BIL XXV (end)

13.4K 424 13
                                    

Akhirnyaaaaaa the last part
Terima kasih untuk para pembaca setia, baik yang vote komen ataupun vuma silent. Terima kasih untuk tidak menggandakan cerita ini di media sosial laiiin
Spoiler sedikit, sebenarnya saya mau jadiin ini sad ending, tapi yah mau dikatakan apalagi, saya kasian sama readernya. Jadi harap dimaklumi kegajean part akhir ini. Yang bilang bagus dan senang akhirnya cerita ini berakhir, please komen
Minta saran juga, kira2 cerita siapa yang harus aku buat lagi! Dan kira2 apa cerita yang mau kalian angkat ke novel?
Terima kasih dan happy wedding BIL!!!!

Nabila's POV

Aku menatap wajahku didepan cermin. Cantik. Sangat cantik untuk diriku yang selama ini hanyalah Silver Nabila biasa. Dengan gaun putih yang menyapu lantai dan rambut disanggul berbentuk bunga serta tiara dipuncak kepalaku, membuatku sendiri terpana dengan diriku. Aku, menikah hari ini.
"Kau cantik sekali!" ucap Riama, sang penata riasku. Dia tampak puas dengan pekerjaannya dan aku puas dengan hasil kerjanya. Aku mengucapkan terima kasih lalu dia menepuk pundakku pelan.
Suara ketukan pintu terdengar menyusul kepala Mommy dibaliknya. Mommy tersenyum. Dengan sadar diri, Riama undur diri keluar kamar.
"Hai anak mommy yang paling cantik!" sapa mommy dengan senyum malaikatnya. Mommy sudah rapi dengan kebaya warna kuning gadingnya.
"Mommy mujinya kalau tidak ada Adrea sih, kalau ada dia pasti dia langsung marah," ucapku bercanda. Mommy langsung menggeleng. "Dia pasti akuin kalau kamu cantik sekali hari ini."
Aku tersenyum lalu berbalik menghadap cermin lagi. Berkomunikasi dengan mommy dari pantulan wajahnya dicermin.
"Apa kau sudah siap?"
"Kenapa mommy bertanya seperti itu?" tanyaku balik. Menutupi kegugupan diriku.
"Tentu saja, kau akan menikah dan meninggalkan mommy dan daddy dirumah bertiga dengan Adrea," ucap mommy sedih. Aku tersenyum lalu menepuk tangannya di pundakku.
"Loh, Liam tidak masuk hitungan mom?"
"Alah anak itu, pulang aja jarang."
Aku terkikik pelan. "Secepatnya aku kasih cucu biar mommy tidak kesepian lagi."
Mommy yang tadinya bertampang sedih, kemudian tertawa. "Bagus, kau sangat mengerti mommy ya." Mommy mengecup keningku dari samping.
"Mommy tunggu diluar ya. Jangan hanya pandangin wajahmu aja. Itu calon suami udah tunggu diluar."
Aku mengangguk sambil terus menyunggingkan senyumku. Mommy berbalik setelah menatapku lama dan meninggalkanku sendiri dikamar rias ini.
Aku tau betul mommy sedih melihat salah satu anaknya akan menikah. Aku tau perkataan mommy tadi serius. Tapi, semua anak pasti akan berakhir dengan pernikahan kan?
Pintu kamarku diketuk lagi. Aku bangkit berdiri untuk keluar, tapi wajah Vicky muncul membuatku mematung ditempat.
"Oh, hai!" sapanya gugup. Dia masuk dengan santai.
"Ada apa?" tanyaku pelan. Menatapnya yang sedari tadi menatapku takjub. "Kau cantik sekali."
Aku tersenyum malu.
"Apa kau siap?" tanyanya padaku. Kenapa orang-orang menanyai kesiapanku?
"Tentu saja," ucapku dengan senyum sebaik mungkin.
"Jujur saja padaku Bil."
Apa? Kenapa tatapan Vicky berubah menjadi menuntut?
"Kau dan Billy.."
"Kumohon, jangan bicarakan dia lagi."
Vicky tersenyum. Dihempaskan tubuhnya yang sudah memakai tuksedo berwarna senada denganku ke sofa putih dibelakangnya. "Duduklah," ucapnya.
Aku menurutinya dan duduk disebelahnya.
"Aku tau kalian kembali menjalin hubungan akhir-akhir ini," ucapnya mengawali tapi berhasil membuatku tertohok. Sejak kapan dia tahu?
"Saat pertama kali kau dijemputnya, aku mengetahui hal itu. Aku juga tau bagaimana kalian di Jerman, alasanmu menjadi sangat manja padaku. Aku tau saat kalian janjian untuk kencan kalian itu."
Aku terkejut seperti tersengat listrik beribu watt, oke ini berlebihan. Tapi aku benar-benar terkejut. Aku hanya bisa diam tanpa menjawabnya.
"Jujur, aku terluka denganmu yang tidak jujur padaku."
"Maafkan aku," ucapku akhirnya setelah otakku memerintah untuk menjawab seluruh keluhannya. "Tapi, aku sudah benar-benar mengakhiri dengannya. Aku siap menikah denganmu."
Vicky tertawa sedih. Dia tertawa, tapi aku bisa melihat matanya yang menyiratkan kesedihan. Dan aku tau artinya apa.
"Jangan berbohong lagi. Kau sudah cukup menbohongiku dengan kata-kata cintamu."
Aku menegak air ludahku. "Maafkan aku. Setidaknya aku belajar untuk mencintaimu."
"Dan apa kau berhasil?"
Aku mengerjap. Apa aku berhasil? Tentu saja..
"Tidak. Kau tidak berhasil," kata Vicky menjawab pertanyaan di otakku.
Vicky mencondongkan badannya dan meraih tanganku. Dia menangkup tanganku dengan tangannya yang besar itu. "Bila, seseorang pernah bilang padaku kalau jodoh tidak akan lari kemana dan aku benar-benar percaya hal itu. Bil, mungkin kita memang tidak berjodoh. Mungkin memang hanya aku yang mengharapkan pernikahan ini, tapi kau tidak. Dan aku tidak siap melanjutkannya jika itu benar terjadi."
Aku menatapnya yang menatapku sendu. Lalu dia berkata lagi, "kau akhiri saja sandiwaramu ini. Kau berhasil menipuki bahkan menipu dirimu sendiri. Dengan menjadi wanita yang dingin, kau berhak mendapatkan nilai terbaik."
"Tapi aku tidak ingin menjadi orang yang merubahmu. Jadi, kumohon, jadilah Nabila yang dulu. Nabila yang periang dan pantang untuk mundur."
Aku terpaku. Vicky adalah pria yang baik. Dia memang berhak menjadi ayah dari anak-anakku kelak. Walaupun kami tidak saling mencintai setidaknya kami bisa menjadi orang tua yang baik untuk anak-anak kami nanti.
"..batal. Bil, kau dengar?"
Aku mengalihkan pandanganku dari tangan kami yang saling menangkup ke wajah Vicky.
"Er dengar apa Vick?"
Vicky menghela nafas dengan senyum dibibirnya. "Pernikahan ini batal."
"Apa? Vicky! Jangan asal memutuskan! Siapa yang mau pernikahan ini batal?"
"Kau."
Aku? Sejak kapan aku mau membatalkan pernikahan ini? Oke oke, aku memang selalu berharap batalnya pernikahan ini. Tapi sejak semalam, aku sudah menguatkan diri untuk menerima pernikahan ini. Dan Vicky dengan gampangnya membatalkan pernikahan ini?
"Tenanglah. Jangan memasang tampang marahmu itu." Vicky tersenyum. "Sekarang pergilah. Dia sudah menunggumu."
"Siapa yang menungguku?"
Vicky diam. Dia malah berdiri dan menuntunku untuk keluar kamar. Seketika aku terkejut mendapati siapa yang ada dibalik pintu kamarku.
"Pergilah, raih kebahagianmu. Aku juga akan meraih kebahagiaanku," ucapnya sambil memindahkan tanganku pada pria berjaket coklat disampingnya. Aku masih terpaku ketika tangan hangat itu kini menggenggamku erat.
"Ayo, kita tidak bisa lama sebelum ibu-ibu pada heboh!" ucapnya masih dengan suara beratnya yang seminggu ini tidak kudengar. Dia menarikku menjauhi kamar itu, menjauhi Vicky yang sekarang berdiru tegap dengan tangan yang masuk kedalam kantong celananya.
"Tapi Bundamu.."
"Tenang saja! Semuanya aku yang bereskan!" teriak Vicky lagi dari belakangku.
Aku berbalik padanya mengucapkan terima kasih dari pandangan saja. Ketika aku menghadap kedepan, aku bisa melihat punggung pria yang menjadi masa depanku ini.
***
"Kenapa pakai motor? Ribetkan!" kataku kesal. Tanganku masih berusaha menyelamatkan gaunku yang terjuntai diantara kakiku. Aku tidak mau gaun ini tergulung gigi roda. Sayang sekali.
"Aku tidak bisa berpikir panjang saat ditelefon Vicky."
"Jadi dia yang mengatur ini semua?" tanyaku masih berteriak-teriak. Kencangnya motor memaksaku melakukan ini.
"Ya. Aku bahkan tidak akan datang jika kau benar-benar menikah dengannya."
"Lebih baik begitu. Aku pun tidak ingin kau ada disana."
"Sudahlah, sebaiknya kita benar-benar berterima kasih pada mantan calon suamimu itu."
"Kau benar. Hei, kita mau kemana?"
"Kerumahmu. Mengepak barangmu, dan pergi kesuatu tempat."
"Kau serius?"
***
Bibir Billy terasa hangat ketika menyentuh leherku. Aku memejamkan mata rapat-rapat merasakan ini semua. Aku tau, ini suatu kebodohan yang akan aku pikirkan seumur hidup. Tapi aku sudah bulat memberikan satu-satunya harta berhargaku pada pria yang aku cintai.
Tiba-tiba saat aku sudah bersiap melepas jinsnya, Billy menghentak bahuku dan membuatku mundur. Aku terkejut. Ini tidak lembut sama sekali. Lalu aku membuka mata.
Nafas Billy memburu, tapi aku tahu kalau pikirannya bukanlah bagaimana cara dia menyentuhku ketitik terindah, tapi matanya lebih seperti berdosa.
"Kenapa?" tanyaku dibawahnya.
Billy memutar tubuhnya dan duduk disebelahku. "Ini tidak benar, kita tidak boleh melakukannya."
Aku bangkit. Meraih apapun didekatku dan menutupi tubuhku dengan itu.
"Kau lebih baik memberikannya pada suamimu nanti. Itu adalah hadiah terbaik bagi pria."
Aku terdiam. Pria ini.. Aku bahkan tidak bisa berkata apa-apa. Aku ingin menangis rasanya karena sudah menjatuhkan harga diriku didepannya dan dia dapat berfikir seperti itu.
Billy bangkit dari ranjang. Aku menatapnya dari ekor mataku.
"Kau tidurlah dulu, aku ingin mandi air dingin sebentar."
Aku mengangguk saja lalu bergeser keatas ranjang. Memakai kaus Billy yang tadi aku gapai dan masuk kedalam selimut.
Dalam waktu lima belas menit, Billy keluar. Tapi dia tidak segera keranjang. Dan kupikir dia tidak akan tidur seranjang denganku.
Paginya ketika aku menggeliat bangun, kurasakan sesuatu yang hangat mengelilingi tubuhku. Saat aku akan berbalik, tubuhku malah ditahan.
"Biarkan begini saja sampai aku benar-benar bangun," ucapnya dengan suara serak.
Aku mengernyit dan memahami perkataannya beberapa detik kemudian setelah nafasnya kembali teratur. Jadi, begini satu hari penuhku bersamanya. Dia hanya memelukku semalaman tanpa melakukan hal lain. Dan aku merasa beruntung bahwa dia tidak benar-benar mengambil kehormatanku semalam.
***
Aku sudah mengepak bajuku beberapa helai. Aku juga sudah menukar baju pengantinku dengan kaus, celana jins dan jaket coklat mudaku. Dengan cepat kutarik koper itu keluar kamar dan menuju lantai satu. Ternyata Billy tidak ada diruang tamu. Mungkin dia sudah duluan keluar.
Dengan semangat aku menuju keluar rumah dan..
"Bila, kau mau kemana?" suara halus nan merdu itu membuatku sontak terhenti. Aku berbalik dan mendapati mommy berada dibelakangku. Bersama daddy, Liam, Adrea dan Billy yang menatapku sambil menggaruk tengkuknya gugup.
"Eh semua. Hai," sapaku sama gugupnya dengan Billy.
"Kembali kedalam. Kita bicarakan tentang pernikahanmu dengan Billy," kata daddy tegas.
Aku membelalakan mataku terkejut. Billy tersenyum dan memainkan alisnya. Aku tanpa sempat berkata apa-apa lagi langsung dirangkul daddy dan dibawa kedalam.
Oh, aku speechless..

End

Vote and comment!!
See you in the next story!!!!

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang