Chap 4 • Seolah Bercermin

49 7 1
                                    

"Serius?" Rahardian mengerutkan dahi. Dia berdiri bersandar pada dinding. Kedua tangannya disimpan di saku celana. Pandangannya lurus ke lelaki yang baru saja memasukkan sesosok mayat ke dalam lemari pendingin.

Dito mengangguk. "Aku pernah membaca beberapa tulisan tentang manusia kembar tapi bukan saudara." Dia menutup puntu lemari lalu menguncinya. Lanjutnya sambil berjalan menuju meja kerjanya, "mereka begitu mirip secara fisik, tapi lahir dari orang tua berbeda."

Ardi tidak bersuara. Dahinya berkerut dalam. Dia mencoba mencerna penjelasan Dito.

Dito melirik Ardi dari atas kacamatanya. "Doppelgänger. Kejadiannya termasuk langka, tapi benar adanya."

Ardi masih diam.

Dito melanjutkan, "percaya atau tidak, aku pernah mengalaminya ...," Dia mengambil gelas berisi air bening di samping tumpukan kertas di depannya lalu meneguknya perlahan. Butiran air yang menempel pada dinding gelasnya perlahan menetes di mejanya. Balok kecil dingin yang mengapung dipermukaannya menuntaskan rasa dahaga di kerongkongannya.

"... tepatnya saat kuliah. Aku mewakili kampus untuk pertandingan taekwondo antar universitas. Saat final, ketika namaku dan lawanku dipanggil, dan kami sudah saling berhadapan, betapa terkejutnya kami ... terutama aku," Dito menelan ludah dengan susah, "aku seperti bercermin di hadapannya. Lawanku, wajahnya mirip sekali denganku."

"Dia menyadari itu?" tanya Ardi penasaran.

"Bukan hanya dia, para juri dan penontonpun tahu." Suara Dito pelan tapi penuh keyakinan.

"Lalu?" Meski penasaran tapi Ardi tetap memasang ekspresi wajah datar.

"Yeah, apapun yang terjadi pertandingan terus dilanjutkan. Tapi epicnya ..." Mata Dito berbinar, "semenjak saat itu, kami berteman hingga sekarang. Aku kenal orang tuanya, dia pun kenal dengan orang tuaku. Sekarang kami sudah seperti saudara."

Ardi tidak merespon. Pikirannya masih dipenuh banyak pertanyaan dan dugaan yang berusaha dia hubungkan.

Dito melirik ke Ardi. "Apa ini tentang kasus yang sedang kamu tangani? Mayat perempuan yang baru datang kemarin?" Dia berusaha menebak.

Ardi tidak menjawab. Dia berjalan menuju Dito, menarik kursi di depannya, lalu duduk sambil mengeluarkan ponsel dari saku. Dia membuka galeri dan menunjukkan sesuatu padanya. "Ini korban. Dan ini pemilik rumah."

Tatapan Ardi lurus ke Dito. Serius. Seolah mengharapkan jawaban lebih dari sekedar informasi yang sudah diberikannya selama ini.

"Bagaimana menurutmu?" tanya Ardi. Tangannya kini menopang dagu. "Pemilik rumah mengaku tidak memiliki saudara, anak tunggal."

"Apa pemilik rumah tahu kalau korban memiliki wajah mirip dengannya?" tanya Dito sambil terus mengamati lekuk wajah kedua foto perempuan di ponsel Ardi.

"Belum. Saat dia datang korban sudah dibawa ke rumah sakit." Kini mereka terlibat diskusi serius.

"Kalau dilihat sekilas, sih ..." Dito menghentikan kalimatnya. Dia mengusap layar ponsel Ardi berulang kali, bolak balik. Sesekali dia menyangga dagunya seolah sedang berpikir keras. "Mungkinkah ini suatu kebetulan, korban dan pemilik rumah begitu mirip?"

"Sampai saat ini masih menjadi misteri. Penyidikan masih terus berjalan." Ardi membuka botol mineral yang disuguhkan Dito padanya. Dia meneguk isinya hingga setengahnya. Semenjak tadi dia memikirkan banyak hal hingga lupa sudah lebih dari satu jam dia belum minum. Kerongkongannya terasa kering, tapi dinginnya air mengembalikan kesegarannya. Membuatnya sedikit lebih bernyawa.

"Bagaimana dengan tes DNA? Mungkin bisa membantu menjawab misteri itu." Dito memberikan saran.

"Aku memikirkan hal yang sama. Bisa jadi hasil tes nantinya menjadi pembuka alasan korban bisa sampai ke rumah itu. Belum lagi motif pembunuhan itu sendiri."

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang