Chap 5 • Selamat Tinggal Amore

41 7 2
                                    

Candramaya berjalan cepat menghampiri Kinara saat keponakannya itu baru keluar dari mobilnya. Baru beberapa jam lalu Kirana meninggalkan rumah budenya, sekarang dia kembali lagi kemari.

Candra memeluk Kirana yang terlihat lesu. Embul berlari dari dalam mobil sesaat sebelum Kirana menutup pintu. "Kamu ndak apa-apa, Nduk?"

Ana tidak menjawab. Dia hanya mengangguk lemah.

"Syukurlah." Suara Candra bergetar, matanya membasah. Perempuan itu sempat lemas saat mendapat telepon dari Kirana. Dari ujung ponsel, Kirana bercerita tentang peristiwa yang terjadi di rumahnya.

Untuk sementara, Kirana akan tinggal bersama Candramaya. Rumahnya sebagai tempat kejadian perkara akan dikosongkan. Candra sudah menyuruh Mbok Yanti dan Danindra untuk menyiapkan seluruh keperluan Kirana.

Mbok Yanti mengganti seprei dan juga korden. Indra membersihkan seluruh sudut kamar termasuk kaca jendela. Dia juga memastikan pendingin ruangan berjalan baik. Mereka membereskan ruang galeri dan meletakkan bunga baru dalam pot kaca. Bahkan Candra juga membakar dupa agar ruangan wangi. Semua dilakukan untuk mengubah suasana hati Kirana yang masih tegang dengan yang terjadi, menjadi lebih rilek.

"Kamu masuk aja, Na. Biar aku bawakan barang-barangmu." Indra menawarkan bantuan. Dia membuka bagian belakang mobil Kirrana lalu menurunkan koper dan tasnya. 

"Makasih, Mas." Kirana masuk ke rumah bersama Candra. Embul mengekor di belakangnya. Di dapur, Mbok Yanti sudah menyiapkan teh krampul.

"Minum dulu, Mbak. Mumpung masih anget." Seharusnya Mbok Yanti sudah bisa pulang sore itu tapi perempuan yang selalu menyanggul rambut penuh ubannya itu memilih tetap di rumah majikannya. Dia masih menyediakan waktu kalau-kalau Candra atau Kirana membutuhkannya.

"Kamu kenal korban, Na?" Candra bertanya dengan hati-hati.

Karina menggeleng lalu menyecap teh hangat dalam gelas bening. Potongan jeruk di dalam tehnya menambah aroma dan rasa segar.

"Kok bisa sampai di rumah?" Candra masih penasaran. Dahinya berkerut. Dia mulai menebak-nebak. "Jangan-jangan sebenarnya korban ingin berbuat jahat ...""

"Ana belum tahu, Bude. Polisi masih menyelidiki kasus ini," potong Kirana. Sesekali tangannya memijat kening. Kepalanya masih berdenyut. 

"Untung saja kemarin malam Mbak Ana tidur di sini," ucap Mbok Yanti penuh syukur. "Kalau nggak ..." tapi dia tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

Candra membuang napas panjang. "Mulai malam ini kamu tinggal di sini. Kalau kamu mau kemana-mana biar diantar Indra." Dia seolah memberikan instruksi. Kirana hanya mengangguk saja. Dia sudah tidak punya tenanga untuk membantah ataupun beradu argumen dengan siapapun.

Bulan bulat sempurna terlihat jelas dari jendela kamar Kirana. Meski belum terlalu malam, dia berusaha tidur lebih awal. Dia juga sudah meminum obat pereda sakit kepala yang diberikan budenya. Perempuan itu berharap, obat tersebut tidak hanya bisa menghilangkan sakit tapi juga membuatnya mengantuk. Tetapi ternyata tidak.

Kirana mengambil laptopnya lalu beralih ke ruang kerja. Dia membaca ulang coretan tangannya pada kertas outline nya. Dia berusaha mengembangkannya, memaksakan diri untuk menulis, tapi baru beberapa paragraf, Kirana menghapusnya kembali. Sekali dua kali, Kirana mulai frustasi. Dia menggerak meja kerjanya. Meski tidak keras tapi suara yang ditimbulkannya membuat Embul yang rebahan di kursi di depannya langsung menegakkan kepala. Dia meremas kertas-kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah di samping meja.

Kirana menarik napas panjang lalu mengambil ponselnya. Dia mengetikkan sebuah nama di sana lalu menekan tombol dial. Dalam deringan ketiga, suara perempuan menjawab deringan ponselnya.

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang