Rumah Candramaya memanjang ke belakang. Ada ruang tamu mungil di bagian depan yang langsung terhubung oleh ruang makan dengan meja memanjang dan dapur. Keduanya hanya dipisahkan oleh sekat yang terbuat dari tanaman yang ditata rapi sekaligus sebagai penghias ruangan.
Alih-alih duduk di ruang tamu, Kirana malah mempersilakan tamunya duduk di meja makan yang langsung terhubung dengan dapur. Kini mereka duduk berhadapan.
"Aku nggak mau mengganggu istirahatmu, tapi ... aku butuh konfirmasi tentang sesuatu," ujar Ardi. Dia menyodorkan sebuah amplop cokelat besar.
Kirana sedikit ragu menerimanya. Dia membuka amplop itu dan mendapati beberapa lembar foto di dalamnya. Foto berukuran A4 yang dicetak berwarna. Foto-foto itu tampak besar tapi kurang tajam yang membuat Kirana harus menyipitkan mata untuk fokus memperhatikan detailnya.
"Foto-foto itu aku ambil dari beberapa CCTV di sekitar restoran kemarin," jelas Ardi
"Dia pelakunya?" Kirana mencoba menebak. Dia mengamati satu per satu foto.
"Bisa jadi." Ardi menatap lurus ke Kirana yang dengan wajah serius. "Apa kau mengenalnya?"
"Nggak. Aku nggak mengenalinya." Sekali lagi, Kirana mengamati foto-foto itu dari awal.
Sosok itu menggunakan masker, memasang hoodienya menutup sepuruh kepala. Beberapa foto diambil dari samping, hanya satu foto didapat dari posisi depan itu pun agak menyamping. Kirana juga memperhatikan posisi gerakan pelaku di setiap foto, saat pelaku berjalan mengendap, mengangkat batu, mengayunkannya ke kaca, lalu berlari.
"Coba perhatikan sekali lagi!" Pinta Ardi. Dia tidak mau Kirana melewatkan petunjuk sekecil apapun.
Sudah beberapa lama Kirana memperhatikan foto-foto yang disodorkan Ardi. Bukan hanya sekali tapi berkali-kali. Namun selama itu pula Kirana belum ada ide tentang sosok pelaku.
Kirana menggeleng. "Aku boleh menyimpannya?"
"Tentu. Kalau kamu ingat sesuatu, hubungi aku."
"Bagaimana dengan tukang parkir itu?" tanya Kirana sambil memasukkan kembali foto-foto itu ke dalam amplop.
"Dia ke kamar mandi saat kejadian dan baru keluar saat alarm mobil berbunyi. Dia melihat sosok itu sudah berlari. Dia mencoba mengejar, tapi tidak dapat."
"Oh, sayang sekali ..." Ada nada kecewa di suara Kirana. "Mas mau minum apa?"
"Air putih saja." Ardi memindai sekitar ruangan. "Rumahmu selalu begini? Sepi sekali."
"Bude belum pulang. Asisten rumah tanggaku sudah pulang dari tadi."
Kirana menyodorkan segelas air putih dingin pada Ardi. Dia sendiri menikmati segelas air putih hangat. Ada jeda hening sesaat sebalum cacing-cacing di perut Kirana kembali bernyanyi bersamaan dengan air di panci yang mulai mendidih.
"Ops, sorry." Pipi Kirana merona.
"Kamu belum makan?" Ardi tersenyum tipis yang membuat Kirana rasanya ingin seketika menghilang dari hadapannya. Sudah banyak lelaki yang tersenyum pada Kirana, tapi senyuman Ardi termasuk yang mematikan di matanya.
Kirana menggeleng lalu berjalan ke meja dapur. "Dari tadi aku sudah scroll mau pesan online, tapi malah bingung mau makan apa. Ya udah bikin mi instan saja." Dia mengambil mi instan yang sedari tadi disiapkannya di samping kompor.
Ardi memutar posisi duduknya hingga menghadap ke Kirana. Perempuan itu mulai membuka bungkus mi instannya. "Mau kumasakkan?"
Ardi menawarkan diri yang membuat Kirana seketika menoleh ke arahnya. "Emang bisa?" Kirana seketika menutup mulutnya. Rasa malu kembali meyergapnya karena keceplosan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Misterio / SuspensoKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...