Chap 27 • Duel

22 2 1
                                    

"Apa aku masuk dalam daftar buronanmu? Atau malah kamu tidak memperhitungkanku?" Indra berdiri, salah satu tangannya berkacak pinggang, tangan yang lainnya mendekatkan batang besi ke kepala Ardi.

Ardi yang terduduk di lantai hanya diam. Posisinya terkunci. Dia berusaha mencerna kalimat Indra.

Indra melengos sambil berdecak. "Ah, Nggak seru!"

"Apa sebenarnya yang kamu inginkan?" tanya Ardi hati-hati.

"Kamu keluar dari kehidupan Na," jawab Indra tegas seolah dia sudah mempersiapkan jawaban itu sebelumnya.

"Jangan lupa. Aku masuk ke kehidupan Na juga karena ulahmu." Ardi menyeringai. "Kamu menguntit Na, menerornya." Jawah Ardi berubah serius. "Jangan-jangan, malam itu kamu salah sasaran. Kamu mengira perempuan yang mirip Na itu adalah dirinya ..."

"Itu bukan salahku!" potong Indra cepat. "Itu sebuah ketidaksengajaan." Dia membela diri. "Aku hanya ingin menakuti Na tapi ternyata dia bukan Na. Dan dia melawan."

Lagi-lagi Ardi menyeringai. "tetap saja perempuan itu mati di tanganmu." Lelaki itu berusaha memancing Indra. Nyatanya berhasil. Indra mangoceh sendiri tentang kejahatannya.

Wajah Indra merah padam. Ucapan Ardi seolah ejekan baginya.

Saat Indra mengayunkan besi, Ardi meraih bangku kayu kecil di depan bufet lalu dengan cepat melemparkannya ke Indra. Indra tersentak ke belakang. Saat mulai dapat mengusai keseimbangan kembali, Indra berusaha mengayunkan besi panjang lagi ke Ardi. Ardi berguling ke samping, bangkit dengan cepat lalu melayangkan pukulan bertubi-tubi ke Indra. Besi itu terlepas dari tangan Indra. Lelaki itu terhuyung, tubuhnya tersungkur tak bergerak.

Selama duel antara kedua lelaki itu terjadi, Kirana menutup matanya rapat. Dia tidak ingin melihat keduanya saling pukul dan tendang. Andai bisa, ingin rasanya dia segera menghilang dari sana.

Ardi mengatur napas. Dia berjalan mendekati Indra, memastikan lelaki itu tak sadarkan diri. Namun saat Ardi mendekat, seketika Indra melayangkan kakinya ke perut Ardi. Ardi tersentak ke belakang hingga terbentur bufet hingga kepalanya mulai berdenyut.

Indra berusaha bangkit. Dia menoleh ke Ardi sambil menyeringai. "Seharusnya hari itu aku langsung menghabisimu. Tidak perlu memberi peringatan. Langsung tabrak saja!"

Indra mendekat lalu menarik kerah baju Ardi. Satu pukulan mendarat di wajahnya, dua, tapi tidak yang ketiga.

Ardi mengayunkan sekuat tenaga kepalan tangannya ke perut Indra. Tidak hanya sekali. Ardi melakukannya berkali-kali dengan cepat. Dan yang terakhir, satu pukulan ke wajah Indra yang membuatnya tersentak ke belakang lalu jatuh terkapar. "Jangan mimpi! Aku tidak akan semudah itu mati di tanganmu!"

Indra tak bergerak.

Ardi mengatur napasnya kembali sambil memijat keningnya. Dengan terhuyung, Ardi berjalan mendekat ke Kirana. Masih dengan napas tersengal, Ardi berjongkok melepas kain yang membekap mulut Kirana. Seketika tangis perempuan itu pecah.

"It's okay, Na! It's okay!" Ardi berusaha menenangkan Kirana. Dia menarik Kirana ke pelukannya. Tubuh perempuan itu berguncang. Bahu Ardi basah oleh air matanya.

Saat Kirana mulai tenang, Ardi mengurai ikatan tali di belakang kursi. Ikatan itu mulai longgar hingga Kirana bisa melepaskan kedua tangannya sendiri. Ardi juga membantu melapas ikatan di pergelangan kaki Kirana.

"Sakit, Na?" tanya Ardi sambil menyingkirkan tali itu dari tubuh Kirana.

"Sedikit." Kirana merasa tidak pantas mengeluh. Apa yang dirasakannya tidak sebanding dengan yang dirasakan Ardi. Perempuan itu mendongak, memindai wajah lelaki di depannya. Ada lebam dan luka terbuka di wajahnya. Bahkan darah masih merembes dari hidungnya.

Kirana kembali menangis. Pelukan Ardi menenangkannya. Dia merasa aman. Namun itu hanya sesaat ketika tiba-tiba sesuatu menghantam kepala Ardi yang membuat lelaki itu terjatuh ke samping.

"Cukup adegan romantisnya! Aku benci kalian!" teriak Indra penuh amarah.

Kirana berteriak histeris. Tangannya meraih kotak tisu dari kayu di atas buffet lalu melemparkannya ke Indra. Rupanya itu tidak membuat Indra tersakiti. Lelaki itu bergeming. Bahkan saat Kirana bangkit untuk melarikan diri, Indra berhasil menariknya.

Kirana memberontak. Dia mengayunkan kepalan tangannya ke wajah lalu ke perut Indra. Lelaki itu mengerang dan Kirana bisa lolos. Perempuan itu hendak lari tapi Indra menariknya kembali. Kali ini keduanya tersungkur.

Saat Kirana hendak bangkit, Indra menarik pergelangan kaki Kirana. Perempuan itu terjerembab. Sekuat tenaga Kirana berusaha melepaskan pergelangan kakinya dari cengkraman tangan Indra. Dia menjejakkan kakinya berkali-kali hingga cengkeraman tangan lelaki itu merenggang. Kirana menarik kakinya sekali lagi lalu menghentakkannya sekuat tenaga hingga mengenai wajah Indra.

Indra mengerang kesakitan. Dia melapas pergelangan kaki Kirana lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

Kirana bergegas bangkit lalu berlari hingga ke dapur. Indra mengejarnya dan berhasil mendapatkannya. Dia mengunci leher Kirana dengan sikunya. Lelaki itu menarik lengannya semakin kuat yang membuat perempuan itu tidak bisa bernapas.

"Aku mencintaimu, Na," ujarnya dengan penuh penekanan tepat di telinga Kirana. Giginya gemeretak. "Kalau kamu tidak menjadi milikku, maka orang lain pun tidak!"

Lengan Indra semakin rapat sampai-sampai Kirana sempat berpikir akan mati di tangan lelaki itu. Namun tiba-tiba Indra tersungkur membuat Kirana ikut terjatuh.

Rupanya Ardi menendang bagian belakang lutut Indra. Tanpa memberi kesempatan, Ardi kembali menendang Indra. Beberapakali tendangannya mendarat di perut lelaki itu. Sayangnya, tendangan terakhir Ardi mampu ditangkap Indra lalu dibalikkannya hingga membuatnya terjatuh.

Kirana merasa ketakutan. Dia memilih menepi sambil menenangkan diri. Dia sudah tidak punya tenaga untuk berlari. Beberapa kali dia merasa ngeri saat Indra menguasai situasi dan menyudutkan Ardi.

Indra berjalan ke meja dapur dan menarik satu pisau dari tempat penyimpanan. Dia mulai gelap kata dan mengayunkan pisau itu Ardi. Beberapa serangan Indra berhasil dihindari Ardi hingga serangan terakhir, Ardi menahan tangan lelaki itu. Kini keduanya bergumul hingga terjatuh. Sialnya, posisi Ardi berada di bawah. Indra menindih di atasnya dengan pisau yang diarahkan ke lehernya.

Ujung pisau berjarak hanya beberapa mili di leher Ardi. Ardi masih berusaha menahannya dan tidak membiarkan Indra menggoresnya sedikitpun. Kedua tangan mereka saling mengunci.

Dalam satu serangan, Ardi membenturkan kepalanya ke kepala Indra. Lelaki itu kesakitan, tidak mengira akan mendapatkan serangan itu. Tanpa menunggu, Ardi melayangkan pukulan hingga Indra terhuyung ke belakang.

Pertahanan Indra rupanya masih kuat. Dia kembali menyerang Ardi dengan pisau. Sayangnya kali ini Ardi mampu menangkap tangan Indra lalu membalikkan ujung pisau itu menghadap ke padanya. Dalam satu gerakan, cepat dan dalam, pisau itu bersarang di perutnya. Indra tersungkur. Cairan merah merembes kaluar hingga menggenang di lantai.

Ardi menjauh dari tubuh Indra lalu mendekat ke Kirana. Seketika perempuan itu menghambur ke pelukannya. "Semua sudah berakhir ..." kata Ardi sambil mengatur napas.

Ardi bersandar pada lemari dapur. Kirana terduduk di sampingnya. Perempuan itu merebahkan kepalanya di bahu Ardi sambil memejamkan mata. Lelaki itu bisa mendengar suara napas Kirana yang mulai teratur.

Ardi meraih ponsel dari sakunya dan menghubungi Setyo. Dalam deringan pertama, suara lelaki itu sudah terdengar di telinganya.

"Aku butuh ambulan. Dua terluka dan satu ... Entahlah. Mungkin dia sudah mati."

***

Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.

Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.

With love,

Hana 💕

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang