XXI

6.8K 338 3
                                    

Maaf typo dimana2. Males ngedit wkwk

Kakiku menghentak beberapa kali menunggu jemputanku. Mataku melirik jam tanganku untuk kesekian kalinya. Kenapa pria itu lama sekali sih?
Setelah kurang lebih dua puluh menit, barulah lampu mobil menerangi jalanku. Bibirku mencetak senyum lega setelah penantianku hanya untuk pulang kerumah.
Mobil itu berhenti didepan butik dan sang pengendara segera membuka kaca jendelanya. "Maaf sayang, apa aku terlambat?" Kepala Vicky muncul disana. Aku lebih memilih diam dan memutari mobil untuk duduk dibangku depan penumpang.
"Baru dua puluh menit," jawabku singkat bertepatan dengan pintu mobil yang kututup.
"Maaf ya sayang," ucapnya dan aku tahu penuh penyesalan. Aku mengangguk dan memberikan senyumku padanya. Vicky yang mendapati maaf dariku tersenyum dan mulai menghidupkan mobil mesin kembali.
"Mau dinner dulu?"
***
"Hai!"seru pria yang tengah melambai padaku. Aku menengadah melihat kedatangannya. Dia langsung duduk disofa yang sama denganku, tepat disebelahku. Macha coffe latte-ku langsung diambil dan disesapnya hingga busanya menempel di atas bibirnya. Dia menjilatnya dengan cepat membuatku mengernyit aneh.
"Kau bisa memesan lagi jika kau mau dan gratis," ucapku merebut cangkirku darinya.
"Oh tentu saja Bil, ini kafeku kan."
"Sombong sekali," delikku. "Jadi apa maksudmu memanggilku pagi-pagi kesini?"
"Sarapan. Apa lagi?"
Aku memutar bola mataku dan menghela nafas jengah. "Aku bisa sarapan dirumah."
"Kalau begitu, jawabannya aku ingin bertemu dirimu," ucapnya sambil menyengir menunjukkan deretan gigi rapinya. Aku ingin sekali mencubit pipinya gemas, tapi aku tidak mungkin melakukannya disini. Di keramaian ini.
"Jangan lebay. Sejak kapan kau seperti ini sih?"
"Sejak aku mulai mencintaimu mungkin?" ucapnya lebih seperti pertanyaan. Aku mengernyit menatapnya. Billy mendesah. "Jangan berikan aku tatapan seperti itu Bil. Aku tidak tau jawabannya."
Aku mengangkat bahu tidak peduli. Aku beralih pada pancakeku yang tinggal setengah.
"Kita kencan," ucapnya lagi. Kali ini terdengar lebih serius.
Rasanya semua minuman yang aku minum tertahan di kerongkongan hingga aku tersedak. Billy yang kaget langsung membantu mengelus punggungku dengan lembut. Tapi beberapa saat saja sedakan itu hilang, diganti dengan tawaku yang membahana seantero kafe. Oh untunglah aku sedang duduk diantara anak-anak remaja labil yang bermain 'uno' katanya itu, hingga tawaku tidak diperhatikan oleh sekitar. Hanya sepasang mata penasaran yang menatapku. Mata indah milik Billy.
"Lah, kenapa tertawa?"
"Isn't funny Bil? Did you invite me to date?"
Billy yang menyadari alasan tertawaku menghembuskan nafas kasar. Badannya yang tadi tegak karena membantuku menepuk punggungku, sekarang malah bersandar bosan.
"Kau ini bisa sedikit serius tentang hubungan kita tidak? Aku serius dengan ini."
Aku menghentikan tawaku dan menyeka air yang keluar sedikit di ujung mataku. Ku lirik dia disebelahku yang sekarang menatapku malas.
"Aku bahkan tidak yakin dengan ini Bil. Kau tau aku dan Vicky.."
"Enough. Kita pasti bisa buat semuanya sesuai dengan yang kita inginkan. Kau ingin menikah denganku kan?"
Telak! Aku kehabisan kata-kata. Yang kubisa lakukan hanya menatap cincin di jari manis sebelah kiriku. Lalu tiba-tiba saja tangan lain menelungkup tanganku, yang tidak lain adalah tangan Billy, dan dengan pelan membuka cincin itu.
"Bil, apa yang kau.."
"Bila, kali ini kau akan bersamaku seharian. Jadi tolong, apapun itu jangan mengingat pria lain," katanya sambil menggenggam erat cincin itu ditangannya lalu dimasukkan begitu saja kedalam tasku yang terbuka, "dan.." Billy merogoh saku celananya mengeluarkan sebuah kalung berbandul B yang besar.
Mataku membelalak kaget. Darimana dia mendapatkan kalung itu?
"Jangan kaget begitu. Kau tentu masih ingat bahwa aku dan Liam bersahabat bukan? Dan dia selalu bercerita apa saja padaku, termasuk tidak adanya kau membuang kalung ini." Billy tersenyum, dengan senyum mematikannya yang selalu berhasil memesonaku. Dia mendekat kearahku untuk memasangkan kalung itu. "Gunakan ini setiap kau bersamaku," ucapnya lagi didekat telingaku. Lebih seperti perintah yang harus kupatuhi. Uh, sejak kapan aku jadi patung seperti ini didepannya?
"Nah, selalu cantik seperti biasa," katanya setelah memasangkan kalung itu dileherku. Tangannya masih di bandul huruf B itu mengelusnya pelan.
"Kau sudah selesai makan?" tanyanya ketika beberapa detik kami terdiam. Saling menatap tanpa satupun yang gentar. Akhirnya bersamaan tangan Billy yang turun ke sisi tubuhnya, dia memecah keheningan antara kami berdua walaupun suasana sangatlah ramai dikarenakan saat ini adalah hari Sabtu. Dan anak sekolah pada libur.
"Ya," gagapku, "kurasa aku sudah selesai."
"Bagus. Ayo berangkat." Billy berdiri, mengulurkan tangannya padaku.
Aku menatap tangan dan wajahnya bergantian. "Kau yakin kita akan keliling kota, berdua?"
Billy tersenyum misterius lalu menjawab, "kita akan kesuatu tempat yang menyenangkan dikota sebelah."
"Oh baiklah." Aku bangkit tanpa meraih tangannya. Billy mengangkat bahunya saja ketika aku malah menenteng tas dan memilih melenggang melewatinya.
"Baiklah, mobilmu atau mobilku?" Tanyaku ketika kami sudah berada diparkiran.
Billy tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "No car Bil, motorcycle."
"What?"
***
Aku menekuk wajahku seharian selama perjalanan. Hell-o! Keluar kota dengan motor? Aduh pantatku!!
"Hei, kenapa diam? Kau ketiduran?" Tanya Billy setengah teriak didepanku. Suaranya sama saja seperti bicara biasa karena teriakannya dibawa angin begitu saja.
"Kalau aku ketiduran sudah jatuh dari tadi!"
"Ya kenapa tidak bersuara?"
Masih bisa bertanya seperti itu?
"Kesal tau! Naik motor dua jam! Pantatku pegal!" Kupukul bahunya yang semakin kekar itu.
"Nanti aku pijitin."
"Billy! Jijik ih!"
Billy tertawa. Aku bisa mendengarnya walaupun terdengar samar.
"Tangan mana?" Tanyanya lagi.
"Nih," kujulurkan tangan kiriku yang memegang ekor motor dibelakangku, sedang tangan kananku masih memeluk tasku kuat-kuat.
Kurasakan tangan Billy yang memakai sarung tangan menggenggam tanganku dan mengarahkannya ke perutnya yang datar. "Nah, pegangnya disini."
"Norak Billy!" Teriakku sambil berusaha melepaskan tanganku dari tangannya. Alih-alih terlepas, jemarinya malah melilit jemariku, dengan seluruh telapak tangan kirinya menutupi tanganku yang lebih kecil dari tangannya.
"Kau masih ingat saat sekolah dulu boncengan motor denganku kan? Seperti ini, mengerti?"
Aku menghela nafas pelan. Terserah apa katanya sajalah.
***
Motor Billy berhenti di sebuah lapangan luas ala-ala peternak. Beberapa halamannya dikotak pagar kayu setinggi pinggang. Diantara dua kotak itu ada satu rumah kayu bersebelahan dengan kandang kuda. Dan motor Billy tepat berada didepan rumah tersebut.
"Bil, kita mau ngapain disini?" Tanyaku setengah berbisik melihat seorang pria berumur sekitar lima puluhan berjalan kearah kami. Topi lebarnya mengingatkanku pada sesuatu.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"
Billy menjabat tangan bapak itu, nenyebutkan nama dan tujuannya datang kemari. "...menunggang kuda pak. Ada kuda yang bisa kami tunggangi?"
"Oh ya ya, ada. Silahkan ikut saya," ucap bapak itu ramah. Dia tersenyum padaku dan aku membalasnya singkat. Bapak itu melangkah duluan menuju kandang kuda diikuti kami dibelakangnya.
"Nah ini kuda yang paling jinak pak," kata bapak itu sambil mengelus kepala kuda berwarna putih yang muncul diantara kayu kandangnya.
"Bagaimana Bil? Kau mau menaiki yang ini?"
Tunggu dulu. Tunggu! Otakku masih belum bekerja karena pemandangan indah yang disediakan tempat ini dan kuda-kuda yang lucu dan terawat itu. Tapi, tunggu dulu. Maksud Billy adalah..
"Kita belajar menunggangi kuda Bil. Kau sejak dulu mau coba menunggangi kuda sendirikan?"
Ulala! Pecah sudah dunia terbagi dua! Silver Nabila akan menunggangi kuda?
"Kau gila ya? Seumur hidup aku tidak pernah menunggangi kuda! Sekarang kau malah menyuruhku menungganginya?!"
"Bukannya kau yang sedari dulu minta belajar ini?"
"Itu dulu! Sekarang tidak lagi Billy! Aku sudah dewasa dan tidak mau mimpi aneh-aneh lagi!"
"Ini tidak aneh Bila! Sekarang ada didepan matamu dan kau bisa menungganginya."
"Tapi kau tau aku tidak bisa. Dan aku tidak mau!"
"Maaf pak mbak," sela bapak itu dengan wajah cemas, kami serentak menoleh, "apa jadi memakai kudanya?"
"Ya." "Tidak!" Ucap kami serentak. Kami lalu saling berhadapan lagi.
"Billy no! Aku tidak mau!"
"You should to try it Bil."
"Aku takut jatuh! Tidak!"
"Ada aku kan? Tidak bakalan jatuh!"
"Kau tidak bisa dipercaya!"
"Bisa! Kalau kau jatuh, kau bisa mengakhirinya."
"Damn it Bil!"
"So?"
Aku menghela nafas sebelum memutus kontak mataku padanya dan menoleh pada bapak si tukang kuda. "Apa ada pelindung tubuhnya?"
***
Suara kaki kuda terdengar bersahutan ditelingaku. Suaranya pelan karena juga kutunggangi dengan pelan. Sedangkan jauh didepanku Billy sudah kesekian kalinya memutari petak ini. Aku hanya mendesah pasrah. Biarlah terlambat asal aku selamat.
"Hei, are you okay?" Tanyanya ketika mengeram kudanya tepat disebelahku.
"I'm not for sure."
Billy terbahak membuatku mengerling jengkel. "Okay, that's enough. Ayo pindah kesini," ucapnya sambil menjulurkan tangannya kepadaku.
"Pindah kemana?"
"Kau pindah ke kudaku." Aku mengernyit aneh.
"Buat apa?"
"Keluar dari lingkaran membosankan ini, kesuatu tempat yang lebih menarik untuk dilihat."
"Aku takut keluar dari sini sendirian, pakai kuda lagi. No!" Jawabku sambil menggelengkan kepala memikirkan kengerian yang akan terjadi.
"Makanya aku bilang pindah kesini. Kita menunggang berdua."
Jleb. Menunggang berdua?
"Tidak usah pakai muka merah segala. Malu? Tidak ada orang lain yang kenal kita disini."
Tidak ada yang kenal? Hm, baiklah.
"Aku harus turun dulu untuk pindah kesana," ucapku sambil menarik kekangan kuda untuk berhenti. Billy juga melakukan hal yang sama hingga kudanya juga diam ditempat seperti kudaku.
"Tidak perlu. Kau hanya harus memiringkan seluruh tubuhmu kearahku dan aku akan membereskan selanjutnya."
Aku menaikan sebelah alis mempertanyakan keyakinanku padanya. Dia mendesah dan memutar bola mata kesal. "Oh ayolah Bila, sudah keberapa kalinya kau menatapku seperti itu? Kau masih tidak percaya?"
Aku menghembuskan nafas gusar akhirnya. Percaya tak percaya sih. Jadi aku duduk miring ke sisi sebelah kanan tepat dimana Billy berada. Lalu selanjutnya Billy meletakan kedua tangannya di pinggangku dan..
"Aaa!" Aku berada di kudanya. Dia berhasil memutarku dan nendudukanku di kudanya. Great job. Dia tersenyum puas lalu memegang kekang kudanya lagi untuk membuat kuda itu melaju.
"Sudah berapa kali kau belajar melakukan itu hm?" Tanyaku sambil membenarkan posisi dudukku mengangkangi juda itu.
"Beberapa kali saat aku berkuda dengan pacarku di Sydney."
Oh. Jadi. Pacar. Sydney. Great. Selamat pacar di Sydney!
"Kenapa diam? Cemburu ya?"
"Euh. Tidak!" Jawabku membela diri.
"Mengaku sajalah!"
"Tidak!"
Dan akhirnya selama perjalanan menuju 'pemandangan bagus' Billy itu, kami hanya memperdebatkan apakah aku cemburu atau tidak.

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang