Chap 21 • Dia

23 2 2
                                    


Kirana mengusap lembut batu nisan di depannya. Dia mengeja nama yang tertulis di batu nisan. Kirani Putri Adiwangsa. Kirana berandai-andai, bayi yang berada di bawah nisan mungil ini masih hidup, dia pasti sudah sebesar dirinya. Kirana tidak perlu merengek minta adik ke orangtuanya.

"Emang ada yang jual adik di pasar?" ujar bapaknya saat Kirana kecil merengak minta dibelikan adik. Sekarang Kirana bisa tersenyum saat mengingat kalimat bapaknya itu.

"Bude mewakili bapak dan ibumu meminta maaf. Sudah sekian lama menyembunyikan rahasia ini darimu," ucap Candra sambil mencabut beberapa rumput liar di sekitar nisan.

"Na sudah maafkan, kok, Bude. Toh kita tidak bisa mengatur soal kematian. Meski sedikti kecewa tapi Na mulai menerima dan memahami. Bapak dan Bude melakukan semuanya demi ibu dan Na. It works. Buktinya, semua berjalan baik sekarang." Kirana menerima kelopak-kelopak bunga mawar lalu menaburkannya ke atas makam. Mereka berdua berdoa untuk Kirani. Kirana kemudian mengambil foto nisan kembarannya untuk kenang-kenangan.

Kirana mengantarkan Candra ke Pasar Klewer. Dia menepi di sekitar gapura pasar. Tak jauh dari mobil Kirana, beberapa karyawan Candra sedang menurunkan berkodi-kodi dagangan batik dari sebuah mobil.

Pagi itu pesana Candra darang dari supplier. Candra menyapa supliernya, meminta nota lalu mencocokkan pesannya.

"Nanti kalau sudah sampai kios, langsung dibongkar, ya. Sebagian sudah ada yang pesan soalnya." Candra memberikan perintah ke karyawannya. Satu karyawan lelakinya memanggul beberapa kodi di punggungnya, sedang dua karyawan perempuan masing-masing menenteng satu ikat di tangan kiri dan kanan.

Kirana sempat turun dari mobil lalu merapat ke tumpukan dagangan budenya. Dia menajamkan pernglihatannya kalau saja ada motif yang cakep bisa dicomotnya.

Mata Kirana berbinar saat melihat rok panjang setengah lingkaran warna biru tua dengan gambaran batik warna putih. Dia juga menarik kulot batik warna cokelat tua dengan aksen tali d bagian pinggangnya.

"Na ambil dua ini, ya." Kirana memberitahu budenya sambil terkekeh. Dia langsung berlari kecil menuju mobilnya sebelum budenya ngomel-ngomel padanya.

"Hadeh, anak wedok." Candra geleng-geleng kepala melihat tingkah Kirana. Namun Candra membiarkan keponakanya itu. Paling tidak Kirana sekarang tidak lagi bersedih, sudah bisa tersenyum lebar.

Kirana melajukan mobilnya, menyibak kemacetan di sekitar Pasar Klewer. Hari ini dia punya banyak agenda. Salahs atunya menjenguk Mbok Yanti di rumahnya.

Hari ini Mbok Yanti izin tidak masuk kerja. Perempuan itu mengaku, beberapa hari terakhir merasakan tuduhnya tak karuan. Dia berusaha bertahan tapi akhirnya tumbang juga.

Kirana sempat mampir ke sebuah toko roti. Dia membeli beberapa makanan untuk Mbok Yanti. Kirana ingat, Mbok Yanti suka dengan cemilan pastel, kroket, dan juga sosis.

Kirana muncul di rumah Mbok Yanti tanpa mengabari sebelumnya. Kirana memarkirkan mobilnya di depan rumah. Rumah itu tampak sepi. Pintu rumah sedikit terbuka. Kirana mengetuk pintu beberapa kali tapi tidak ada seorang pun muncul.

"Mbok Yanti ..." Kirana masuk perlahan sambil menengak nengok sekitar ruangan. "Mbok ..."

Kirana menuju ruang tengah. Mbok Yanti ada di sana, duduk di kursi sambil menonton televisi. Mbok Yanti terlihat sedikit pucat. Dia memakai baju tebal. Beberapa potongan koyo tertempel di dahi kiri dan kanannya.

"Sudah sehat, Mbok?" Tanya Kirana sambil menyerahkan makanan yang tadi dibelinya.

"Yeah, beginilah. Maklum tubuh sudah tua." Perempuan itu terkekeh sambil mengecilkan volume televisinya.

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang