Chap 6 • Si Pengintai

46 6 2
                                    

Lelaki itu mendorong tubuhnya ke lantai, lalu mengangkatnya lagi. Napasnya terdengar seolah berlomba. Ini gerakan push up ke empet puluh lima yang dilakukannya. Hatinya sedang panas, pikirannya kalut. Dia kecewa karena rencananya berantakan.

Sesekali lelaki itu berhenti pada posisi menahan tubuhnya dengan kedua tangannya lalu mengatur napasnya, kemudian kembali push up dengan dengan lebih cepat. Dia butuh pelampiasan amarahnya sebelum meledak.

Lelaki itu mengakhiri push up nya di hitungan ke lima puluh. Dia bangkit, mencengkeram erat handuk kecil yang dia lilitkan pada telapak tangannya, lalu meninju tembok di sampingnya sekali.

"Sial!!!" Giginya gemeretak. Keringat yang mengucur deras dari pori kulitnya tak mampu mendinginkan amarah yang terpancar nyata di matanya yang memerah.

Dalam pencahayaan remang, dia melihat ke salah satu dinding kamarnya. Dia meletakkan banyak sekali foto perempuan itu di sana. Bukan hanya puluhan, bahkan ratusan foto perempuan itu dia dapatkan dalam berbagai kesempatan.

Lelaki itu sengaja menguntitnya, mengambil gambar perempuan itu, lalu mencetak foto-foto itu sendiri. Dia memajangnya berderet seolah kehidupan sang perempuan itu nyata di depannya.

"Kirana Putri Adiwangsa ..." gumamnya.

Dia telah mengenal perempuan itu cukup lama. Sama lamanya dengan hatinya yang jatuh cinta pada Kirana lalu dihancurkannya.

Dia memuja perempuan itu. Dia tahu Kirana seorang penulis. Dia juga memiliki semua karya Kirana meski tidak benar-benar menikmati karya itu. Dia hanya ingin memiliki segala hal yang berhubungan dengan perempuan itu.

Tidak jarang saat jenuh, dia akan berjalan-jalan ke toko buku. Sering lelaki itu berjalan di sela antar rak yang memajang novel-novel romance. Dia mencari novel-novel karya Kirana, memandanginya cukup lama seolah dia sedang memandang perempuan itu. Dan ketika akan pulang, diam-diam dia akan mengubah posisi novel-novel tersebut. Dia memastikan novel Kirana berada pada bagian paling depan di antara novel lainnya.

Setiap hari lelaki itu melewati depan rumah Kirana untuk memastikan keberandaan perempuan itu. Dia tahu Kirana lebih sering tinggal di Jakarta. Hanya sesekali saja dia pulang ke Solo.

Kirana terlalu sibuk menghabiskan waktunya yang sebentar di Solo dengan berbagai aktivitas hingga tidak pernah menyadari kehadirannya. Perempuan itu tidak pernah singgah lama. Paling hanya beberapa hari saja. Paling lama satu atau dua bulan, lalu kembali ke Jakarta.

Malam hari, saat semua terlelap di peraduan, lelaki itu menyelinap ke pekarangan rumah Kirana. Lampu lantai satu masih menyala. Meski remang, dia tahu Kirana masih terjaga. Terkadang membaca buku, atau juga sibuk di depan laptopnya.

Lelaki itu hanya bisa melihat Kirana dari balik jendela kaca. Dia hapal betul, tidak jarang Kirana menghabiskan waktu sebelum tidurnya dengan mengobrol dengan seseorang lewat ponsel. Terkadang teman perempuannya, tapi tak jarang juga teman ... lelakinya.

"Menyebalkan!" Dada lelaki itu memanas setiap melihat Kirana bercengkerama dengan kekasihnya meski lewat ponsel. Itu dulu.

Kemarin, lelaki itu mendengar kalau Kirana putus dengan kekasihnya dan itu membuatnya tersenyum lebar. Seharusnya Kirana tidak perlu menangisi mantannya itu. Siapa pun namanya, dia sudah menyakiti Kirana bahkan meninggalkannya. Lelaki seperti itu tidak pantas mendapatkan air matanya.

"Bodoh!" Lelaki itu mengumpat ke dirinya sendiri.

Malam itu dia sengaja datang ke rumah Kirana. Dia hanya ingin menyapanya, mengucapkan selamat datang. Tentu saja bukan dalam arti sebenarnya. Dia hanya ingin melihat perempuan itu dari jarak dekat. Selama ini, itulah yang dia lakukan.

Dia hanya ingin bermain-main dengan Kirana, ingin membuatnya merasakan ketakutan. Namun tidak disangka perempuan itulah yang ada di sana, dengan perawakan sangat mirip dengan Kirana. Dalam penglihatannya, perempuan itu seperti versi lain dari Kirana. Rambut yang sama dalam warna berbeda. Gestur tubuh yang ... berbeda. Yeah, seharusnya dia menyadarinya. Kirana sangat feminim, tapi perempuan itu lebih terlihat tomboi.

Perempuan yang berdiri di depan lemari buku itu, dia bukan Kirana. Seharusnya lelaki itu mengacuhkannya alih-alih malah menampakkan diri. Seharusnya dari awal lelaki itu juga menahan diri, tapi itu tidak dilakukannya karena dia takut. Bisa jadi perempuan itu ingin berlaku jahat kepada Kirana. Dan dia tidak ingin terjadi sesuatu pada perempuan yang dipujanya itu.

Lelaki itu baru menyadari betapa perempuan itu sangat tangguh melawannya. Perempuan itu terlalu aktif, kuat, dan pemberontak. Bahkan perempuan itu sempat mengigit tangannya. Untung saja, dia menggunakan sarung tangan sebagai perlindungan sekaligus menghilangkan jejak sidik jarinya. Namun perkelahian itu sempat membuat tubuhnya pegal tak karuan.

Lelaki itu salah perhitungan. Dia hanya ingin memberinya pelajaran tapi yang terjadi malah di luar dugaan. Perkelahian sengit yang terjadi malam itu, sekarang justru membuatnya berada pada posisi sulit.

Perempuan itu sudah menjadi mayat. Ini keadaan yang sama sekali tidak pernah diharapkannya. Lagi pula, menurutnya, perempuan itu jatuh sendiri. Dia tidak merasa mendorongnya. Dengan kata lain, itu bukan kesalahannya.

Polisi-polisi itu cepat sekali datang. Saat pagi hari lelaki itu melewati rumah Kirana, mereka sudah menemukan mayat itu lalu membawanya ke dalam ambulan. Lelaki itu sedikit bimbang. Bisa jadi polisi mengira Kirana terlibat, dan dia tidak ingin itu terjadi. Namun di satu sisi, dia juga tidak akan membiarkan polisi menyalahkannya.

Lelaki itu membilas tubuhnya dari keringat. Air dari gayung ditambah udara malam itu mampu menggemeretakkan tulang, tapi juga dapat mengurangi panas hati dan kepalanya. Dia bergegas mengeringkan diri, mengenakan hoodie nya, dan masker penutup wajah.

Malam ini, lelaki itu tidak bisa tidur. Dia keluar dari rumahnya tanpa suara, berjalan menuju rumah Candramaya. Rumah satu lantai itu bersisihan dengan sawah. Di depannya masih lahan kosong. Di sanalah Kirana kini tinggal. Dia sedikit lega karena Kirana baik-baik saja. Meski wajahnya terlihat melankolis, tapi itu tidak mengurangi kecantikannya.

Lelaki itu berjalan melewati pematang sawah yang berada di belakang rumah Candra. Dia mencari pijakan, melompati pagar yang tingginya hanya beberapa senti di atasnya, lalu mengendap-endap menuju kamar Kirana. Dia tahu betul dimana posisi kamar Kirana.

Lelaki itu berdiri tepat di samping jendela kamar Kirana. Tiga jendela tinggi yang berjajar menghadap ke belakang rumah. 

Jendela kamar Kirana tidak bener-benar tertutup oleh gorden. Kirana menutup gorden tipis ke seluruh jendela, tapi hanya dua pertiga saja gorden tebalnya. Dia masih bisa melihat Kirana di sana, di atas tempat tidurnya sedang tidur dengan tenang. Wajah ayunya tetap terlihat meski dia sedang terlelap. 

Lelaki itu terpesona pada relief yang Tuhan ciptakan untuk membentuk Kirana. Lagi-lagi, lelaki itu mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan pujaan hatinya.

Hampir setengah jam lelaki itu berada di sana. Dia terlalu terlena hingga tidak menyadari saat Kirana membuka mata.

Mata lelaki itu membulat. Meski yakin Kirana tidak akan mengenalinya, tapi dia merasakan derasnya adrenalin membanjiri ditubuhnya. Jantungnya berdegub kencang.

Mereka saling beradu pandang sepersekian detik sebelum kemudian Kirana berteriak kencang. Lengkingan suaranya menyadarkan lelaki itu untuk segera mengambil langkah seribu. Dia kembali melompati pagar belakang lalu berlari ke persawahan.

Meski malam ini tidak semulus rencananya, tapi lelaki itu merasa senang. Dia bisa melihat pujaan hatinya secara langsung. Malam ini pun dia bisa pulang dan menutup mata dengan tenang.

***

Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.

Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.

With love,

Hana 💕

BIAS [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang