Kirana memijat-mijat keningnya. Hari ini terlalu banyak kabar yang datang padanya dan dia belum siap untuk itu. Ardi duduk di sampingnya, di balik kemudi.
"Masih pusing?" tanya Ardi. Sesekali lelaki itu melirik perempuan di sampingnya untuk memastikan dia dalam keadaan baik.
"Lumayan." Kirana sudah meminum obat sakit kepala pemberian Dito tadi. Perlahan obat mulai bekerja.
Mobil yang dikemudikan Ardi naik ke fly over lalu berbelok ke kanan. Saat turun, Ardi melirik kaca spion. Dia menandai sebuah sedan hitam yang sedari tadi berada di belakangnya. Saat jalur lurus menuju jalan utama macet, Ardi membelokkan mobilnya ke kiri, menuju jalan alternatif.
Mobil Ardi melaju di jalanan yang lebih sempit. Kirana merasakan mobil berbelok beberapa kali. Ke kanan, kiri, lalu ke kanan lagi. Dia mendongak dan memperhatikan daerah yang dilaluinya.
"Kita kemana?"
"Mengantarmu pulang," jawab Ardi singkat. Dia terus melajukan mobilnya sambil sesekali memantau kaca spion.
"Aku belum pernah lewat daerah ini." Kirana mengamati sekeliling. Mereka melewati hotel yang berdiri di tengah perkampungan, klinik hingga beberapa restoran yang dibagun unik dengan kekhasan masing-masing.
"Pepatah bilang banyak jalan menuju Roma, berarti banyak jalan juga untuk pulang," sesekali Ardi memnatau kaca spion. Sedan hitam itu masih di belakang mereka. "Kenapa? Takut diculik?"
"Nggak," berhasil membuat Kirana tersenyum. "Aku sih percaya aja. Kalau nggak percaya sama polisi, terus sama siapa lagi?"
Percakapan mereka tak sekaku sebelumnya. Bahasa mereka mulai lebih akrab. Tidak ada lagi Saya-Anda, berganti dengan Aku-Kamu.
Mereka saling bertukar nomor ponsel. Kirana meminta foto korban yang mirip dirinya lalu Ardi mengirimnya lewat aplikasi whatsapp. Sepanjang perjalanan mereka mengobrol untuk mencairkan suasana. Tema yang mereka obrolkan pun lebih banyak menyerempet ranah pribadi, bukan lagi saksi - polisi.
Ardi mengarahkan mobilnya masuk ke jalur utama. Sedan hitam melakukan hal yang sama. Kendaraan ramai lancar. Ardi sengaja mempercepat laju mobil. Dia menyalib beberapa mobil lain dan beberapa kali mengambil lajur yang berbeda.
Beruntungnya, mereka lolos dari lampu merah. Ardi tersenyum tipis. Sedan hitam itu terjebak di lampu merah dan berada di posisi terjepit di antara mobil lainnya.
Ardi menghentikan mobilnya di sebuah rumah satu lantai dengan pekarangan lumayan luas. Matahari akan tenggelam dan lampu-lampu di sekitar rumah mulai dinyalakan.
Kirana membuka gerbang dan mendapati budenya sedang menyiram tanaman. Ardi berjalan di belakangnya.
"Kok sampai sore, Na?" tanya Candra. Tangannya mematikan kran air di samping tanaman Sirih Belanda yang mulai merambat di dinding pagar.
"Banyak hal yang harus dibicarakan, Bude."
Sesaat Candra menyadari Kirana tidak pulang sendiri. Dia berbisik ke keponakannya. "Kamu pulang sama siapa?"
Kirana menoleh ke lelaki yang berdiri di belakangnya. "Kenalkan ini Mas Rahardian,"
Ardi mengulurkan tangannya untuk salaman. "Saya Ardi. Maaf kalau Kirana pulang sampai malam."
Candra menyambut uluran lelaki itu. "Oh, iya. Nggak apa. Yang penting anaknya selamat sampai rumah."
Pandangan Candra tidak lepas dari Ardi. Otaknya sambil berpikir, mengingat-ingat sosok di depannya. Dan sejauh ingatan Candra, Kirana belum pernah menyinggung ataupun membicarakan lelaki ini saat bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Misteri / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...