BIL VI

9.1K 578 2
                                    

DuoBil is back!
Maafkan ceritanya kurang menarik eak. Yang ga suka ga usah baca :)

Nabila's POV

Aku merebahkan tubuhku di sofa ruang kerjaku. Aku menghela nafas lega setelah dari pagi menemani pelanggan butik dan baru bisa bersantai setelah siang ini. Pikiranku melayang kebeberapa hari lalu saat aku dan Vicky makan malam di kafe Billy. Malam itu aku sempat menolak untuk makan disana, mengingat Billy memang sudah kembali dan pasti akan diberikan kafe itu oleh ayahnya. Dan tebakanku benar saat batang hidung Billy muncul menyapa kami.

Tentu saja aku harus bersikap tenang didepannya, sesuai pola pikirku sekarang. Menghadapi semuanya dengan tenang.

"Apa kau merindukanku?"

Pertanyaannya kembali melayang. Bukannya aku tidak sadar mengenai tatapannya padaku saat aku menatap ponsel bahkan pertanyaan paling pelannya pun tertangkap olehku. Dan tampangnya saat aku mengucapkan bahwa aku tidak merindukannya itu, membuat hatiku serasa diremas. Wajahnya kecewa, tentu saja. Dia pasti sangat kecewa karena aku tidak merindukannya sebagai kakakku.

Tapi berada disekitarnya membuat diriku tidak baik-baik saja. Mengingatkan kebodohanku dulu- dulu. Yang mengejarnya tanpa malu, yang menutup telinga dari penolakannya, yang mengabaikan perkataan orang lain, yang memujanya gila-gilaan. Hingga aku memantapkan hatiku untuk melupakannya.
Melupakannya..

Ah, aku meragu. Bagaimana bisa aku melupakannya kalau sekarang dia hadir lagi? Dan seminggu lagi ku pastikan menjadi hari-hari buruk untuk hatiku.

Daddy sudah mengatakan padaku, Liam dan Adrea kalau akan mengadakan pesta untuk ulang tahun mommy seminggu lagi. Dan gilanya daddy mengajak teman-teman dekatnya. Juga keluarga Om Revaldo. Karena itu tidak ada alasan untuk Billy tidak ikut. Bahkan aku bisa memastikan pria itu ikut.

Suara ketukan pintu ruanganku terdengar nyaring. Suara Firly yang mengatakan kalau mie aceh pesananku sudah dibelikannya, membuatku bangkit menuju pintu.

***

"Bil!"
"Vicky! Hei apa kabar lo?" Aku melambai pada pria yang sedang berjalan kearahku. Tangannya memegang sebelah tali tas sandangnya. Sebelah alisku naik mempertanyakan keberadaannya disini.
"Baik dong! Ngga nyangka lo kuliah disini juga," jawabnya setengah tertawa.
"Mommy ngga bilang ya gue kuliah disini? Kebetulan banget kalau gitu." Kupeluk dia yang sudah merentangkan tangan. Dia membalas pelukanku sebentar. "Ambil jurusan apa lo?" tanyanya.
"Manajemen bisnis."
Vicky menatapku heran. "Berani ambil? Kenapa?"
Aku terkekeh geli. "Mommy yang minta. Supaya gue bisa lanjutin bisnis butik."
"Bagus! Tumben lo jadi anak penurut gitu."
Aku tersenyum hambar. "Gue ngga boleh nyusul Billy ke Sydney, jadi gue kuliah disini aja."
"Udah, ngga usah galau. Sekarang, gue yang jagain lo, okay?" Vicky menepuk puncak kepalaku. Dan akhirnya aku mengangguk ragu.

***

Vicky menyentuh lenganku membuatku tersentak dari lamunanku. Dia menatapku lama dan mendesah setelah menyadari aku tidak mendengar apa yang dikatakannya tadi.

"Kau melamun lagi. Memikirkan apa sayang?" tanyanya.

"Memikirkanmu. Percaya?"

Vicky tergelak. Ditariknya kepalaku kebahunya yang sedang menyetir mobil. Bersandar disana, aku merasa nyaman.

"Kenapa mikirin aku kalau aku disini?"

"Memikirkan pertemuan kita di kampus," jawabku datar. "Dan aku masih bertanya apa kau memang tidak tau kalau aku juga kuliah disana atau sebenarnya kau tau?"

Vicky tertawa. "Actually, I know."

Aku memasang wajah terkejut dan memukul dadanya pelan. "Dasar pembohong!" Tangannya terangkat mengelus rambutku walaupun tawanya tidak juga reda.

"Kau tau, aku sudah menyukaimu sejak lama. Tentu saja aku selalu mencari tau tentangmu," jawabnya santai. Di kecupnya dahiku dibalik poniku. "Dan akhirnya aku memilikimu. Memang butuh perjuangan ya?"

Aku mengangguk.

***

"Mungkin lo butuh pertimbangkan Vicky."
"Apa lo bilang? Lo gila ya? Ya engga lah Bil!"
"Loh, kenapa? Vicky itu sempurna."
"Dia kan ga suka gue Bil. Jangan ngasal deh!"
"Dia suka sama lo Bil."
"Ap.. haha jangan becanda."
"Gue serius. Dia bilang sama gue."
"Oke kalau bener dia naksir gue, trus kenapa? Lo mau kasih gue ke dia gitu? Nyuruh gue naksir dia juga?"
"Mungkin.."
"Engga Bil. Ngga bakal."
"Loh kenapa?"
"Dengerin gue. Bil, dengerin gue! Tatap gue. Nah sekarang gue jelasin. Gue sayang sama lo, cinta sama lo. Bukan Vicky atau siapapun itu dan I love you no matter what, how long I take time to wait you, I will. Dont ever think like that again!"
"Au! Jangan pake nyentil kepala gue segala!"
"Iya bawel sih. Udah ah, mommy udah nunggu tuh. Gue masuk dulu!"

***

Akhirnya hari itu datang. Aku dan keluargaku sudah menunggu dibandara. Menunggui 'teman-teman' daddy datang satu persatu. Dan yang pertama muncul adalah keluarga Vicky. Aku langsung berdiri menyalami Tante Viena dan Om Kevin. Memeluk Tiara dan hanya tersenyum pada Fajar. Lalu Vicky menarikku kepelukannya dan mencium dahiku.

"Kukira kami yang paling terlambat, ternyata masih ada yang lain ya?" tanya Tiara yang duduk disebelahku. Kini aku diapit oleh kedua kakak beradik itu.

"Iya. Tunggu aja," jawabku santai.

"Sama Billy juga?" tanyanya sedikit berbisik. Aku mengangguk lemah yang dibalasnya dengan genggaman ditanganku.

"Tante Oliv sudah tau kalau Om David buat pesta?" tanya Vicky dikananku.

"Tentu saja tidak. Jika mommy tau, bukan kejutan namanya."

"Oh iya." Vicky terkekeh. Lalu matanya berhenti tertumbuk lurus kedepan. Aku berbalik melihat apa yang dilihatnya. Ternyata keluarga Billy dan tentu saja Billy juga disana.

Klarifikasi jika aku salah memandang. Pria itu jauh berbeda dari lima tahun lalu. Jika lima tahun lalu dia lebih seperti kutu buku, tapi saat ini dirinya lebih seperti pria terkeren di sekolahan. Aku tidak pernah bilang dia jelek, dia tampan malah. Hanya saja dulu sekali dia tidak sekeren ini. Mungkin karena jarang membaca majalah fashion pria atau memang tidak peduli dengan perhatian.

Kalau dulu setiap jalan denganku Billy akan berambut klimis, sekarang rambutnya lebih terlihat berantakan dengan rambut yang jelas diwarnai coklat gelap. Kalau dulu dia memakai baju rapi, sekarang dia memakai baju lebih santai dengan kaos oblong (yang pastinya adalah baju bermerek) dipadu jaket kulit hitam. Dan lihat rayban yang bertengger dihidungnya. Sejak kapan seorang Billy memakai itu? Memang waktu bisa mengubah orang ya? Ehm, sama denganku.

Vicky melepaskan rangkulannya dariku dan berdiri menyalami Tante Zera dan Om Revaldo. Aku ikut berdiri dan ikut menyalami mereka serta dua anaknya.

"Hei, maaf soal malam itu," ucap Billy ketika Vicky sibuk dengan yang lainnya.

"Malam yang mana?" tanyaku sambil berusaha melepaskan tanganku yang menjabat tangannya. Tapi dia menahannya hingga aku tidak bisa melepaskan tanganku dengan mudah.

"Apa terlalu banyak malam yang membuatmu sakit hati dan kesal padaku sehingga aku harus berkata malam yang mana yang ku maksud?"

Aku mengernyit. Pria ini terlalu berbelit-belit. Kucoba lepaskan tanganku lagi darinya, tapi tangannya semakin keras meremas tanganku.

"Asal kau tau, aku belum bisa memaafkanmu atas malam-malamku hingga hari ini," desisku. Billy tersenyum miring, mencoba mengintimidasiku.

"Kalau begitu, aku akan terus mencoba selama disana, untuk meminta maaf padamu. Hingga kau, bisa kembali seperti dulu," ucapnya santai.

Aku berdecak. Menarik tanganku lagi, tapi tetap gagal.

"Bang Bil?" Suara Briana menyelamatkanku. Billy menoleh pada adiknya seraya melepaskan tanganku akhirnya. Briana tampak melotot marah lalu menarik lengan Billy dan menjauh dariku. Dia memarahi Billy sambil berbisik, tapi aku masih bisa mendengar sedikit tentang larangan Briana agar Billy tidak mendekatiku dan tentang patah hatiku. Lalu kedengar jawaban Billy yang cukup keras.

"Aku akan terus minta maaf sampai dia maafin aku, B. Titik."

Oh Tuhan! Jaga hatiku tetap dijalan yang tepat!

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang