BIL III

10.1K 661 4
                                    

Semarang pukul 03.05 di ponsel aku. Ada yang masih bangun? Kalau ada, cerita ini didekasikan buat yang insom.

Billy's POV
Lima tahun yang lalu..

"Bil!" Suara gadis itu lagi. Aku tidak butuh melirik untuk mengetahui siapa pemilik suara itu.

"Gotcha! Kamu disini ternyata!" Gadis itu menepuk kedua bahuku dengan kedua tangannya. Lalu memutari sofa dan ikut duduk disebelahku.

"Tumben banget disekre," katanya lagi.

"Bosen di perpus," jawabku.

Kudengar dia ber-o ria. Lalu dia merebahkan diri dan meletakan kepalanya dipahaku.

"Bangunin kalau udah bunyi bel masuk," katanya disela-sela matanya yang terpejam.

Aku mengangguk walaupun dia tidak melihatku. Lalu nelanjutkan membaca buku ekonomi yang cukup membuat otakku bekerja.

***

Nabila menarik tanganku memasuki perkarangan rumah Tante Jessy. Kata Bunda, dulu Bunda pernah tinggal disini saat hamil kakakku yang sayangnya keguguran saat itu. Sehingga akulah anak pertama dikeluarga ini. Pertemuan tahun ini kebetulan dirumah Kak Jani. Ayah dan Bunda, hitung jugalah Briana dan Nabila, mengekoriku dibelakang. Tante Olivia dan Om David mengurus pekerjaannya di Jerman sehingga menitipkan Nabila pada keluargaku. Tentu saja itu adalah pilihannya Nabila until memilih keluargaku untuk dijadikan penitipan dirinya.

Tante Jessy menyambut kami yang datang duluan daripada keluarga yang lain. Menyuruh kami langsung keruang keluarganya, kebiasaan pertemuan keluarga ini, berkumpul diruang keluarga. Kak Jani dan adik-adiknya sudah berkumpul disana. Kak Jani yang melihat kedatangan kami langsung bangkit dan menyalami Ayah dan Bunda.

"Jani, ambilin minuman ya," perintah Tante Jessy pada anak pertamanya itu. Kak Jani mengangguk dan langsung pergi ke dapur.

"Ehm, matanya ga usah kaya gitu dong liat Kak Jani!" ucap Nabila yang tiba-tiba berdiri disebelahku. Aku mengerjap aneh, apa aku memang memperhatikan Kak Jani dari tadi? Oke aku harus mengklarifikasi sesuatu. Dulu, dulu sekali, aku memang suka dengan Kak Jani. Itu dulu, sebelum aku tau Kak Jani itu adalah sepupu kandung yang tidak mungkin sedikitpun aku bersamanya. Jadi sejak aku mengetahui status kami, aku berusaha mengendalikan rasa sukaku padanya. Dan itu berhasil sekarang. Buktinya, aku tidak pernah deg-degan lagi liat Kak Jani kalau tersenyum.

"Malah ngelamun!" Nabila menjentikkan jarinya didepan wajahku. "Kan bener, mikirin Kak Jani terus!"

Nabila menghentakan kakinya lalu pergi dari hadapanku. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

"Bikin anak orang patah hati lagi?" Ayah berdiri disebelahku. Merangkulkan tangannya dibahuku dan membawaku keluar, taman belakang. Ayah duduk diayunan jala, kata ayah ayunan ini sudah ada sejak Bunda kecil, dan sekarang udah diganti buat ketiga kalinya. Sayang sekali seandainya ditaman ini tidak ada ayunan jalanya, jadi kurang menarik.

"Duduk sini," ucap Ayah menepuk ayunan jala. Aku mematuhinya, duduk disebelah Ayah.

"Jadi, gimana sama Nabila?" tanya Ayah membuka pembicaraan.

"Gimana apanya yah? Ya gitu aja. Aku cuma sahabatan sama dia Yah," jawabku dengan nada malas.

"Tapi kayaknya dia cinta mati tuh sama kamu Bil." Ayah tersenyum. Matanya memandangku seperti menilai.

"Percaya deh Yah, dia cuma cinta monyet doang mah."

Ayah memiringkan kepalanya dan menaikan satu alisnya. "Gimana kalau dia serius sama kamu?" Aku menatap Ayah dengan wajah bingung. Satu pertanyaan yang aku tidak bisa menjawabnya.

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang