XXII

6.4K 357 6
                                    

Ini nih yang buat nungguin dan nanya kenapa aku lama update. Aku lagi sibuk usaha dan organisasi jadi kelupaan bikin cerita.
Omong-omong BIL ini tinggal beberapa part lagi kok menuju ending. Dan aku lagi 'usaha' bikin ceritanya Vicky :D
Oke, silahkan baca !!

Bunyi tapak kaki kuda berhenti didepan sebuah sungai jernih. Beberapa bunga liar aneka warna tumbuh disekitar sungai membuatnya tampak indah. Dan aku mengakui keindahan yang Billy tunjukan ini. Memang mengingatkanku pada rumah gressvater, tapi bedanya, saat itu aku bersama Vicky, dan saat ini aku bersama Billy. Dan rasanya saat ini lebih menyenangkan dan nyaman.
"Kau suka?" Tanyanya mengusik ketenanganku berbicara dengan alam. Billy menumpukkan dagunya di bahuku dan tangannya di sekitar pinggangku.
"Suka."
Billy tersenyum. Di kecupnya pipiku sebentar dan kembali menatap sungai yang sama dengan arah tatapanku.
"Hei, mau turun? Lebih baik menikmati airnya daripada melihatnya saja," cetusnya lagi. Aku mengangguk tentu saja. Billy akhirnya turun lebih dulu dan kemudian menolongku untuk turun dari kuda. Dia masih mengenggam tanganku setelah kami melepaskan segala atribut berkuda dan menuju tepi sungai untuk duduk dan menikmati air sungai di kaki kami.
Kami bercerita sebentar tentang kuliah masing-masing yang dulu rasanya tidak pernah kami ketahui. Sekarang perlahan aku mulai memahami dirinya yang baru dan kuharap dia juga begitu. Hingga Billy memilih untuk mengistirahatkan kepalanya di pangkuanku dan tidur. Terkadang, hanya dengan bersamanya tanpa kata-kata aku tetap merasa bahagia.
***
Billy sudah berada diatas motornya sekarang. Menghidupkan mesin dan motor sudah meraung bersiap untuk berjalan. Sementara itu, tangannya dengan lihai memasangkan helm kekepalaku. Hingga akhirnya aku merasa aman dan naik kemotor itu.
"Kau lapar?" Tanyanya.
"Tentu saja," jawabku jujur tanpa basa-basi. Sudah beberapa jam kami disana dan aku belum makan, membuatku benar-benar tidak kuat lagi menahan cacing diperutku.
"Makan dimana?"
"Bagaimana kalau kafemu saja?"
"Masih jauh Bil," jawabnya.
"Biarkan saja. Tidak masalah."
Billy memilih diam. Aku tau tandanya dia mengiyakan apa yang aku katakan. Semakin ku perketat pelukanku di pinggangnya karena motornya semakin melaju kencang.
Aku meregangkan pelukan ketika kurasa motornya perlahan melambat. Memerhatikan sekitar, aku baru teringat dengan daerah yang kami lewati.Seluruh memoriku memaksaku untuk mengingat sesuatu beberapa tahun lalu. Berapa tahun? Sepuluh? Lima belas? Aku lupa. Yang jelas aku tau tempat ini karena keluarga kami pernah mampir kesini untuk pertemuan keluarga. Jika aku tidak salah, saat aku masih disekolah dasar.
"Hei, ingat tempat ini?" Kudengar suara Billy samar. Kubuka kaca helmku dan mendekatkan kepalaku padanya.
"Tentu. Sudah berapa tahun kita tidak kesini?" Tanyaku balik.
"Entahlah. Bukannya itu lebih dari sepuluh tahun lalu? Bahkan jauh sebelum kau memakai behel," ucapnya dengan nada geli diakhir kalimat.
"Hm, ucapkan terima kasih pada behel-behel yang sudah merapikan gigiku!" Kataku sambil menepuk pundaknya. Lalu kudengar dia tertawa pelan. "Aku masih ingat Tante Zera cerita tentang tempat ini merupakan tempat sejarah Bunda dan Ayahmu."
"Iya. Bahkan mereka dengan gilanya prewedding di tebing ini."
"Orang tua sendiri dibilang gila. Itu keren namanya!"
"Mereka memang dua pasangan gila." Aku tertawa mendengar penuturan anak pertama Om Revaldo ini. Lalu dia melanjutkan, "apa kita prewedding di sekolah saja biar terlihat keren?"
Prewedding dengan Billy? Ya Tuhan, apakah itu akan terjadi?
Aku memaksakan tawaku akhirnya sebelum dia menyadari keterdiamanku. "Kau ikutan gila ya?"
Billy ikut tertawa lalu akhirnya kami saling terdiam. Kembali dimakan pikiran masing-masing.
Sebenarnya apa sih yang ada dipikiran pria ini? Tiba-tiba dia jatuh cinta padaku, menjadikan hari-hariku jungkir balik, membuatku bingung dengan perasaanku sendiri dan akhir-akhir ini selalu membahas tentang pernikahan ketika seminggu lagi aku akan menyebar undangan.
Aku penasaran tentu saja. Hanya saja, aku tidak cukup punya keberanian menanyai hal itu. Aku takut jawabannya membuatku kecewa.
Atau mungkin, aku bisa mengetahuinya dari sebuah permainan?
"Bil," panggilku sambil kembali menempelkan daguku dibahu kirinya. Aku mendengar gumaman pelannya menyahutku. "Ingat permainan satu kata?"
"Yang kalau kau mengucapkan satu kata aku harus menjawabnya dengan cepat?"
"Benar! Ayo main itu!"
"Ya ampun, anak kecil!" Ucapnya sambil menepuk puncak helmku. Aku mendengus tapi tetap meneruskan usahaku.
"Motor?"
"Ayah," jawabnya cepat. Aku tersenyum. Dia tidak akan menolakku tentu saja.
"Mobil?"
"Silver."
"Bianca?"
"Ingusan."
"Butik."
"Tante Olivia."
"Loh, kan butiknya mommy udah milik aku Bil," dengusku.
"Lah, aku menjawab sesuai dengan yang aku pikirkan soul."
Aku mendesah. Ya sudahlah.
"Apa lagi ya? Hm. Mantan?"
"Emily."
What!! Emily? Siapa itu Emily?
"Bil, siapa itu?" Tanyaku refleks melepaskan pelukanku darinya.
"Like I said, ex."
"Kau tidak pernah cerita tentang mantanmu padaku!" Tanyaku lebih seperti tuduhan padanya dengan nada yang naik beberapa oktaf. Sial!
"Dia mantan pacarku di Syndey. Kami sudah lama putus. Dan kurasa dia bukan apa-apa lagi sekarang."
"Oh ya? Terus kenapa namanya yang kau sebut jika bukan apa-apamu?" Sialan! Kenapa pembahasanku menjadi cemburu seperti ini?
"Bil, kita tadi sedang main satu kata. Dan aku menjawabnya!"
"Baiklah sekarang kita main jujuran! Siapa Emily?"
"Ya Tuhan! Dia hanya masa laluku. Dan kenapa kita jadi main jujuran?"
"Ha! Kau takut? Menyembunyikan sesuatu ya?" Fix. Aku geram!
"Tidak. Baiklah. Apa yang ingin kau ingin tau? Identitas Emily? Dia hanya gadis Sydney, bertemu denganku, satu jurusan, dan kami pacaran delapan bulan. Just it."
Aku mendengus tanpa sadar. "Gadis? Bukan wanita?"
"Aku tidak tahu. Setidaknya aku.belum pernah menidurinya."
Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa lega. "Jadi sejauh apa pacaran kalian?"
"Hanya ciuman. Belum lebih."
"Gotcha! Belum lebih artinya jika kalian masih pacaran kalian pasti akan.."
"Jangan pikiran asal-asalan ya Bil!"
Tanpa sadar aku memutar bola.mata dan mendengus (lagi) serta melipat tangan di depan dadaku.
"Bagaimana denganmu Bil?" Tanya Billy. Aku sedikit mendekat untuk mendengar pertanyaannya itu karena rasanya suaranya menurun. "Bagaimana apa?"
"Kau dan Vicky. Apa kalian sudah pernah.."
Billy tidak melanjutkan omongannya. Aku tau dia tidak berani mengucapkan itu. Apa dia takut aku sudah melakukan itu dengan Vicky?
"Sudah."
"Damn it!" Geramnya sambil memukul stang dengan tangan kirinya.
"Er, maksudku aku sepertimu. Kami memang sudah pernah ciuman, tapi untuk memberikan kehormatanku, aku belum bisa."
Jujur, kali ini aku ingin melihat wajahnya. Senangkah? Atau datar? Aku tidak tau. Yang jelas aku merasakan ketenangan kembali melingkupinya.
"Bagaimana jika aku tetap menikah dengannya Bil?"
"Aku akan membawamu lari. Kemana pun itu," jawabnya tanpa berfikir panjang.
Aku tersenyum sebentar sebelum bertanya lagi. "Apa kita bisa menikah?"
"Tentu. Kau dan aku bukan adik kakak. Kita tentu bisa menikah."
Sesuatu dalam diriku bergetar. Antara takut dan lega. Tapi, disisi lain ketakutan itu lebih besar adanya daripada kelegaan yang kurasakan.
"Bil," panggilnya. Aku mendekat lagi. "Apa kau mencintaiku?" Tanyanya.
Pertanyaan bodoh macam apa itu?
"Apa kau mencintaiku?" Tanyaku membalikkan kata-katanya.
"Mana tanganmu? Sini," katanya tanpa menjawab pertanyaanku. Tangan kirinya terangkat meminta tanganku. Kuarahkan tangan kiriku yang berada disisi tubuhku untuk digenggamnya. Setelah jemarinya menaut jemariku, dia membawa tanganku ke dadanya. Tepat di sekitar jantungnya yang berdetak cepat dan teratur.
"Sejak kapan?" Tanyaku.
"Entahlah. Sejak kau tumbuh menjadi gadis cantik mungkin?"
"Kenapa kau selalu memakai kata mungkin, Bil?"
"Karena aku memang tidak pernah tau kapan perasaan itu muncul. Yang jelas, aku percaya bahwa aku mencintaimu sekarang."
Ya Tuhan. Aku mau menangis saja. Apa dia jujur? Apa dia benar mencintaiku atau hanya karena dia merasakan akan kehilanganku saja? Ya Tuhan. Aku takut.
***
Perut kami benar-benar kekenyangan sekarang. Tawa benar-benar mengiringi kepulangan kami dari kafe kerumahku.
"Terima kasih banyak buat hari ini, Billy," ucapku sambil membuka helm dan memberikan padanya. Dia hanya bersandar di motornya sambil memerhatikanku yang sekarang menatapnya dengan mata bulat konyolku.
"Kenapa menatapku seperti itu sih?" Tanyaku sambil tertawa kecil, dengan pelan memukul lengannya dengan helm di tanganku. Dia mengaduh dan mengambil helm itu dariku.
"Seharusnya aku yang berterima kasih buat hari ini," katanya sambil merapikan poniku yang berantakan.
"Ssh, nanti kelihatan sama Mommy atau Daddy. Atau bahkan Liam! Oh tidak! Adrea juga bocor!"
Billy tertawa melihat tingkah konyolku barusan. "Sepertinya kita memang harus menyelesaikan itu."
Aku mencebik. Menatapnya meremehkan. "Sok jagoan ya? Ku tunggu loh lamarannya!" Ucapku sambil tertawa. Dia mencebik.
"Sudah ah. Aku masuk dulu ya! Jangan lupa besok pagi mobilku antar kesini!" ucapku sambil berjalan mundur lalu berbalik meninggalkannya. Baru saja beberapa langkah, Billy memanggilku lagi.
"Apa?" Tanyaku menoleh padanya.
"Kau tidak ingin bertanya apa yang biasanya ku lakukan saat kau sedaag tidur di pangkuanku atau didekatku?" Tanyanya berjalan mendekatiku.
Aku menyatukan kedua alisku penasaran. "Memangnya apa sih? Baca buku kan?"
Billy mendengus. "Salah satunya. Tapi ada hal lain yang biasa aku lakukan dan entah kenapa terus ku ulangi."
Aku membelalakan mata. Refleks menutup tubuhku dengan tangan. "Jangan bilang kau sudah menyentuhku!"
"Ngaco ah!" Jawabnya sambil tersenyum simpul.
"Terus?"
"Tanyakan dulu padaku," katanya memaksaku. Kini aku harus mendongak karena dia sudah berada didepanku.
Aku menghembuskan nafas sebal sebelum bertanya. "Billy, apa yang kau lalukan padaku saat aku tidur dipangkuan atau disekitarmu? Oh ya Tuhan kuharap kau tidak menjahili dan membuatku malu!"
Billy tersenyum lewat matanya. "Ngaco lagi. Bukan itu, tapi ini.."
Billy menarik daguku dan mengecup bibirku pelan. Sangat pelan tanpa lumatan apapun. Aku tidak sempat menutup mataku karena aku baru sadar sesuatu! Billy selalu menciumku saat aku tidur didekatnya??

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang