XXIII

6.6K 324 2
                                    

Hai readers yang nungguin kabar si Bil. Mohon maaf karena lagi sibuk dengan dunia nyata *kaya ada yang nungguin aja**plak*
Jadi ini saya tebus part 23nya. Buat next part please jangan ditanya kapan di terbitin, soalnya belum nulis. Ini aja susah banget kumpulin niat buat nulis lagi. Jadi maafkan saya sedikit PHP.
But honestly, this part is 2part before ending. So, besok itu last part. Dan nextnya epilog.
Tungguin bentar lagi aja kok bakal ending yaaa *please lagi jangan tanya kapan saya post*
Maaf typo bertebaran karena malas edit. So, check it out!

Seluruh kertas-kertas bernuansa hijau tosca memenuhi meja ruang tamuku. Di depannya tertulis huruf V dan N besar, ditulis dengan tinta perak. Kertas itu tercetak rapi sebagai undangan pernikahanku.
"Bagaimana bisa aku membiarkan seorang gadis cantik begitu saja didekatku? Aku bahkan selalu merasa salah setelah menciummu. Tapi aku tidak bisa mencegah diriku untuk melakukan itu. Lagi dan lagi."
Perkataan Billy semalam masih berputar diotakku. Seluruh kartu undangan ini tidak ada nilainya dibandingkan pengakuan Billy kemarin.
"Entahlah. Pertama kali ya? Hm, mungkin sejak kau tidur di bahuku saat kelas dua smp."
"Maaf merebut ciuman pertamamu!"
"Tidak. Aku selalu melakukannya jika tidak ada seorang pun melihat. Bagaimana bisa aku ketahuan mencium adikku sendiri? Itu incest namanya."
"Tentu saja tidak. Sekarang aku sadar betul itu tidak salah sama sekali."
"Oke oke maafkan aku tidak memberitahumu. Aku malu soul."
"Ya aku janji selalu jujur setiap hari dan.."
"Sayang?"
"Melakukannya atas izinmu soul, honey, sweety."
"Sayang?"
"Oke! Jangan pukuli aku lagi. Baiklah. Aku tidak akan memanggilmu seperti itu lagi. Bagaimana dengan sayang?"
"Nabila!"
Aku menoleh ke arah kiriku. Terkaget bahwasanya aku tidak sendiri disini. Ada Vicky bersamaku dan aku mengabaikannya sedari tadi. Apa yang dibicarakannya?
"Kau kenapa? Ada masalah?"
Aku menggeleng.
"Kau pasti tidak mendengarkanku," ucapnya dengan nada lembut yang sama diberikannya padaku setiap harinya.
"Maaf, akhir-akhir ini aku memang susah fokus."
"Kenapa sayang?" Tanyanya sambil membelai rambutku.
"Hanya memikirkan pernikahan kita yang tinggal beberapa minggu lagi."
"Tenanglah. Semuanya sudah aku selesaikan. Sekarang kau hanya perlu menempel tujuan undangan ini untuk siapa."
"Hm, baiklah."
"Bagus. Nah ayo lakukan. Aku tidak sabar membagikan undangan ini!"
Aku tersenyum getir. Tapi tanganku tetap menjangkau kertas dan kartu undangan itu. Menempelkan tujuan undangan masing-masing.
"Sayang? Bila sayang.."
***
Aku melemparkan undangan itu kemeja dihadapanku. Bersamaan itu badanku terduduk dikursi kulit disebelahku. Pria didepanku mengambil undangan itu dan membaca awalannya. Kepalanya langsung menggeleng dan kembali melempar undangan itu kemeja.
"Undangan sudah jalan sebagian Bil," ucapku lemas. Aku mau menangis saja sekarang.
"Kita harus bicara sama mommymu sekarang."
"Jangan Bil! Please, mommy bakal marah besar!"
Billy berdiri dari kursinya. Berjalan memutari meja dan memutar kursiku hingga menghadapnya. Berdiri menopang tubuhnya yang menjulang dengan kedua lengan kursiku.
"Kita pasti bisa selesaikan semuanya," katanya menenangkan. Aku menatapnya ragu. Ku gigit bibir bawahku cemas. "Bagaimana Bil? Bagaimana caranya?"
"Aku bicarakan dengan ayah dan minta ayah melamarmu pada Om David."
"Kau yakin Bil?"
"Sangat yakin sayang," ucapnya melunak. Dia menunduk lebih dalam dan mengecup puncak kepalaku. Lalu ditariknya aku kepelukannya. "Percayakan padaku."
***
Kami sudah berada duduk diruang tamu keluarga Revaldo Hummle. Om Revaldo baru saja keluar dari kamarnya dan langsung duduk dihadapan kami berdua. Yang pertama kali aku pikirkan adalah gagal. Bagaimana tidak, Billy akan segera meminta orang tuanya untuk melamarku. Dengan wajah Om Revaldo yang dingin seperti ini membuatku langsung mati kutu. Gagal sudah!
"Yah, aku mau bicara," ucap Billy percaya diri. Dia tanpa takut nenatap mata ayahnya, dan sebaliknya sang ayah memberikan tatapan yang sama.
"Hm, apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya masih dengan sikap menilai. Matanya beralih padaku dan aku langsung menunduk menatap ujung sepatuku.
"Aku tidak bisa pakai pendahuluan atau semacamnya yah. Jadi aku langsung saja." Aku menahan nafas menanti Billy mengucapkan kata-katanya. Kurasakan tangan Billy mulai menggapai tanganku. "Aku ingin melamar Nabila yah. Secepatnya."
Jantung gadis mana yang tidak berdetak ketika seorang pria menyatakan ingin menikahinya? Dihadapan orang tuanya lagi. Dan aku merasakannya sekarang, berbeda saat Vicky melamarku yang semua terasa datar.
Tidak ada jawaban dari Om Revaldo. Aku cemas. Pasti beliau tidak mengizinkan.
Penasaran, ku angkat wajah dan menatap pria itu. Rahangnya mengetat dan matanya tajam menatap anak pertamanya. Kecemasan semakin melandaku. Dan akhirnya pria itu berjalan ke arah anaknya, yang masih menatapnya dengan tatapan yang sama, lalu menarik anaknya untuk berdiri dengan cara yang tidak bisa dikategorikan lunak.
"Billy! Kau!"
Refleks aku berdiri ingin menahan Om Revaldo yang sekarang mengangkat tangannya. Tapi yang terjadi berikutnya malah membuatku lega. Sangat lega. Ternyata Om Revaldo menarik Billy kepelukannya dan mengucapkan, "good son! Finaly you did it!"
Billy membalas pelukan ayahnya. Mereka saling menepuk pundak dengan sangat kencang dan aku bisa mendengar bunyi dentumannya.
Setelah mereka berpelukan, dengan Om Revaldo yang melepaskan pelukan terlebih dahulu, Om Revaldo menatap kearahku dengan pandangan lunak. Dia tersenyum.
"Peluk ayah Bila. Welcome to Hummle family!"
Aku membalas senyumnya. Dalam dua langkah aku sudah berada dipelukan Om Revaldo, yang sebentar lagi akan ku panggil ayah. Tidak menyangka semua akan semudah ini. Kami hanya tinggal berbicara pada mommy dan daddy.
"Aku ingin melamar Nabila malam ini juga yah, sebelum semua undangan tersebar," ucap Billy mantap. Mendengar hal itu Om Revaldo melepaskan pelukannya dariku.
"Oh, tidak masalah son. Ayah akan segera menghubungi Om David dan memintanya menunggu ayah dirumahnya. Kita akan segera melamar Nabila."
"Melamar Nabila?" Sesaat kami terhenti tersenyum. Aku, Billy, dan Om Revaldo menoleh pada pintu kamar dimana Om Revaldo keluar tadi. Tante Zera berdiri disana.
"Melamar Nabila? Apa maksud kalian?" tanya Tante Zera mendekati kami.
"Iya bun. Billy mau lamar Nabila malam ini."
Tante Zera menatap kami bergantian. Lalu berikutnya kami dikejutkan oleh sesuatu.
"Tidak! Kalian tidak boleh menikah!"
Detakan kecemasan tadi berubah menjadi ketakutan. Jantungku memompa cepat dan entah bagaimana seluruh aliran darahku seperti habis beredar kewajahku.
"Sayang, dengar dulu. Billy sudah lama cerita kepadaku kalau dia ingin menikahi Nabila," ucap Om Revaldo.
"Apa? Kau sudah tau Billy akan seperti ini tapi kau membiarkannya saja? Aldo, ini dilarang. Tidak boleh melamar diatas lamaran orang lain. Dan aku tidak mau membuat Viena sedih dan terluka karena kita akhirnya menghancurkan kebahagiaan anaknya. Mereka akan menikah dua minggu lagi Do!"
"Tapi Bunda.."
"Tidak ada tapi-tapian Billy. Jika kau sayang bunda, hentikan hubungan kalian ini! Bukankah kau yang mengatakan bahwa kau tidak akan mencintai Bila. Kenapa kau sekarang malah termakan omongan? Dan kau tentu tidak mau menyakiti hati Tante Viena kan?"
Kami terdiam. Aku, Billy, bahkan Om Revaldo. Kami sama-sama tidak tau apa yang harus dilakukan. Tante Zera sedang marah besar dan pembicaraan ini lebih baik dihentikan dulu. Tunggu Tante Zera tenang kembali.
"Tante, Om, Nabila pulang saja."
Billy menoleh dengan cepat. Dengan cepat pula dia menahan tanganku. "Tidak sayang. Kita akan selesaikan semuanya."
Aku menatapnya sendu. Kurasa aku akan menangis jika tidak segera pergi dari sini. Ku lepaskan tangannya dipergelangan tanganku. Berputar pergi meninggalkan semua diruang tamu.
"Billy antar Nabila dulu Bun."
"Tidak perlu. Banyak taksi yang bisa tumpangi. Biarkan dia pulang untuk mengurus pernikahannya. Dan kau Billy, jangan pernah bertemu degannya sampai pernikahan usai. Dengarkan bunda, atau kau tidak sayang bunda lagi?"
Aku tidak dengar apa lagi kata-kata yang di ucapkan Tante Zera yang baik dan tiba-tiba berubah mengerikan itu. Yang aku pahami, Tante Zera benar-benar menolak hubungan kami berdua. Kami tidak ditakdirkan bersama. Mungkin aku benar-benar harus fokus pada pernikahanku dan Vicky dan tidak bertemu dengan Billy sampai pernikahan berlangsung.
Tepat ketika kakiku keliar gerbang rumah Billy, air mataku tumpah.
***
Tiga hari sudah berlalu dari kejadian sore itu. Semakin bertambah waktu, semakin dekat pula hari pernikahanku. Dan aku enggan.
Banyak yang berkata bahwa aku terlihay pucat, sakit, dan beberapa menganggap aku kelelahan mengurus pernikahan ini. Tapi hanya satu orang yang benar-benar paham dengan keadaanku. Firly. Hanya dia yang siap mendengar keluh kesahku akhir-akhir ini.
Tiga hari ini, Billy tidak memberikan kabarnya padaku. Aku paham betul kenapa, tidak lain tidak bukan adalah bundanya. Dia merupakan salah satu anak yang mematuhi orang tua.
"Kak Bil, minum ini dulu. Udah aku buatkan green tea ini," ucap Firly yang muncul keruanganku dengan secangkir teh hijau ditangannya.
Aku mengangguk menyuruhnya untuk masuk. Diriku sedang tidak ingin merubah posisi dari tiduran di sofa ini.
"Kakak masih memikirkan Bang Billy?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum tipis sambil menerima cangkir itu dari tangannya. "Jangan sok tau kau Fir," jawabku.
Firly terkekeh. "Kakak banyak berbohongnya akhir-akhir ini kak."
Aku mendengus memilih mendiamkannya dan meninggalkannya sendirian di meja kasir. Aku berlalu menuju ruangan pribadiku. Memilih mengheningkan diri di dalam sendiri.
Baru saja aku hampir terlelap didalam tidurku, ponselku berdering. Ku abaikan panggilan telefon itu. Memilih kembali ke alam mimpi. Tapi ponsel pintar yang berada di atas mejaku berdering lagi, bersamaan dengan getaran yang menganggu.
Aku bangkit. Lebih baik mengangkat telefon, siapa tau penting. Atau setidaknya setelah orang itu selesai menghubungiku, dia tidak menganggu lagi.
Ketika aku hampir sampai didekat mejaku, ponsel mati. Sedikit kesal karena merasa dikerjai ponsel sendiri, aku bergegas meraihnya dan lebih baik mematikan saja ponsel ini. Tapi tanganku terhenti ketika mataku membaca deretan huruf membentuk satu nama penelfon. Billy.
Sontak tubuhku melemah. Entah kenapa semua sendiku serasa mati. Apa akibat aku terlalu merindukannya?
Ponsel iti berdering lagi. Kali ini foto kami berdua muncul diiringi namanya yang memanggilku. Aku terdiam beberapa detik sebelum menyentuh layar ponsel untuk menjawab telefon.
"Halo," sapaku lemah. Oh, aku butuh sandaran segera!
"Bil! Kau kenapa sih tidak mengangkat telfonku?"
Billy terdengar marah. Aku mendesah. Kududukan diriku dikursi tunggal didepan meja.
"Aku hampir tertidur sebelum kau menelefonku."
"Aku pikir kau sengaja tidak mengangkat telefonku."
Aku menggeleng. Tapi segera tersadar kalau dia tidak akan melihat pergerakanku. "Kenapa menelefon?"
"Firly mengatakan kalau ku tidak baik-baik saja."
"Aku baik-baik saja."
"Bohong lagi?"
"Cukup Bil. Kita sudah berakhir."
"Belum!" jawabnya cepat. "Kau belum menikah Bila!"
"Lalu? Kau saja tidak menghubungiku beberapa hari. Kemana saja? Oh aku lupa kalau Bundamu melarangmu bertemu denganku. Lalu kenapa kau menelefon?"
Billy mendesah diseberang sana. "Aku harus memikirkannya dulu sebelum aku menghubungimu lagi. Tapi aku selalu memantaumu dari Firly. Dan dia menjadi mata-mata yang baik."
Jadi, Firly?
"Dan Bunda hanya melarang untuk bertemu denganmu. Bukan mengubungimu."
Aku bergumam tidak jelas. Otakku sudah berhenti berfikir sepertinya sehingga aku tidak bisa lagi menjawab kata-katanya.
"Kita harus bertemu." Dan saat ini kurasakan jantungku berhenti berdetak. Buat apa lagi? Kawin lari?
"Tidak Bil. Kita tidak bisa.."
"Jangan mudah menyerah. Kita benar-benar harus bertemu untuk membicarakan hubungan ini."
Aku memijit pelipis dengan tanganku yang tidak memegang ponsel. "Baiklah. Kapan? Dimana?"
"Kau bawa mobil? Aku jemput nanti pukul delapan?"
"Hm, Vicky akan menjemputku."
"Baiklah. Besok pagi, ku jemput kerumahmu."

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang