas Renan.
"Aku udah biasa kabur, Mas." Kalimat sarkas itu seakan menampar Renan pada jurang kebodohan. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh adik tirinya. Ekspresi Hening yang sendu dan dari gerak geriknya yang lugu buat Renan semakin bertanya-tanya.
Namun, sebelum Renan bertanya lebih lanjut. Hening sudah melanjutkan ucapannya. "Ibu sakit, Mas. Sudah seminggu ibu di rumah sakit." Renan tertegun. Mencoba mencari kebohongan dari kedua mata Hening. "Om Tian juga menjaga ibu di rumah sakit." Lanjutnya.
"Maksud kamu?"
Mulai detik itu, Hening menceritakan semuanya. Kejadian yang menimpa ibunya, ia dan kak Tiara (kakak kandung Renan). Bahkan, tak terhitung sudah berapa kali kalimat perempuan itu berhenti karena menahan sesak di dadanya. Renan pun tak tahu harus bereaksi apa, ia seperti anak kecil yang dipaksa membaca cepat. Terkesan linglung dan hatinya dipenuhi cemas.
Renan tak tega kala melihat sudut mata Hening yang menangis. Maka tak ada yang bisa Renan lakukan selain memeluk tubuh itu dengan erat.
Dan, dari sekian banyak hari yang menyakitkan, Hening merasa bahwa ia harus mengabadikan hari ini. Sebab, sudah bertahun-tahun Hening berdoa agar bertemu dengan kakak laki-lakinya. Sosok yang selalu diceritakan oleh ibunya sedari Hening kecil.
Pun, saat Renan memeluk tubuhnya, Hening hanya bisa menerima. Ia terisak di antara kepahitan dan kesyukuran. Karena dalam hidupnya yang pahit, setidaknya, Hening masih memiliki Renan yang kehadirannya patut disyukuri.
"Mas Renan bisa ikut Hening pulang ke Jakarta?" Tanya Hening, menatap mata Renan dengan penuh harap. "Sekali saja, temui Ibu lagi, Mas. Mungkin Om Tian punya alasan sendiri tidak memberitahu Mas Renan, tapi Hening mohon, sekali saja, temui Ibu."
Maka tanpa pikir panjang, Renan mengangguk dan mengamini permintaan itu.
"Hening sudah makan?" Tanya Renan, khawatir. Terlebih saat perempuan itu menggeleng. "Kalau gitu, kita ke kost Mas Renan dulu supaya Hening bisa makan, ya?" Pertanyaan itu membuat Hening kembali meneteskan air matanya. Hatinya merasa haru karena mendapat perhatian dari Renan.
Saat sudah kembali ke kost-nya. Renan baru sadar bahwa sedari tadi ia masih menggenggam paper bag yang ingin Renan berikan ke Miuza. Barang itu berisikan kaos dan hoodie yang pernah Renan pinjam sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]
Fanfiction"Jika Kita Tidak Pernah Bertemu" SERIES I : HYUCKNA AU #REMITIME - Renan dan Miuza Semesta dan bayangannya. Miuza yang senantiasa memiliki segalanya. Sedang Renan hanyalah bayang-bayang yang tak kasat mata. Seperti itulah sosok Ananda Renan sebelum...