Kirana menarik napas panjang. Dia sekarang sedang duduk di ruang kerja Dito. Di depannya, ada sebuah map plastik bening warna merah yang disodorkan Ardi kepadanya.
Saat Ardi datang beberapa hari lalu, tidak banyak yang mereka bicarakan. Dari raut wajah dan tatapan matanya, Kirana menyadari Ardi ingin mengatakan sesuatu tapi diurungkannya. Kirana tidak banyak menanggapi. Dia sudah tidak punya lagi tenaga meski hanya sekadar untuk berbasa-basi
Yang diinginkan Kirana saat itu hanya menyendiri sambil menangis. Entah berapa jam perempuan itu memeras air matanya. Hidungnya sampai tersumbat, matanya bengkak, dan kepalanya pun berdenyut. Dia sedang tidak ingin berpikir dan memperparah kondisinya. Terlebih lagi mendapatkan informasi yang mengharuskannya berpikir keras hingga membuat kepalanya semakin tak karuan.
Sebenarnya hingga saat ini Kirana masih berduka. Tiga hari sudah setelah kepergian Embul untuk selamanya, Kirana belum bisa mengikhlaskan. Perempuan itu tidak pernah memaafkan siapapun yang telah mengambil nyawa Embul secara paksa. Terlebih Embul meregang nyawa dengan cara yang menyakitkan. Siapa pun pelakunya sengaja melakukan itu semua untuk menyakiti Kirana.
Rasa duka Kirana kini berubah menjadi amarah. Dia ingin ini semua segera berakhir. Cukup Embul saja yang menjadi korban, jangan ada lagi lainnya.
Kemarin, Kirana sudah bisa menguasai kembali perasaannya. Bukan berarti dia mengikhlaskan tragedi itu. Namun dia menyadari, meratapi teror yang dialaminya secara bertubi-tubi hanya dengan menangis dan bersedih tidak akan menyelesaikan apapun.
Kirana menghubungi Ardi lalu membuat janji dengan lelaki itu. Di sinilah dia sekarang, duduk melingkari meja kerja Dito bersama Ardi.
Kirana masih terdiam. Tangannya masih ragu mengambil map itu. Dia butuh beberapa waktu untuk menenangkan hati dan pikiran sebelum akhirnya Kirana memberanikan diri menarik map itu lebih dekat kepadanya.
"Apapun yang kamu baca dari dalam map ini, aku berharap bisa membuat segalanya lebih baik." Ardi yang duduk di sebelah kirinya berusaha menenangkan.
Kirana mengeluarkan dokumen dari dalam map. Matanya memindai setiap kalimat yang tertulis di sana. Beberapa saat kemudian napasnya tercekat.
"DNA mu dengan korban ... mirip." Dito berkata dengan hati-hati.
"Kami saudara?" Kirana mendongak dari dokumen yang dibacanya. Pandangannya menoleh ke Ardi dan Dito bergantian. Matanya masih terlihat sembab. Kirana menutupinya dengan memakai kacamata baca agar tidak disadari banyak orang saat berada di keramaian.
"Besar kemungkinan ..." jelas Dito lalu dipotong oleh Ardi.
" ... ini hanya satu dari banyak hal. Kamu harus mengumpulkan lebih banyak bukti untuk menjawab pertanyaan itu."
"Selama ini aku berusaha mengingat masa kecilku tapi aku tidak mendapatkan apapun. Orang tuaku juga tidak pernah mengatakan tentang kemungkinan aku punya saudara kandung ..."
"Mungkin ini saat yang tepat untuk mengetahui kebenarannya. Dan hasil tes ini adalah salah satu bukti pendukung. Kamu harus mencari bukti lain untuk menguatkan kalau memang kalian bersaudara."
Kirana terdiam sesaat. "Boleh aku melihatnya lagi?" pertanyaan itu lebih ditujuan ke Dito.
Dito bangkit dari duduknya setelah meyakinkan Kirana dengan permintaannya. Dito ingat betul saat pertama kali Kirana melihat mayat korban, dia tampak tegang. Namun kali ini Dito melihat Kirana lebih tenang.
Kirana sudah mulai terbiasa dengan kejutan-kejutan yang akhir-akhir ini bertubi-tubi datang padanya. Kini tidak ada rasa takut di hatinya, termasuk bertemu lagi dengan kembarannya. Yang ada sekarang justru perasaan kasihan yang saat melihat kembarannya yang terdiam kaku dengan wajah pucat.
