Chap 14 • Tragedi

28 3 1
                                    

Cahaya matahari pagi masuk ke kamar kirana lewat jendela, menembus tirai. Silaunya membuat mata Kirana seketika terjaga. Dia merasa sangat sehat pagi ini. Efek obat flu yang diminumnya membuatnya merasa sangat mengantuk. Namun justru itu yang membuat tidurnya sangat lelap.

Kirana diam sejenak. Otaknya memproses memorinya tentang semalam. Dia makan malam bersama Ardi. Makan malam yang tidak direncanakan, seadanya tapi justru membuat Kirana merasa terkesan.

Kirana tidak menyangka, di balik wajahnya yang serius dan sikapnya yang kaku sebagai polisi, Ardi adalah sosok yang ramah. Dan senyumnya yang mematikan membuat Kirana harus selalu memalingkan wajah untuk melindungi jantungnya agar tetap berdetak normal.

Dada Kirana menghangat. Dia ingat ucapan Ardi tentang buket mawar itu. Tentang Sovie dan Sebastian. Kirana kenal betul kalimat itu. Ardi mengutipnya dari Amore, serial novel romance yang ditulisnya.

"Jangan katakan pada siapapun aku membaca semua novelmu. Ini rahasia kita."

Kirana ingat betul pesan Ardi itu. Dia kemudian tersenyum lalu menunduk. Dia belum bermake up tapi pipinya terlebih dulu merona. Dia mengangkat selimut untuk menutupi wajahnya. Ardi membaca novelnya. Bukan! Bisa jadi dia salah satu penggemar Amore. Lelaki itu membaca semua serinya. Dia ingat alur ceritanya bahkan adegan dan dialog dalam cerita Amore. Bahkan dia tahu kebenaranya, bahwa dialah Ana Karenina.

Kirana mengerutkan dahi. Entah dari mana Ardi bisa tahu tentang nama penanya itu. Namun Kirana sadar, Ardi seorang polisi. Dia punya pengamatan jeli tentang sekitarnya. Bisa jadi saat pertama lelaki itu masuk ke rumahnya, dia menemukan banyak petunjuk tentang Ana Karenina. Meski demikian, dia tidak akan mempermasalahkan hal itu. Kiran yakina, Ardi bukan sosok berbahaya seperti fans fanatik yang akan melakukan apa saja untuk mendapat perhatian idolanya.

Kirana menghela napas panjang, tersenyum, lalu menggeliat. Tiba-tiba dia teringat amplop cokelat. Amplop yang dibawa Ardi untuknya. Semalam, Kirana membuka kembali amplop itu sebelum tidur. Dia yakin sudah menyimpan amplop itu kembali, di atas nakas.

Mata Kirana membulat saat menemukan buket mawarnya teronggok di lantai. Pecahan kaca vas bunga juga berserakan. "Embuulll!!!"

Kirana yakin kucing gembul itu tersangka utamanya. Dia menoleh ke tempat tidur Embul namun tidak menemukan kucing berbulu lebat warna abu-abu kombinasi putih itu di tempatnya. Dia berjalan perlahan agar pecahan kacanya tidak melukainya. Dia memunguti mawar putihnya pemberian Ardi.

Panjang umur. Sosok yang sedari tadi di kepala Kirana terpampang namanya pada ponselnya. Seringkali, saat Ardi menelpon, Kirana sengaja diam saat mengangkatnya. Dia membiarkan Ardi memulai percakapan terlebih dulu, atau paling tidak mengucapkan kata Hallo. Suara lelaki itu di ujung ponsel membuat Kirana mendadak bisa tersenyum sendiri. Tentu Kirana tidak akan melakukannya saat bertemu langsung dengannya. Kirana tidak mau dianggap gila karena tersenyum tanpa sebab meski di hatinya riuh oleh percikan kembang api.

"Terimakasih buat semalam. Sudah dimasakkan, diajak makan malam dadakan." Kirana mencoba basa-basi untuk mengalihkan rasa groginya.

"Cuma begitu saja." Ardi merendah.

"Yeah, paling nggak aku nggak jadi kelaparan." Kirana merasa bodoh karena membahas hal itu. Dia yakin Ardi menghubunginya bukan untuk urusan remeh-temeh seperti itu.

"Kapan-kapan kita makan malam yang direncanakan," ajak Ardi. Kirana tidak menolak. Perempuan itu berpikir, Ardi sosok yang simpel. Dia tidak perlu hal ribet untuk menciptakan momen sederhana tapi mengesankan.

"Oh, iya. Tentang foto itu ..." Kirana merasa bersalah sudah menghilangkan amplop itu dan berharap Ardi tidak akan marah padanya.

"Kamu ingat sesuatu tentang pelaku?" Ardi mencoba mengkonfirmasi lagi ke Kirana.

"Nah! Itu masalahnya. Aku lupa dimana menaruh amplopnya." Kirana benar-benar menata kalimatnya. Dia berbicara dengan perlahan. "Aku yakin masih di sekitar rumah. Tapi kupikir, mungkin kamu bisa mengirim soft filenya. Aku janji bakal mencari lagi amplopnya."

