Kirana meneguk kopi dari tumblernya. Sebenarnya akhir-akhir ini dia sudah terbiasa minum teh panas. Namun peristiwa semalam membuatnya butuh asupan kafein untuk menenangkan pikiran.
Semalam, saat dia terlelap, seseorang mengintainya dari balik jendela. Kirana tidak bisa melihat jelas sosok yang terlihat selayaknya bayangan hitam dari dalam kamarnya. Namun sosok itu hanya diam, tidak melakukan sesuatu. Entah belum sempat, atau memang hanya ingin sekadar kenakutinya.
"Nggak ada yang rusak. Nggak ada jejak juga." Indra mengecek semua jendela kamar Kirana. Dia juga melihat halaman belakang yang menghubungkan kamar Kirana dengan tembok pembatas.
"Aku yakin banget dia berdiri di sini," ucap Kirana. Suaranya terdengar lebih tenang dari semalam. Perempuan itu tidak pernah membayangkan akan ada sosok yang mengintainya saat dirinya terlelap.
"Kamu yakin, Dra?" Candramaya seolah menyangsikan ucapan Indra. Dia meminta lelaki itu mengecek sekali lagi sekeliling kamar Kirana. Candra tidak mau terjadi sesuatu dengan keponakannya. Permasalahan kemarin belum terpecahkan, sekarang muncul masalah baru.
Indra hanya mengangguk. Dia menyisir bagian lain dari sudut rumah, mengambil tangga lalu naik hingga tembok belakang. Dia melihat sekeliling sawah yang pagi itu masih sepi. Kabut tipis turun membuat jarak pandang tidak terlalu jauh. Matahari juga belum muncul, masih bersembunyi di balik mendung berlapis.
"Mulai hari ini, kamu jangan pergi sendiri, Na. Mungkin di rumah ini kamu masih aman. Takutnya siapapun itu bisa melakukan sesuatu ke kamu di luar sana," pesan Candra ke keponakannya saat mereka sarapan bersama di meja makan.
"Dra, kamu antar Kirana dulu baru antar Bude, ya," pinta Candra saat lelaki itu baru saja masuk ke dapur.
Indra belum sempat sarapan. Dia langsung mengeluarkan mobil dari garasi lalu memanasi mesin. Lelaki itu hanya sempat menikmati beberapa potong ketela goreng dan teh panas. Bagi Indra itu sudah cukup untuk mengganjal perutnya. Pagi ini dia punya tugas penting, mengantar Kirana memenuhi panggilan polisi.
"Kamu baik-baik aja, Na?" tanya Indra. Dia melirik perempuan yang duduk di sampingnya.
Kirana mengangguk. "Lebih baik," kalimatnya terbata, "meski aku masih penasaran dengan sosok itu."
"Sudah, jangan dipikirkan." Indra melajukan mobil saat lampu lalu lintas berubah hijau. "Aku sudah pesan tukang untuk memasang tralis di jendela kamar. Nggak akan ada yang bisa masuk."
Kiana melirik ke pergelangan tangan Indra. "Itu ... gelang ..."
"Oh, gelangmu dulu ..."potong Indra sambil mengangkat tangannya dari setir mobil.
"Kamu masih menyimpannya?" tanya Kirana, sedikti kaget dengan keberadaan gelang tali berwarna hitam berlilit putih itu ditangan Indra.
Gelang itu sepuluh tahun lalu pernah hampir Kirana buang. Gelang couple yang seharusnya jadi penanda anniversary kedua Kirana bersama cinta pertamanya di SMU, tapi mereka malah bubar. Kirana sempat akan membuang gelang itu tapi Indra menahannya. Ternyata lelaki itu masih menyimpannya dengan baik hingga sekarang.
Indra mengangguk. "Bagus. Dan aku rasa cocok pakai ini." Lelaki itu membolak balik pergelangan tangannya. "Kamu keberatan?"
"Nggak. Pakai aja," jawab Kirana cepat. Dia bahkan tidak pernah ingat akan keberadaan gelang itu sampai Indra memakainya saat ini.
"Yakin?" tanya Indra sambil mengangkat kedua alisnya. "Nggak bikin kamu ingat mantan?" Dia berusaha mendapat kepastian.
"Nggak, ah. Lagian sudah lama. Ingat pun sudah nggak ada rasa." Kirana sedikit sewot dan sebal dengan pertanyaan Indra.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Mystery / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...