BAB III - Merah Muda Terlahir Di Mata

3K 302 10
                                    

🦋


Lembayung di langit mendung,
tak melulu hadirkan kabung.

Terkadang, ia membungkuk pamit
bersama kicauan senja
yang menggetarkan jiwa.


Setelah mengurus legalisir ijazah untuk keperluan pendaftaran ulang, hari ini Miuza ingin berkunjung ke coffee shop langganannya. Tentu, sebelum ke sana, Miuza harus izin terlebih dulu ke Moeza dan keluarganya. Miuza memang berniat pergi sendiri. Ia ingin latihan, sebelum akhirnya akan hidup seorang diri di Bandung.

Satu hal yang membuat Miuza jengkel. Perubahan cuaca di ibukota. Siang hari bisa sangat panas, tapi ketika sore, hujan turun dimana-mana. Seperti sekarang, Miuza yang awalnya ingin pergi dengan bus harus meneduh di salah satu kios karena ia lupa untuk membawa payung kesayangannya.

Jangan lupa bahwa ia membawa legalisir ijazah, sebuah dokumen yang sangat penting di tasnya yang tak anti hujan. Namun, meski keadaan tidak sejalan dengan rencananya sore itu, Miuza tidak menyesali keputusannya. Ia justru menikmati detik-detik hujan yang jatuh. Menatap sekelilingnya dan tenggelam dalam lamunan.

Miuza termenung selama beberapa menit. Sampai sebuah mobil berhenti di depannya. Ia kira, mobil itu berhenti bukan karena dirinya. Namun, ketika kaca mobil itu diturunkan, obsidian Miuza dapat melihat dengan jelas siapa sosok lelaki di balik pengemudi itu.

"Hey, Mi. Mau bareng?"

Renan. Entah darimana lelaki itu bisa menemukan dirinya. Tapi melihatnya menepi sekedar untuk memberi tumpangan, membuat hati Miuza sedikit menghangat. Miuza tersenyum sebelum akhirnya masuk ke mobil itu.

"Tumben nggak sama Moe?" Tanya Renan, ketika Miuza sudah duduk di sampingnya. "Emang niatnya mau pergi sendirian."

"Kalian nggak lagi ribut 'kan?" Miuza terkekeh mendengarnya. Mungkin benar, anak kembar yang tidak pergi secara bersamaan akan dianggap aneh bagi sebagian orang. Tapi Moe dan Miu sudah berusia 17 tahun, bukan?

"We're okay, don't worry. Seperti yang gue bilang, gue emang niat untuk me-time." Seru Miuza. "Tapi sekarang bukan me-time lagi karena lo ketemu gue." Ucap Renan, menimpali kalimat Miuza barusan.

"Yeah, kalau lo mau ikut gue ke kafe hari ini."

"Boleh?"

Bukannya menjawab, Miuza justru bertanya balik. "Lo nggak sibuk?"

"Nggak, tadi abis anterin pesanan catering bapak." Jelas Renan. "Gimana, boleh gue temenin?"

Miuza mengangguk. Sedikit aneh, karena ia begitu mudah membolehkan Renan untuk merusak acara me-time -nya. Sedangkan Moeza yang memang berniat untuk ikut ditolak habis-habisan.

Sore itu, hujan yang basahi bumi membuat senja tidak terlihat hadirnya. Pun, Renan yang memang memakai kacamata harus berhati-hati ketika berkendara.

Di situasi hening, Miuza sesekali bergumam menyanyikan lirik dari lagu yang terputar acak. Renan yang sesekali menoleh ke arah Miuza, tak bisa menahan senyumnya saat mendapati pria itu sedang mendalami lirik dari salah satu band terkenal yang sekarang sudah bubar.

"Eh, kenapa lo tiba-tiba bisa nemuin gue tadi?" Tanya Miuza, seketika.

Renan menatap Miuza saat mobil itu berhenti di lampu merah. "Gue juga heran sebenarnya, tadi badan lo ketutup motor orang. Tapi anehnya, gue tetep bisa sadar." Jelasnya. "Lo sering ke kafe ini?" Lanjut Renan.

"Sering. Dulu, sama mantan gue."

Oh? Renan baru tahu kalau Miuza pernah punya pacar. Tapi kalau Renan pikir-pikir lagi, siapa juga yang tidak mau dengan Miuza? Lelaki di samping Renan ini memang terkenal friendly, pintar, baik hati, dan—ugh, tampan.

Series I #REMITIME | Jika Kita Tidak Pernah Bertemu [HYUCKNA AU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang