Chap 19 • Pencarian

29 3 0
                                    

Kirana membelokkan mobilnya ke parkiran Pasar Bringharjo. Sesuai dengan kesepakatan dengan budenya beberapa hari lalu, mereka akan menelusuri keberadaan keluarga Serayu di Jogja.

Kirana memanfaatkan perjalanan Solo-Jogja sekaligus untuk refreshing. Dia berusaha meninggalkan segala kepenatannya di Solo. Dia perlu jalan-jalan, melihat suasana luar bahkan jauh dari masalah. Bukan berarti masalah akan hilang dengan sendirinya, tapi paling tidak Kirana merasa lebih tenang.

Beberapa hari lalu Candra juga sudah woro-woro ke teman-tekannya. Perempuan itu berusaha mencari kucing yang bisa diadopsi sebagai pengganti Embul. Namun rupanya usaha Candra sia-sia. Kirana tetap menolak mengadopsi kucing lain. Dia masih belum bisa melupakan Embul. Apalagi menggantikannya.

Bagi Kirana, Embul bukan hanya sekedar hewan peliharaan. Dia sudah selayaknya teman baginya. Setiap hari Embul bersamanya. Kucing itu terkadang menggemaskan tapi juga tidak jarang menjengkelkan. Mereka jalan-jalan, menghabiskan waktu berdua. Semacam soulmate. Tidak jarang, Embul yang sudah punya tempat tidur sendiri lebih suka menyusup ke selimut Kirana pada malam hari. Sebegitu dekatnya mereka hingga rasa kehilangan yang dirasakan Kirana atas kepergian Embul hampir saja mengubah amarahnya menjadi dendam.

Kirana mendapatkan Embul dari kakeknya dua tahun lalu. Itu adalah saat dimana Kirana lebih banyak menghabiskan waktunya di Jakarta. Kirana akhirnya pindah ke Jakarta. Kakek Kirana tidak ingin cucunya itu kesepian di rumah barunya. Dia sengaja membawa Embul dari Solo ke Jakarta saat menjenguk Kirana sekaligus berlibur.

Embul adalah generasi kedua kucing peliharaan kakeknya. Si Olen, induk Embul, meninggal sesaat setelah melahirkan karena ditabrak mobil. Saat pertama menerima Embul dari kekeknya, Embul masih kucing bayi. Kirana bingung bagaimana mengasuhnya, tapi kakakenya begitu telaten mengajari Kirana untuk merawat Embul. Itu sebabnya, hubungan Kirana dengan Embul bukan sekedar pemilik dan hewan peliharaan. Namun rupanya rupanya nasib Embul saka seperti ibunya. Sama-sama berakhir tragis.

Candra menyibak lautan manusia di dalam pasar. Kirana mengekor di belakangnya. Ini pertama kalinya Kirana masuk ke Pasar Bringharjo. Dia lebih sering ke Pasar Klewar karena memang budenya punya beberapa kios batik di sana. Kirana melihat banyak kesamaan di antar kedua pasar ini, terutama tentang kios-kios penjual batiknya.

Candra ada janji dengan temannya di salah satu kios batik. Mereka sudah berteman cukup lama. Bahkan saat mereka sama-sama merintis awal bisnis kain batik. Mereka saling support satu sam alain, bahkan sering berdiskusi seputar dunai bisnis.

"Ndak keblasuk, kan?" Tanya Bu Atmo. Sekilas Kirana menebak usia perempuan yang menyanggul rendah rambut hitamnya hampir sama dengan budenya. Kirana sempat naksir dengan kebaya kutu baru warna merah yang dipakai Bu Atmo.

"Ndak, yang nyupiri handal. Tenang aja," jawab Candra sambil tersenyum. Dia menarik dingklik kayu tinggi untuk dirinya dan Kirana. Kios Bu Atmo tidak begitu luas. Hampir setiap sudut kiosnya sekaligus sebagai etalase barang jualannya. Hanya ada satu dingklik di bagian depan dan meja kecil untuk Bu Atmo, dua dingklik lagi di bagian luar yang sekarang dipakai Candra dan Kirana.

"Kenalin ini, keponakanku." Candra menoleh ke Kirana.

"Ayune," puji Bu Atmo yang sedari tadi sudah mencuri pandang ke arah Kirana. Biasanya Candra datang sendiri, tapi tumben kali ini ada yang menemani. "Sudah punya pacar, belum? Kalau belum, aku kenalkan keponakanku." Goda Bu Atmo dengan suara rendah.

Kirana hanya tersenyum. Dia sengaja tidak banyak ikutan nimbrung obrolan kedua ibu-ibu pebisnis itu. Kirana lebih suka mendengarkan kehebohan keduanya sambil sesekali melihat-lihat dagangan Bu Atmo yang dipajang di sekitar kios.

Candra menyondongkan tubuhnya. Suaranya tidak kalah lirih dari Bu Atmo. "Dia lagi patah hati, masih dalam proses move on."

"Owalah." Suara Bu Atmo tiba-tiba meninggi membuat Kirana kaget. Kirana sampai melirik kanan dan kiri, berharap orang-orang di sekitarnya tidak mendengar nasib percintaannya. "Mesake men to, Nduk. Gek ndang move on, gek ndak golek sing anyar. Yang sudah berlalu biarkan berlalu."

Kedua ibu-ibu itu terkekeh. Sedangkan Kirana hanay bisa memberengut.

"Samping itu juga kiosmu?" tanya Candra sambil meoleh ke kios sebelah.

"Iyo, pas dijual, pas ada uangnya."

"Wah, hebat! Itu namanya rizki."

Keseruan obrolan Candra dan Bu Atmo membuat dua jam berlalu tanpa terasa. Sebelum keluar, Candra sempat membeli beberapa cemilan krasikan dan bakpia.

"Amunisi untuk misi kedua," celoteh Kirana saat melihat belanjaan budenya sambil geleng-geleng kepala.

Candra terkekeh. "Dari pada nanti kelaparan di jalan." Dia menyomot satu bakpia lalu mengigitnya hingga rasa gurih dan manis dari isi kacang hijaunya lumer di mulutnya.

Kirana membelokkan mobilnya keluar dari jalan utama lalu masuk ke jalanan kampung.

"Ini benar jalannya?" tanya Candra sambil menolah noleh sekitar.

Kirana menuliskan kembali alamat yang diberikan Ardi pada google map. "Seharusnya sih iya."

Tidak mau membuang waktu, Kirana sempat turun dari mobil lalu bertanya ke salah satu ibu yang kebetulan sedang menjemur pakaian di pekarangan rumah.

"Serayu?!" Ibu itu terdiam sejenak seolah berpikir. "Oh, maksudnya Ayu? Anaknya Bu Pramesti?"

Kirana mengangguk cepat.

"Lurus aja, permepatan belok kanan, nanti ada rumah yang ada pohon mangganya," jelas ibu sambil tangannya memperagakan arah yang harus dilalui Kirana.

Kirana tidak banyak tahu tentang keluarga Serayu. Namun dari ucapan ibu tadi Kirana mendapatkan sebuah nama. Pramesti, ibu Serayu.

"Ini rumahnya, Na. Ada pohon mangga." Candra menoleh kanan-kiri, depan-belakang memastikan tidak ada rumah yang menanam pohon mangga selain rumah milik Serayu.

Kirana mematikan mesin mobilnya lalu terdiam.

"Apapun hasilnya nanti, kita kumpulkan dulu informasinya. Baru kita susun perlahan, seperti puzzle," ujar Kirana, lebih ke diri sendiri.

Cadra hanay mengangguk. Dia memberikan keleluasana pada keponakannya itu untuk bertindak sesuai dengan keinginannya.

Kirana sengaja mengenakan masker dan topi semenjak keluar dari pasar. Dia tidak ingin mengambil resiko, orang-orang yang mengenal Serayu akan mengenalinya sebagai perempuan itu.

Candra mengetuk pintu kayu berwarna biru putih. Hinga ketukan ketiga tidak ada jawaban dari dalam rumah.

"Cari siapa?" Suara dari belakang, mengagetkan Candra dan Kirana. Sebuah kepala menyembul dari balik pagar bagian samping rumah Serayu.

"Ini benar rumah Serayu?" Tanya Candra sambil berjalan mendekat.

"Oh, Ayu. Iya benar. Tapi orangnya nggak ada di rumah. Setelah ibunya meninggal, Ayu pergi ke Solo. Ke rumah budenya."

"Budenya Ayu tinggal di Solo?" Kali ini Kirana bersuara. Satu informasi yang didapatkannya.

"Iya. Mbaknya temannya Ayu?" tanya tetangga Serayu itu.

Kirana mengangguk.

"Coba hubungi saja Ayunya aja."

"Ibu punya nomor ponselnya," tanya Candra.

"Wah, saya ndak punya," kata perempuan itu, lalu menoleh ke Kirana. "Mbaknya kan temannya Ayu, pasti punya, kan?"

Kirana seketika mengangguk cepat. "Eh, iya, ada."

Kirana dan Candra tidak berlama-lama di rumah Serayu. Setelah berterimakasih pada ibu tetangga Serayu, mereka pu berpamitan. Saat ibu itu kembali ke pekarangan rumahnya, Kirana menyempatkan mengambil beberapa foto rumah itu dari beberapa sudut.

Sepanjang perjalanan pulang Candra lebih banyak tertidur di bangku penumpang. Sedangkan Kirana yang mengemudi di sampingnya bahkan tidak bisa tenang. Otaknya terus memproses informasi baru yang didapatkannya hari ini, berusaha menghubungkan benang merah semua kejadian dari awal. Termasuk tentang Pramesti, ibu Serayu yang baru saja meninggal. Dan juga bude Serayu yang tinggal di Solo.

***

Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.

Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.

With love,

Hana 💕

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang