Sosok itu tersenyum lebar. Dia menikmati langit senja dari balik jendela kaca. Dia menyecap kopi hitamnya yang masih mengepulkan asap. Kafein dari kopi pekatnya membuatnya terus terjaga dan bersemangat.
Sosok itu bangkit dari duduk, lalu berjalan mendekat pada sebuah meja. Dia menarik salah satu laci meja kayu yang mulai lapuk lalu mengambil sesuatu dari dalamnya. Sesuatu yang dibungkus kain putih. Dia meletakkan bungkusnya itu di atas meja lalu tersenyum kembali sambil membuka bungkusnya.
"Menyenangkan bermain-main dengan benda ini." Sosok itu mengangkat tinggi benda itu. Sebuah keris yang diambilnya dari ruang kerja Kirana beberapa hari lalu.
"Terimakasih sudah membantuku membuat kejutan untuk Kirana, Mbul." Sosok itu mengelap dengan hati-hati bagian ujungnya. Keris itu sudah bersih sekarang. Tidak seperti beberapa hari lalu saat dia bermain dengan nyawa Embul, kucing kesayangan Kirana.
"Kita lihat, apakah Kirana akan memasukkan kematianmu ke dalam tulisan terbarunya? Bukankah dengan begitu kamu akan kekal selamanya dalam kenangan Kirana?"
Sosok itu ingat betul bagaimana kucing tambun yang baru saja dibawanya dari Kamar Kirana itu menggeliat, lalu tiba-tiba mengerang saat tangannya membekap kucing itu kuat. Kucing itu tidak dapat bergerak saat ujung keris itu mulai menyibak bulu lebatnya lalu merobek kulitnya. Darah segar mengalir membuat bulu halusnya basah. Warnanya tak lagi secantik putih abu-abu. Hanya merah yang mewakili perasaan sosok itu yang tengah marah.
"Nggak enak, kan, Na? Ditinggal saat masing sayang sayangnya."
Awalnya sosok itu ingin meninggalkan bangkai kucing itu begitu saja. Namun rasa sakit di hatinya tidak membiarkan kematian kucing kesayangan Kirana ini menjadi kematian biasa. Dia sengaja memperkuat buhul pada tali pengikat kucing itu agar kuat menahan berat tubuhnya. Sosok itu menggantung bangkai kucing itu pada cabang kamboja di depan teras kamar Kirana. Dia ingin, saat pagi tiba, pemandangan pertama yang di lihat Kirana adalah kucing kesayangannya yang sudah tidak lagi bernyawa.
Seharusnya pagi itu dia menunggu di sana, mengabadikan bagaimana histerisnya Kirana. Itu akan menjadi kenangan tak terlupakan baginya.
Sosok itu tersenyum tapi dalam hatinya terasa sakit. Seperti sebuah tusukan benda runcing dan tajam yang menghujam tepat di ulu hatinya. Rasa sakit itu dipendamnya bertahun-tahun, menyatu dalam pembuluh darahnya. Tidak seorang pun mengetahuinya. Dia pun tidak pernah menampilkan dalam kesehariannya bahwa dirinya tengah terluka.
Sosok itu seumpama aktor ulung. Dia memainkan perannya dengan apik. Mengenakan topeng dalam setiap menit kehidupannya, terutama saat berada di keramaian. Namun saat dia sendirian, sosok itu kembali diliputi dendam dan amarah.
Terkadang sosok itu merasa lelah. Namun ada sisi lain dari dalam dirinya yang menuntut agar rasa sakit yang dibawanya selama ini terbalaskan.
Sosok itu melempar keris ke atas meja hingga menimbulkan suara nyaring. Dia kemudian membuka penutup benda besar yang ada di salah satu sudut bengkelnya. Sudah dua hari lebih dia memarkirkan mobil itu di sana.
Polisi itu. Dia tahu saat sosok itu mengikutnya. Saat polisi itu mengantar Kirana pulang, sosok itu mengamati mereka dari kejauhan. Namun polisi itu jeli. Dia sengaja membuat sosok itu berputar-putar melewati gang-gang kecil, bukan jalan utama yang biasa dilewati Kirana, lalu menyalip di antara mobil lain hingga mampu menghindar dari pengamatannya.
Perlahan sosok itu mengelupas stiker penutup bodi mobilnya. Tidak! Mobilnya yang sebenarnya tidak berwarna hitam, melainkan putih. Dia sengaja mengubah tampilan warnanya, memasang stiker di seluruh bodi mobilnya hingga warna putihnya tertutupi hitam. Semua dilakukannya untuk mengelabuhi polisi itu. Termasuk plat nomor yang dia pasang.
Dia membuat plat nomornya sendiri. Dia mempelajarinya dari internet. Memang hasilnya tidak sesempurna plat nomor asli, tapi siapapun yang tidak jeli, tidak akan mengetahui perbedaannya. Sekarang setelah mengembalikan warna mobilnya, dia pun mengembalikan plat nomor aslinya. Tidak akan ada orang yang mencurigainya karena semua sekarang tampak berbeda.
Dia tidak bodoh! Semua tindakannya sudah pernuh perhitungan. Sosok itu tahu betul polisi itu pasti akan melacaknya. Melacak mobilnya, juga foto-foto dirinya dari CCTV itu.
Sosok itu selalu berkerja dengan rapi. Dia tidak pernah meninggalkan jejak. Namun malam itu dia kecolongan. Amplop cokelat yang diambilnya dari kamar Kirana menyadarkannya, dia tidak bisa merehkan polisi itu begitu saja. Dia harus lebih rapi dan penuh perhitungan.
Sosok itu mengambil amplop cokelat yang disembunyikannya di bawah jok mobil. Dia juga tidak mau meninggalkan kopi hitamnya di meja lalu berjalan mendekat ke perapian di sebuah ruangan di samping bengkelnya.
Sosok itu duduk tanpa alas, bersila di depan api yang menyala memakan potongan kayu. Dia mengeluarkan lembar demi lembar foto dirinya lalu merobek menjadi beberapa bagian lalu membuat gulungan. Tidak perlu rapi karena dia akan mengumpankan semua potongan foto itu ke api yang menari-nari.
Perlahan, api menjilat setiap sudut foto hingga hanya menyisakan bara dan abu. Sosok itu tersenyum. Di dadanya dipenuhi kemenangan. Dia merasa telah mampu memperbaiki kesalahannya dengan melenyapkan foto-foto itu. Kirana tidak akan memberikan banyak perhatian. Untuk sementara, dia merasa aman.
Biasanya sosok itu hanya mengganggu Kirana. Namun beberapa hari lalu dia telah mengubah terornya. Dia mendatangi polisi itu dan berhadapan langsung dengannya. Butuh keberanian bagi sosok itu melakukannya. Sebenarnya dia hanya ingin bersenang-senang, memberikan peringatan pada polisi itu. Andai pun polisi itu terluka, tentu dia akan senang. Anggap saja bonus.
Sosok itu memberikan peringatan pada polisi itu secara langsung karena terlalu jauh mencampuri urusannya. Semua ini tentang dirinya dan Kirana. Polisi itu tidak termasuk di dalamnya. Tidak juga perempuan yang menyelinap di rumah Kirana malam itu.
Sosok itu juga tidak senang dengan keberadaan polisi itu yang begitu dekat dengan Kirana.
"Tidak ada yang boleh mendekatinya. Tidak juga polisi itu!" Sosok itu mencengkeram kuat sobekan foto lalu melemparnya ke api. Giginya gemeratak.
Sosok itu juga menyadari, kemunculannya untuk mencelakai polisi itu pasti akan diperhitungkan. Dia akan diburu. Namun sosok itu tidak gentar. Dia menganggap ini seolah tantangan. Dia berencana mengulanginya. Tidak dalam waktu dekat karena dia sedang menikmati masa kedukaan Kirana.
***
Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.
Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.
With love,
Hana 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Mystery / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...