"Kangen," jawab Kirana lirih saat ditanya maksud kepulangannya ke Solo yang tanpa kabar terlebih dahulu. Lanjutnya, "meski bapak dan ibu baru saja meninggal, belum ada setahun, tapi rasanya sudah seperti bertahun lamanya."
Candra menghela napas panjang seolah memahami perasaan keponakannya itu. "Terus kamu ke sini sama siapa?"
Kirana tidak menjawab, hanya menoleh ke kanan sambil memberikan isyarat ke sosok abu-abu putih di dekat almari kaca. "Tuh! Sama Bubble juga."
"Hah?! Ikan Mas Kokimu itu?" Candra mencoba mengkofirmasi ingatannya tentang Bubble. Satu-satunya ikan yang dipeliraha Kirana sejak beberapa bulan terakhir. Itu adalah peliraan ayahnya sebelum meninggal.
Lagi-lagi Kirana tidak menjawab. Dia hanya mengangguk beberapa kali sambil tangannya memainkan sendok di dalam mangkuk kecil berisi wedang ronde.
Ayah Kirana penyuka ikan hias. Dia menempatkan sebuah aquarium besar pada salah satu sisi sudut rumah. Namun saat beliau meninggal, dan Kirana sudah lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta, ikan-ikan itu pun dibagikan kepada tetangga. Kirana meminta satu ikan sebagai kenang-kenangan dan memberinya nama Bubble. Cukup sesuai dengan bentuk ikan Mas Kokinya yang sudah berukuran lumayan besar. Bentuk tubuhnya yang menggembung menyerupai gelembung yang melayang di air.
"Maksud Bude itu manusia, yang bisa diajak ngobrol selama perjalanan." Candra terdiam sejenak, lalu melirik ke Kirana. "Bagas?"
Kirana menggigit bagian bawah bibirnya seolah menimbang sebelum berkata, "kami putus." Dia mengambil jeda sebentar lalu melanjutkan, "dua bulan yang lalu."
"Owalah, Nduk." Candra menghela napas. "Bude pikir kalian bakalan langgeng sampai ke pelaminan. Bude lihat dia sayang banget ke kamu. Kamunya juga kelihatan nyaman sama dia."
"Yeah, namanya juga bukan jodoh, Bude. Mau dipaksa pun gak akan baik," ujar Kirana. Tangannya menyendok kuah jahe yang langsung menghangatkan kerongkongannya sejak seruputan pertama. Diikuti sendokan kedua, sebutir ronde yang meletus di mulutnya saat digigit. Perpaduan kacang dan gula di dalamnya lumer memenuhi mulutnya memberikan sensasi manis gurih.
Bagaimanapun akhir kisah cintanya, Bagas adalah sosok yang pernah membuat hari-hari Kirana penuh warna. Lelaki jenaka yang perhatian dan punya kesabaran seluas samudera. Lelaki itu begitu ngemong pada Kirana yang sering ngambekan dan bad moodan. Sama seperti akhir di setiap novelnya, kisah cinta Kirana bersama Bagas pun berakhir sad ending. Bagas memilih mundur demi berbakti kepada orang tuanya. Dia dijodohkan.
Udara dingin menusuk hingga ke tulang. Gerimis sejak tiga jam lalu awet bahkan sekarang air yang turun dari langit semakin banyak seolah tak terbendung.
"Hujan, Na. Kamu tidur di sini saja malam ini, ya." Candra mendakat ke jendela. Kirana mengekor di belakangnya.
"Wah, sepertinya ndak bisa, Bude," tolak Kirana sambil sesekali menyipitkan mata karena kilat yang menyambar di langit menyilaukannya. "Ada yang harus saya kerjakan malam ini."
"Kerjaan apa?" Candra kembali ke bangkunya di meja makan dekat dapur. "Kamu ke Solo mau liburan, kan? Melepas kepenatan dari hiruk pikuk ibu kota."
Kirana mengangguk pelan dengan mulut manyun sambil berjalan ogah-ogahan, lalu duduk di bangku depan budenya.
"Kok kamu bisa betah, tho, Na. Bude yang cuma singgah beberapa hari menemani Pakdemu urusan bisnis aja mumet lihat padatnya Jakarta. Macetnya itu, lho."
Kirana hanya tersenyum mendengar omelan budenya. "Saya sedang menyiapkan naskah novel terbaru, Bude. Rencananya, sih, melanjutkan novel series sebelumnya."
"Itu bisa dilakukan besok," kata Bude sambil menyendok wedang rondenya. Lanjutnya sambil mengunyah potongan kacang di mulut, "kalau kamu pulang sekarang, terus kehujanan, masuk angin ..."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Mystery / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...