Kirana menarik napas panjang sebelum Dito membuka kembali penutup mayat korban bagian kepala. Seketika kesedihan menerjang dadanya. Beberapa hari lalu Embul meregang nyawa. Sekarang, di depannya, perempuan yang meregang nyawa beberapa waktu lalu di rumahnya diduga adalah saudara kandungnya.
Ada rongga kosong dalam dada Kirana yang tiba-tiba muncul setelah melihat korban untuk kedua kalinya. Dia merasakan dadanya sesak, matanya pulai panas dan basah. Kirana merasa kehilangan seseorang yang berasal dari rahim yang sama dengan dirinya, bahkan saat dia sendiri belum pernah mengenalnya.
Dulu saat masih kecil, Kirana selalu merengek minta adik. Kirana sering merasa kesepian saat pulang ke rumah. Kedua orang tuanya sibuk bekerja. Hanya Mbok Yati yang menemaninya.
Kirana merasa iri dengan teman-temannya yang tidak hanya punya satu bahkan dua atau tiga saudara kandung. Mereka ramai bermain bersama. Keseruan yang tidak pernah Kirana dapatkan kecuali saat lebaran tiba. Semua sepupunya berkumpul di rumah nenek-kakeknya. Hanya di saat itulah Kirana merasa punya banyak saudara. Namun saat lebaran usai, usai pula keramaian di hari-harinya.
"Serayu ..." Suara Ardi seolah menarik Kirana dari lamunannya. Dia menoleh ke Ardi di sampingnya seolah meminta penjelasan.
"Namanya Serayu." Ardi mengulang menyebut sebuah nama. Lanjutnya, "dari pencocokan sidik jari dan tanda pengenal."
"Se-ra-yu." Nama yang indah, pikir Kirana. Akan lebih indah lagi andai mereka bisa bertemu sebelum tragedi ini terjadi. Bisa jadi, tragedi ini mungkin malah tidak pernah terjadi.
"Na! Na!" Beberapa kali Ardi memanggil Kirana tapi perempuan itu tidak merespon. Baru pada panggilan ketiga, Kirana berpaling padanya. "Kamu baik?"
"Hmm ... " Kirana terlihat linglung, tatapan matanya kosong. Dia memijat keningnya. "Entahlah. Aku bingung harus bicara apa."
Ardi menggiring Kirana kembali duduk. Dia juga mengambilkan sebotol air dingin yang langsung diterima oleh Kirana. Perempuan itu langsung membuka tutup botol lalu meneguk isinya hingga setengahnya hingga napasnya terengah engah.
Ardi hanya terdiam sambil memandang Kirana yang begitu berusaha mengendalikan emosinya. Dia mengambil minum untuk dirinya sendiri lalu menggulung kemejanya.
"Lenganmu kenapa?" Suara Kirana mengejutkan Ardi. Mereka sama-sama melihat ke lengan Ardi. Sebuah goresan memanjang di lengan Ardi tampak memerah dan kering.
"Terjatuh," jawab Ardi cepat. Dia kemudian meneguk minuman dingin dari botolnya. "Aku kurang hati-hati ..."
"Seseorang ingin mencelakainya." Dito memotong alasan Ardi. Lelaki itu berjalan memutar lalu duduk di kursinya.
Ardi sempat tersedak mendengar Dito yang berkata jujur tentang yang terjadi.
"Sebuah mobil berusaha menabraknya. Untung gerakannya cepat. Dia bisa menghindar meski babak belur." Dito mendadak cepu. Dia menceritakan dengan lancar dengan nada bicara dramatis.
Ardi memutar bola katanya. Sedari awal lelaki itu berniat tidak mengatakan apapun soal mengendara mobil sedan hitam itu yang berusaha mencelakainya.
"Ada hubungannya dengan semua ini?" Kirana menoleh ke Ardi dengan mata melebar.
Ardi meneguk lagi minumnya. Jawabnya, "kami sudah terbiasa dengan teror seperti ini. Kamu jangan khawatir." Nada bicaranya berusaha santai.
Untuk sepersekian detik Kirana tetap memandang ke arah Ardi. Kirana tidak habis pikir, masalah ini melebar kemana-mana. Pelaku menebar terornya secara membabi buta kepada siapapun yang terlibat dalam masalah ini. Kirana pikir, hanya dialah sasaran utama, tapi ternyata Embul dan Ardi pun tidak luput dari terornya.
***
Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.
Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.
With love,
Hana 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Mystery / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...