Giyanti membuka pintu setelah mendengar ketukan tiga kali dari pintu depan. Ini sudah hari kedua setelah pemakaman Indra, putra sematawayangnya.
Setelah kejadian di rumah Candramaya malam itu, mayat Indra sempat diautopsi. Beberapa hari setelahnya, barulah Giyanti dapat memakamkan anak lelakinya dengan layak. Tidak banyak yang datang ke pemakaman. Bahkan Candra dan Kirana pun tidak menghadirinya.
Giyanti membuka pintu, tapi segera mengurungkannya justru setelah dia melihat orang-orang yang dikenalnya. Candra dan Kirana, dan polisi itu ada di depan rumahnya.
Ardi menahan daun pintu hingga membuat Giyanti waspada.
Candra sebagai orang yang dituakan mewakili kedatang mereka bertiga mengatakan, "kami ke sini untuk melayat. Kita kenal bukan sehari dua hari. Puluhan tahun malah ..."
Candra belum menyelesaikan kalimatnya, tapi Giyanti sudah membuka lebar pintu rumahnya. Dia kemudian berbalik dan meninggalkan mereka tanpa mempersilakan masuk ataupun mengusir mereka.
Candra menarik napas panjang. Dia berjalan masuk rumah Giyanti disusul Kirana dan Ardi di belakangnya. Giyanti juga tidak mempersilakan mereka duduk tapi dengan sendirinya ketiganya duduk bersebelahan dengannya.
Setelah kematian Indra, Giyanti tidak pernah datang lagi ke rumah Candra. Komunikasi mereka seketika putus dengan sendirinya. Masing-masing pihak merasa terluka dengan kejadian ini. Hubungan mereka sudah tidak senyaman dulu.
Suasana hening dan canggung. Setelah sekali lagi mengucapkan belasungkawa, Candra memberanikan diri bertanya pada Giyanti, "siapa Serayu, Mbok?"
Giyanti mengedip beberapa kali kemudian mengambil napas panjang. Beberapa hari lalu dia sudah menyadari, suatu saat ini akan terjadi. Semua rahasia kelam masa lalu beberapa orang di sekitarnya akan terbongkar. Dan Giyanti sudah siap untuk itu. Dia sudah menyiapkan jawaban semua pertanyaan yang akan ditodongkan padanya.
"Jadi kalian sudah bertemu dengan Serayu." Suara Giyanti terdengar datar.
"Siapa dia?" Candra tidak bisa menhana rasa ingin tahunya.
Giyanti menarik napas sekali lagi lalu membuangnya perlahan. "Serayu adalah Kirani. Kirani adalah Serayu. Aku yang menukar keduanya saat masih bayi."
Mata Candra membulat. Napas Kirana tercekat. Bahkan Ardi yang sedari tadi diam mulai waspada dan menajamkan pendengarannya. Pandangan matanya tidak lepas dari sosok perempuan di depannya.
"Maksud, Mbok?" tanya Kirana. Jantungnya bergedub kencang.
Giyanti menoleh cepat ke Kirana. Wajahnya merah padam. Suaranya tajam. "Seharusnya kamu tanyakan itu pada bapakmu! Dosa apa yang sudah dia perbuat? Rahasia apa yang dibawanya sampai mati?"
Candra mengerjab, mencoba memahami situasi. Apalagi saat Giyanti menyebut adiknya, ayah Kirana. Suaranya mulai meninggi. "Ada apa sebenarnya?"
"Sejak kecil aku hanya tinggal dengan adikku, Pramesti." Suara Giyanti melemah. Dia mengenang. "Kami sebatang kara. Aku bekerja keras membanting tulang, bahkan rela putus sekolah agar Pramesti menjadi orang yeng bernasib lebih baik dariku. Anak itu sangat lugu ..." Ada bulir bening di ujung matanya. Namun tiba-tiba wajahnya berubah mengeras. "Tapi seorang bajingan memanfaatkan keluguannya!"
Giyanti menyeringai. "Selama ini Adiwangsa dikenal sebagai suami yang baik, ayah yang penyayang. Tapi tidak banyak yang tahu ... Lelaki itu kurang bersyukur! Sudah punya istri cantik, berpendidikan baik, masih juga mencari daun muda."
"Jaga ucapanmu!" Suara Candra semakin meninggi. Dia tidak terima dengan penilaian Giyanti tentang adiknya.
"Adiwangsa berselingkuh! Dia menggoda Pramesti. Pramesti tidak pernah menyembunyikan apapun dariku. Tapi hubungan mereka ... aku tidak tahu apapun sampai Pramesti hamil."
Selama mendengar penjelasan Giyanti membuat jantung Kirana berdetak kencang. Napasnya memburu. Tangannya meremas roknya untuk membantunya menahan emosinya.
Giyanti melanjutkan, "aku meminta pertanggungjawaban Adiwangsa, tapi lelaki itu menolak. Dia menolak menikahi Pramesti. Saat itu ibumu juga sedang hamil. Hingga akhitnya mereka melahirkan di tanggal yang sama."
"Itu sebabnya kamu minta cuti beberapa hari sebelumnya?" tanya Candra yang seketika ingat saat Giyanti malah izin pulang dan tidak bekerja beberapa hari, justru saat keluarga adiknya membutuhkan bantuannya. Hingga Candralah yang akhirnya pontang panting membantu adik iparnya setelah melahirkan.
Giyanti manggut-manggut. "Sebenarnya aku sudah membujuk Pramesti untuk menggugurkan kandunganya, tapi Pramesti menolak. Dia ingin melahirkan anak itu dan merawatnya. Baginya anak itu tidak berdosa."
Giyanti menatik napa panjsng laku menghembuskanny perlahan. Perempuan itu berusaha menguasai emosinya.
"Aku mengancam Adiwangsa untuk bertanggung jawab atau aku sebarkan aibnya. Sudah cukup beban hidup Pramesti hamil tanpa suami, anaknya pun tidak pernah diakui bapaknya sendiri." Ada jeda dalam ucapan Giyanti. "Adiwangsa setuju meski hanya dengan mengirimkan uang bulanan saja. Tidak pernah sekalipun Adiwangsa menjenguk Pramesti dan bayinya. Aku membawa Pramesti ke Jogja dan menyembunyikan semua aib Adiwangsa di sana."
Kirana membuang napas keras, Dia tertunduk, bahunya melorot. Ardi yang duduk di sampingnya menepuk lembut pundaknya untuk menenangkannya.
"Bayi Pramesti meninggal di hari ketiga. Itu membuatnya sangat tertekan bahkan hampir bunuh diri. Aku tidak tega melihatnya. Aku tidak pernah membayangkan nasibnya akan setragis itu," lanjut Giyanti.
"Kamu menukar mereka?!" Mata Candra membulat. Suaranya kembali meninggi.
Giyanti menyeringai. "Aku membawakan anak Adiwangsa yang lain untuk Pramesti, dan aku meletakkan anak Pramesti di tengah keluarga Adiwangsa. Meski dalam keadaan meninggal, tapi paling tidak bayi itu pernah bertemu bapaknya, digendongnya dan dimandikannya meski untuk pertama dan terakhir kalinya. Cukup adil bukan?!"
"Serayu ..." Ardi yang sedari tadi diam akhirnya buka suaraa. Dia berhenti sejenak lalu mengoreksi, "Kirani ... Dialah yang ditemukan tewas di rumah Kirana."
Mata Giyanti membulat. Seketika dia menoleh ke Ardi, kemudian ke Kirana dan Candra yang duduk di sampingnya, seolah mempertanyakan pernyatana Ardi. "Tidak mungkin!"
"Kami sengaja merahasiakan identitas korban. Dan kamilah yang mengangkat panggilanmu beberapa hari lalu." Ardi mengubah posisi duduknya. "Indra tidak pernah tahu tentang Kirani?"
Giyanti tercenung, tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Sekarang dia menyadari, banyak kejadian yang tidak diketahuinya terjadi akhir-akhir ini. "Anak itu tidak tahu apapun tentang ini. Bahkan dia tidak tahu tentang Pramesti. Apalagi Kirani."
"Siapa saja yang tahu tentang ini?" Ardi lanjut bertanya.
"Hanya aku." Giyanti tersenyum getir. Tatapannya tampak kosong. Matanya mulai berkaca-kaca. "Pramesti pun tidak menyadari. Yang dia tahu hanyalah anaknya hidup lagi, tidak mati."
"Kenapa Mbok menyembunyikan semua ini?" tanya Kirana. Suaranya lemah dan bergetar. Matanya sudah basah sedari tadi. Dia tidak pernah menyangka banyak rahasia keluarganya yang bahkan dia tidak pernah bayangkan sebelumnya. Yang Kirana tahu, kedua orangtuanya baik-baik saja. Dia selalu mengidolakan kedua orangtuanya. Bahkan kelak, dia ingin punya hubungan pernikahan seperti pernikahan mereka. Namun seketika semua bayangan itu sirna setelah dia mendengarkan semua kebenaran ini.
"Agar keluargamu tetap utuh!" Suara Giyanti meninggi. "Dan kamu lihat, Na? Berapa banyak yang dikorbankan untuk mewujudkannya. Demi keluarga Adiwangsa yang terhormat! Keluarga Adiwangsa yang harmonis! Yang berbahagia ... Kami yang berkorban, Na!"
Giyanti tertawa. Ada getir dalam tawanya. Namun sesaat kemudian dia menangis. "Tapi sekarang, tidak ada gunanya disembunyikan. Dan aku tidak mau membawa dosa dan rahasia ini sampai mati ... seperti yang lainnya."
***
Hai, readers! Terimakasih sudah membaca chapter ini.
Silakan follow akun ini untuk mendapatkan notifikasi chapter berikutnya. Jangan lupa tinggalkan komentar dan juga like-nya, ya. Thanks you.
With love,
Hana 💕
KAMU SEDANG MEMBACA
BIAS [DITERBITKAN]
Mystery / ThrillerKirana mengira kepulangannya ke rumah orang tuanya di Solo akan membawa ketenangan dalam hidupnya. Dia baru saja putus dari kekasihnya. Editornya juga sudah terus menanyakan tentang naskah novel terbarunya yang tak kunjung selesai. Sesampainya di So...