BIL VIII

8.8K 518 4
                                    

Billy's POV

Kuacungi jempol untuk koki handal yang jelas berbahasa Jerman tapi dapat memasak makanan Indonesia. Rendang, sayur asam, dendeng balado dan banyak jenis makanan lainnya dapat kau temukan disini. Dan pembuatnya adalah orang Jerman asli, ya walaupun pemilik aslinya adalah orang Indonesia, tapi yang jelas bukan ayah. Ayah tidak merambah kafe sejauh ini, tapi mungkin suatu hari aku bisa mengembangkan salah satu kafe disini.

"Ini tugas yang paling menyenangkan," kataku pada Om David yang sudah duduk dengan mempesonanya di sampingku. Ayah masih duduk diantara beberapa makanan dimeja lain, masih dengan raut wajah berfikir tentang makanan apa yang paling enak. Dasar, koki. Kalau aku, apapun makanan yang terasa enak, langsung kupilih. Oke, oke jangan tiru pemilik kafe yang tidak berpengalaman ini.

Om David terkekeh. "Makanya Om mengajakmu untuk ini. Karena Om tau kau dan Aldo mengerti akan hal ini."

Ow ow, Om David salah perkiraan tentangku. Tapi aku hanya tersenyum dan menikmati lagi teh hijau herbalku sambil menyandarkan punggung ke kepala kursi yang terlihat mahal ini. Kulirik jendela, memeperhatikan toko bunga didepan restoran. Dan sesudah itu pandanganku tidak teralihkan.

Wanita itu berdiri disana dengan dress flower putih selutut. Menggulung rambutnya tinggi dan beberapa anak rambutnya jatuh di bahunya. Menciumi bunga-bunga yang berada disana. Cantik.

"Loh, mereka disana?" tanya Om David yang ternyata mengikuti arah pandangku. "Jadi Nabila memilih toko bunga itu?"

Aku mengalihkan pandanganku dari Nabila, gadis itu, ke daddynya, Om David. "Om, Billy kesana dulu ya bantu mencarikan bunga. Sebentar saja."

Om David mengangguk lalu aku berdiri. Keluar dari restoran setengah berlari ke toko bunga itu. Gadis itu tidak menyadari kehadiranku yang melewatinya tadi dan bahkan sudah berdiri dibelakangnya. Kini tangannya mengangkat bunga akasia dan anyelir putih. Terlihat sedang mempertimbangkan sesuatu.

"Pilih anyelir putih," kataku membuatnya berbalik dan terkejut.

***

Kegagalan kedua!

Ah moodku jadi rusak karena penolakan mentah darinya. Hei, kami sahabat dan sahabatku baru saja menolakku untuk kesekian kalinya!

"Becareful son, we are imigran here," ucap ayah memperingati. Aku langsung menurunkan kecepatan mobil yang kukendari.

"Apa yang terjadi pada anakku tadi?" tanya ayah pada Om David seakan aku tidak ada disekitar mereka. Om David yang duduk disebelahku, ayah dibelakang, mengangkat bahu.

"Tadi dia membantu Nabila memilih bunga sebentar saat kau masih memilih makanan. Dan saat kembali moodnya sudah rusak."

Sekilas kulihat dari kaca depan ayah tersenyum meremehkan. "I still remember our deal son!" Ayah menepuk pundakku berkali-kali. Ditengah tawanya. Hei, aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku hanya menganggap Nabila adik didepan daddynya kan? Itu akan membuat Om David tersinggung atas penolakan terang-teranganku terhadap perasaan anaknya, dulu.

"Kesepakatan apa?" tanya Om David pada ayah. Ayah sontak membesar matanya dan menggeleng. "Tidak ada," jawabnya gugup.

Aha, kena kau yah!

***

Pintu kamarku, Liam, Vicky dan Fajar terdengar diketuk. Fajar yang notabene adalah pria terkecil disini langsung bangkit dan membuka pintunya. Wajah Nabila muncul disana.

"Guys, lunch! Ayo semua turun kebawah!"

Seluruh pria yang kelaparan, kecuali aku, yang sudah dari pagi hunting makanan sampai perutku mau meledak rasanya, bangkit dan turun kebawah.

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang