"Sial!" Mobil Ardi terjebak dalam kemacetan. Lampu merah di depannya, banyak mobil di sekitarnya. Dia tidak bisa bergerak kemanapun. Panggilan terakhir Kirana membuatnya cemas. Darahnya berdesir cepat.
Ardi mengerutkan dahi. Satu per satu benang merah mulai terhubung. Serayu adalah anak dari Pramesti. Pamesti adalah adik dari Giyanti. Saat Pramesti meninggal, Serayu datang ke Solo untuk menemui budenya. Selama ini Giyanti bekerja di rumah orang tua Kirana. Bisa jadi Serayu mendapatkan alamat itu dari ibunya. Tapi apakah Pramesti tidak mengetahui kalau rumah Kirana lama kosong dan Giyanti sudah pindah kerja pada Candramaya?
Lampu lalu lintas berubah hijau. Ardi mancoba mencari celah, melajukan mobilnya di antara kendaraan lainnya. Dia membanting setir ke kanan, melewati banyak mobil dengan kecepatan tinggi. Untung saja tidak banyak kendaraan yang mengambil lajur kanan saat itu. Tepat sebelum perempatan lampu merah lagi, Ardi membelokkan mobilnya ke kanan, kaluar dari jalan utama.
Ardi memutar otak. Awalnya dia berpikir hanya ada dua hal penting dari semua kejadian ini. Kematian Serayu dan teror pada Kirana. Namun lelaki itu mulai meragukan hipotesanya. Ardi yakin ada satu hal penting lain yang terlewat yang justru hal inilah kunci dari semuanya.
Ardi membunyikan klakson mobilnya. Jalan ini tidak lebih lancar dari jalan utama. Ini malam Minggu. Banyak orang punya hajat. Ardi menoleh ke belakang. Dia terjebak lagi dalam kerumunan. Lelaki itu menarik napas panjang untuk menangkan pikiran.
"Sabar! Sabar!" Mobil Ardi bergerak perlahan bersamaan dengan kendaraan lainnya. Sebuah spanduk besar berkibar di atas. Kendaraan terus bergerak dan melewati sebuah masjid yang sedang menggelar tablig akbar. Banyak orang berdatangan yang membuat jalan di depan masjid macet parah.
Ardi tercenung. Dia bertopang dagu dengan menyandarkan sikunya ke pintu mobil. Dia memperhatikan mobil di depannya.
Ardi melihat dua anak perempuan pada bagian belakang mobil. Lelaki itu menaksir usia mereka sekitar dua tahun. Rambut salah satu anak dikucir kuda, sedangkan anak yang lain dikucir dua. Keduanya menggenakan pita rambut yang sama.
Ardi menggeser posisi duduknya. Dia terus mengamati kedua balita itu. Balita berkucir kuda menempelkan wajahnya pada kaca belakang mobil, diikuti balita satunya. Keduanya lalu tergelak bersamaan. Sesekali mereka melambaikan tangannya ke Ardi yang berada di belakang mobil mereka. Secara tidak sadar Ardi menyunggingkan senyum melihat polah keduanya. Namun tiba-tiba Ardi menyadari satu hal. Dua balita di depannya, mereka kembar.
Ardi menyipitkan mata. Dia mencoba membongkar memorinya tenang semua informasi yang didapat dari kejadian ini. Lelaki itu mencoba menyusun satu per satu petunjuk yang sudah didapatnya.
Kirana bukanlah anak tunggal. Dia memiliki kembaran yang sudah meninggal saat masih bayi. Sudah tentu Kirana dan kembarannya terlahir pada tanggal dan jam yang berurutan. Di sisi lain, Pramesti juga memiliki anak. Seorang anak perempuan.
"Meski tinggal di Jogja, tapi dari informasi pribadinya, Serayu lahir di Solo. Di bulan September." Ardi terngiang penjabaran Setyo padanya kemarin setelah membahas tentang nomor ponsel korban.
"Sekarang bulan Juni." Gumam Ardi. Seketika dia ingat obrolannya dengan Kirana tentang naskah yang sedang digarapnya.
"Aku masih punya waktu untuk menyelesaikannya. Semoga bisa tepat waktu. Aku ingin meluncurkan novel terbaruku tepat saat ulang tahunku," ujar Kirana penuh harap.
"Kapan?"
"September nanti. Novel baru dengan genre baru. Suasana dan kehidupan baru. Harapanku tidak muluk-mulukkan?" Kirana menoleh ke Ardi sambil tersenyum.
Dahi Ardi berkerut semakin dalam. "Tiga bayi perempuan yang lahir pada bulan yang sama, di kota yang sama."
Kirana dengan kembarannya. Bisa jadi wajah mereka mirip, bisa jadi tidak. Sedangkan Serayu adalah orang lain. Tapi perempuan itu memiliki bukan hanya wajah tapi juga hasil tes DNA yang mirip dengan Kirana. Ardi tidak menutup kemungkinan-kemungkinan, mengingat kedekatan Giyanti, bude Serayu dengan keluarga Kirana.
"Siapa Serayu sebenarnya? Dimana posisinya dalam kasus ini?"
Ardi membelokkan mobilnya ke kanan. Dia kini melewati jalan kampung. Dua mobil bersisihan masih bisa melewati jalan ini. Baru beberapa belokan, mobilnya sudah tidak bisa lanjut jalan. Di depannya, dia dihadang hajatan. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan panitia acara yang memasang tanda berhenti bukan di mulut jalan tapi jauh di tengan jalan. Tidak sedikit kendarana terpaksa putar balik karena jalan yang ditutup, termasuk mobilnya.
Ardi mencoba mengubungi Kirana tapi ponsel perempuan itu sudah tidak aktif. Terakhir Kirana menelpon, jaringan sedang tidak stabil. Suara Kirana terdengar putus-putus. Ardi tidak bisa menangkap dengan jelas ucapan Kirana. Yang Ardi dengar, Kirana menyebut hoodie dan gelang, lalu kalimat terakhirnya ... Indra.
Ardi berpikir lagi. Indra satu-satunya lelaki yang ada di lingkaran misteri ini. Dia anak Giyanti. Dia juga dekat dengan Kirana. Jika memang Serayu adalah keponakan Giyanti, bukankah seharusnya Indra juga tahu tentang Serayu. Tidakkah lelaki itu curiga tentang kemiripan Kirana dengan Serayu. Seharusnya ini juga terjadi pada Giyanti.
"Atau sebenarnya mereka tahu tentang ini tapi memilih diam?"
Ardi tidak banyak berinteraksi dengan Indra. Namun selama dia kenal Indra, tidak ada yang aneh dengan lelaki itu. Dari yang Kirana katakan, Indra menggantikan menjadi sopir pribadi keluarga Kirana setelah bapaknya meninggal. Namun semenjak orangtuanya Kirana meninggal, Indra membuka bengkel sendiri. Hanya sesekali saja saat Candramaya butuh sopir, Indra akan mengantarnya.
Ardi menghentikan mobilnya di depan rumah Kirana. Dia melihat pintu gerbang tidak terkunci dengan daun pintu sedikit terbuka. Mobil Kirana juga ada di depan. Ardi masuk ke pekarangan depan dan mendapati pintu utama terbuka lebar.
Tidak seperti biasanya, pintu ini selalu tertutup rapat. Yang mengagetkan Ardi, ada kerusakan pada tepian pintu. Hal pertama yang terlintas dalam pikiran Ardi, pintu ini dibuka paksa.
Seketika Ardi waspada. Dia berjalan perlahan, berusaha melangkah tanpa suara. Dia melihat sekitar. Tidak ada hal yang mencurigakan di ruang tamu.
"Na!" Ardi memanggil Kirana dengan suara rendah. Dia sengaja tidak bersuara lantang. Ardi ingin mengetes kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diketahuinya. Meski dengan suara rendah, saat Kirana mendengar namanya dipanggil, dia pasti akan merespon.
Ardi berjalan ke meja makan lalu ke dapur. Semua masih tampak rapi seperti saat Ardi datang kemari. Tidak ada suara, tidak ada pergerakan. Sekali lagi Ardi memanggil nama Kirana sambil berjalan menuju ruang tengah.
Ardi mendengar suara berisik dari ruang tengah. Dia mempercepat langkahnya dan mendapati Kirana terikat di kursi dengan mulut terbungkam kain.
Kirana bergerak-gerak, kepalanya menggeleng keras seolah ingin mengatakan sesuatu pada Ardi. Lelaki itu bergegas mendekat ke Kirana. Namun semakin Ardi mendekat, Kirana menggeleng semakin keras dengan menghentak-hentakkan kakinya.
"Na ..." Ardi hampir sampai ke Kirana saat tiba-tiba seseorang muncul di belakangnya dengan mengayunkan hiasan besi besar. Ardi dapat melihat pantulan bayangan orang itu pada kaca di belakang Kirana.
Ardi berhasil menghindar sesaat sebelum besi itu diayunkan ke arahnya. Suara besi beradu dengan lantai mendengungkan dentuman keras. Masih dalam keadaan tersungkur, Ardi mendongak dan mendapati sosok dikenalnya dengan ekspresi wajah penuh amarah.
***
Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.
Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thank you.
With love,
Hana 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Mystery / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...