Tidak seperti dugaannya, suara Ardi tidak menggelegar. Lelaki itu tetap tenang. Kirana merasa aman. Bahkan hanya dalam hitungan detik, Ardi sudah mengirimkan foto-foto pelaku persis seperti yang diberikan dalam amplop.

Setelah telpon itu, Kirana merasakan dadanya menghangat. Dia merasakan perasaan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Dia pernah pernah jatuh cinta, atau hanya sekedar naksir, tapi bukan seperti ini. Telpon dari Ardi membuat Kirana lupa kalau tadi dia sedang marah pada Embul. Benar benar, lelaki itu seperti air yang membuat api seketika padam.

Kirana meletakkan mawar-mawarnya di atas buket. Dia akan mengurusnya nanti. Setelah mengumpulkan pecahan kaca lalu menyingkirkannya, dia berjalan ke ruang kerja. Tentu saja, Kirana memburu tersangka utama pelaku pemecah vasnya.

Ruang kerja sepi. Tidak ada pergerakan apapun di sana. Kirana berjongkok melihat setiap sudut bawah ruangan kalau-kalau Embul sengaja bersembunyi karena takut dimarahi.

"Embul!!" panggil Kirana tapi kucing tambun itu tidak juga menunjukkan batang hidungnya.

"Baiklah. Aku nggak akan marah. Yuk, Mbul! Cepetan keluar dari persembunyianmu!" Kirana berusaha membujuk. Selayaknya manusia, bisa jadi Embul merasa bersalah. Kucing itu bersembunyi agar tidak kena marah dan akan keluar beberapa saat kemudian ketika amarah majikannya sudah mereda.

"Mbul!!" Kini malah Kirana yang merasa bersalah membuat kucingnya ketakutan hingga tidak mau keluar dari persembunyiannya. Kirana mulai merasa aneh. Lebih tepatnya khawatir. Kamar Kirana tidak begitu luas. Begitu pula ruang kerjanya. Kalau pun bersembunyi, Embul pasti akan mudah ketahuan. Dengan tubuh tambunnya, tidak banyak tempat bisa dijadikan persembunyiannya.

Sekali lagi Kirana mengitari ruang kerja dan kamarnya. Embul tidak meninggalkan jejak. Sangat tidak mungkin Embul tiba-tiba menghilang seperti udara. Kirana sempat berpikir kemungkinan Embul keluar kamar, tapi kemungkinannya kecil karena pintu kamarnya tertutup rapat. Meski Embul mencoba berdiri, tangannya tidak mungkin menjangkau pegangan pintu. Apalagi memutar lalu membuka daun pintunya.

Kirana membuka pintu kamar, berjalan beberapa langkah, lalu menyapukan pandangan ke sekitar taman tengah. Dia merasakan sapuan lembut angin di kulitnya. Kombinasi hangatnya mentari dan udara pagi sangat pas untuk mengawali hari penuh semangat. Hari ini dia akan melanjutkan menulis naskahnya, tapi tentu saja dia harus menemukan Embul terlebih dahulu

Kirana melihat lurus ke depan. Dia mengerutkan dahi saat melihat genangan di tepi teras kamarnya. Dia mendekat perlahan dan mendapati cairan merah di sana. Beberapa tetesan jatuh tepat dari atas kepalanya. Kirana menyapu kepalanya dan menemukan tetesan cairan merah memenuhi telapak tangannya. Perempuan itu mendongak dan seketika matanya membulat.

Kirana berterika histeris. Suasana pagi yang biasanya sepi membuat jeritan Kirana terdengar hingga ke pekarangan depan. Mbok Yanti yang sedang memasak di dapur, Candra yang sedang berdandan di kamar, dan juga Indra yang baru saja datang mengantarkan mobil Kirana, berhamburan menuju sumber suara.

Mereka mendapati Kirana tergeletak di lantai teras kamar. Di sampingnya, genangan merah mirip darah membuat semuanya semakin takut dengan kondisi Kirana.

"Na! Na!" Suara Indra mencoba memanggil Kirana. Dia meletakkan kepala Kirana di pangkuannya lalu menepuk-nepuk pipinya. Perempuan itu tidak bereaksi.

Awalnya semua mengira Kirana terluka dengan adanya genangan darah itu. Namun saat tetesan merah kembali jatuh ke lantai, semua mendongak ke atas.

"Embul!!!" teriak Candra. Matanya membulat. Mulutnya terbuka tapi dia tak bisa bersuara. Di sampingnya Mbok Yanti terdiam sambil menutup mulutnya.

Embul ada di atas mereka. Tubuhnya dalam posisi terbalik. Tergantung di salah satu cabang Kamboja yang tumbuh besar di depan teras kamar Kirana.

Pohon yang dikerumuni kembang-kembang berwarna kuning cerah itu tak lagi tampak indah dengan keberadaan Embul yang meregang nyawa di sana.

***

Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.

Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.

With love,

Hana 💕

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang