Part +

13.8K 448 14
                                    

Nabila sudah siap dengan tshirt merah muda dan celana jins navinya. Tidak lupa dia memakai sepatu flat warna hitam. Simple but perfect, seperti Billy selalu mengungkapkannya.
Nabila segera mengambil tasnya dan menyampirkannya dibahunya. Disebelah tas itu ada sebuah kardus dan dia mengangkat kardus besar tapi tidak terlalu berat baginya itu.
Nabila segera keluar kamar saat dirinya merasa benar-benar sudah siap. Dia menuju ruang tamu dimana prianya sudah menunggu dari setengah jam yang lalu.
"Nah itu Bilanya, Bil," ucap wanita yang sudah menginjak kepala lima tapi masih cantik juga.
"Iya nih My, lama banget," ucap pria yang kini sudah belajar memanggil mommy pada calon mertuanya itu. Pria itu berdiri dan menatap gadisnya sambil tersenyum.
Nabila malah memberengut. "Kelamaan kalau mau ejek-ejekin aku. Ayo jalan," ucapnya.
"Eh itu apaan sayang? Sini aku bawa." Dengan sigap Billy memgambil kardus itu dari tangan Nabila.
"Ringan kok Bil. Tapi yaudah yuk bawa ke mobil," ucapnya. Dengan cepat dia mencium tangan mommynya dan beranjak duluan keluar rumah. Billy mengekorinya dengan kardus ditangannya itu.
Saat Billy akan meletakan kardus itu di bagasi, Nabila segera melarangnya. "Di jok belakang aja." Billy dengan patuh mengangkat kardus itu kembali dan meletakan di tempat Nabila minta.
"Ready to meet our home?" tanya Billy ketika mobil sudah siap melesat dijalanan. Nabila tersenyum lalu mengangguk.
***
Rumah itu berpekarangan luas, berlantai dua, bercat abu-abu putih dengan tema modern. Mobil Billy berhenti tepat dibelakang sebuah mobil lagi. Mereka turun setelah mesin mobil dimatikan.
"Ayo sayang, Kak Hani pasti sudah didalam." Billy menggapai tangan Nabila dan membawanya bersama masuk ke dalam rumah yang memang pintunya terbuka itu. Ternyata benar, ketika mereka baru muncul didepan pintu, seorang wanita dengan setelan kerja kantoran sudah duduk disana, berdua dengan seorang pria berjas.
Melihat kedatangan keduanya, wanita itu langsung berdiri.
"Eh kalian datang, ayo masuk. Kenalin dulu, ini Pak Bowo," ucapnya lugas. Billy dan Nabila segera menjabat tangan bapak itu sambil menyebutkan nama masing-masing. Lalu mereka duduk di sofa yang bersebelahan.
"Jadi bagaimana Bil? Sudah oke sama rumah ini?" tanya Hana. Billy menoleh pada Nabila yang hanya menatapnya.
"Tentu kak. Aku suka sekali rumah ini."
"Baiklah, ini adalah pengacara yang akan mengurus perpindah tangannya rumah dan tanah ini atas nama Billy."
"Iya kak. Jadi bisa saya lihat berkasnya."
***
Setelah melihat-lihat rumah itu kesekian kalinya, memutari seluruh ruangan dan mengecek rumah itu benar-benar tepat untuk mereka, Nabila dan Billy beranjak pulang. Mereka paling akhir keluar karena setelah pengurusan surat tanah dan akte rumah itu, Bowo dan Hana duluan pulang. Billy yang menguci pintu segera berteriak kesenangan setelahnya.
"Kenapa teriak-teriak Bil?" ucap Nabila sambil menutup telinganya lalu beranjak dari hadapan Billy. Billy hanya tertawa lalu mengekor Nabila yang sudah duluan menuju mobilnya.
"Ini rumah kita sekarang sayang!" jawabnya setelah menyajari langkahnya dengan Nabila. Nabila memutar bola matanya jengah dan memilih segera mendaratkan pantatnya di kursi penumpang depan.
Billy menyusulnya. Pria itu berbalik menghadapnya setelah menutup pintu mobil pengemudi.
"This is yours," ucapnya sambil mengangkat kunci itu di udara. Berayun-ayun di ujung jarinya karena Nabila tidak segera mengambilnya.
"Jangan bercanda. Pegang saja kuncinya." Nabila memutus kontak matanya dari kunci yang perlahan berhenti itu. Matanya kini menatap lurus kedepan. Mengabaikan Billy yang kini menghela nafas.
"Aku serius Nabila sayang. Ini punyamu. Semuanya punyaku, punyamu juga sekarang."
"Belum. Aku belum jadi istrimu, Bil."
"But you will."
Nabila terdiam. Dia memilih untuk tidak menjawab pernyataan pria itu.
Melihat keterdiaman Nabila, Billy meraih tangan kanannya dan meletakan kunci itu ditelapak tangannya. Nabila menoleh, tapi masih menahan ekspresi terkejutnya sehingga wajahnya tampak datar.
"Nanti aku duplikatkan," jawabnya enteng.
"Aku tidak menyuruhmu untuk menduplikatkannya sayang. Kau kenapa? Perasaan ini belum masuk tanggal PMSmu. Bukannya sudah lewat seminggu lalu?"
Nabila mengkerutkan keningnya mendengar penjabaran Billy. "Gosh Billy! Jalan!"
Billy terkekeh mendapati gadisnya sekarang malah melipat tangan didadanya. Walaupun Nabila terkesan menolak kunci itu, tapi dia tidak mengembalikannya sama sekali. Kunci itu masih digenggam ditelapak tangannya hingga mungkin jika tangannya dibuka akan menimbulkan bekas kunci itu.
Baru saja keluar dari perumahan baru mereka, mereka langsung terjebak macet. Bunyi klakson bersahutan meminta agar mereka diberi jalan untuk lewat.
"Sialan sekali! Aku tidak memperkirakan disini akan macet!"
Nabila melirik Billy dari balik bulu matanya. Billy tampak kesal dan memukul setirnya beberapa kali. Nabila mendesah, lalu membuka telapak tangannya yang sekarang basah karena menggenggam kunci itu terlalu erat. Dan menatap kunci perak itu hening. Rasanya semuanya tidak ada. Rasanya semua keributan itu tidak ada. Rasanya semuanya tidak benar. Rasanya semuanya ini salah. Memang ini yang diinginkannya dari dulu, tapi kenapa dia tidak merasa seantusias dulu?
"Akhirnya!" desah Billy lega setelah berhasil mengeluarkan mobilnya dari kemacetan. Nabila tersentak kembali ke kenyataan. Menyadari bahwa dia bermenung diri sedari tadi.
"Apa yang kau pikirkan sayang? Kau kenapa dari tadi?"
Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Billy. Dia menoleh cemas pada gadisnya itu. Nabila tampak tidak sesemangat tiga jam yang lalu.
Nabila menarik nafas dan membuangnya perlahan. Dia harus berani mengungkapkan semuanya kali ini.
"Kalau aku cerita, kau janji tidak akan membantah?"
Billy memiringkan kepalanya kesatu sisi. "Kalau kita sambil makan bagaimana?"
"No. Please Bil, aku akan bicara sekarang atau tidak sama sekali."
Billy terdiam. Dia bertengkar dengan pikirannya dulu. Gaya-gaya seperti ini adalah cara perempuan memutuskan pasangannya. Apa Nabila juga seperti itu? Oh, tidak! Pernikahan tinggal seminggu lagi!
"Oke, lanjutkan!" ucap Billy dengan nada tenang. Walaupun di mulut demikian, hatinya tidak.
Nabila menarik nafasnya. Lalu menghembuskannya perlahan. Dilakukannya sampai tiga kali. Matanya memandang jalan lurus kedepan, tidak menoleh pada Billy satu kalipun walaupun Billy sudah meliriknya menunggunya bicara.
"Kita akan menikah satu minggu lagi. Mulai besok, kita udah dipingit."
Billy mengangguk menanggapi.
"Seminggu itu, kau harus janji tidak berusaha menemuiku ataupun menghubungiku."
Billy mengerjap, "hei, tidak ada aturan dalam pingitan untuk saling menghubungi!"
Nabila melirik Billy sebentar. "Dengarkan aku. Tolong."
"Baiklah, lanjutkan."
"Menurutku itu waktu yang sedikit untuk kita yang akhirnya akan hidup bersama selamanya."
Billy mengangguk-angguk menyetujui.
"Sebelum kita benar-benar ambil jarak itu, aku akan throw back semua yang aku rasakan selama ini. Apapun yang aku katakan, tolong dengarkan."
Nabila melirik Billy sebentar. Billy hanya diam tanpa menoleh padanya. Akhirnya mereka sama-sama menghadap jalan kembali.
"Aku pertama kali mengenalmu memang dari keluarga kita. Aku sangat berterima kasih pada orang tua kita yang setiap tahunnya mengadakan pertemuan-pertemuan itu.
Dan seiring berjalan waktu, aku tau kalau si kecil Nabila ini suka sama bocah dingin bernama Billy. Dia selalu mengikuti Billy kemanapun Billy pergi dan Billy tidak pernah menolaknya. Billy selalu terbuka dan menerimanya. Aku berterima kasih, kau tidak menolakku waktu itu.
Kau pasti tahu bahwa aku memaksa mommy dan daddy untuk memasukanku sekolah lebih cepat dari umurku seharusnya. Ya, aku memang membuat mommy dan daddy malu. Tapi kau pasti tau alasanku melakukannya. Jika kau berfikir karena dirimu, kau benar.
Dari kecil, aku selalu ingin didekatmu. Setidaknya menjadi adik kelasmu saja aku sudah senang. Setiap hari kesekolah, hanya supaya bertemu denganmu. Kau, penyemangatku walaupun kau tidak tahu itu.
Sekolah menengah pertama, saat pertama kali aku tau kalau pujaan hatiku tertambat pada gadis lain yang lucunya adalah kakak sepupunya sendiri. Saat itu aku masih kecil dan berfikir bahwa kau mungkin akan bisa bersamanya. Aku sedih, nangis malam-malam minta mommy menjauhkanmu dari Kak Jani, hal yang paling memalukan yang pernah aku lakukan kalau aku mengingatnya.
Semakin hari aku semakin yakin kalau kita memang tidak untuk bersama. Sekuat apa aku selalu mencintaimu, kau bahkan lebih kuat dari aku sendiri. Lebih kuat untuk tidak membuka hatimu. Kadang aku berfikir, apa aku memang tidak pantas untukmu. Kadang aku berfikir, apa aku sekolah di Jerman saja, jauh-jauh darimu agar aku melupakanmu."
Nabila tersedak. Tersedak oleh air mata yang mendesak keluar. Nabila terdiam sebentar untuk mengontrol suaranya agar tidak terdengar serak. Tapi dia gagal saat melanjutkan ceritanya.
"Aku belajar jadi gadis yang sporty. Belajar main volly sama daddy supaya bisa masuk club volly yang terkenal di sekolah. Itu semata hanya untuk menyeimbangimu yang selalu menawan di basket. Pria dingin yang selalu diteriaki gadis-gadis maniak yang menontonmu.
Ah gadis-gadis itu..
Aku masih ingat, bagaimana mereka bertanya apakah aku memang pacarmu atau tidak. Saat-saat itu aku hanya tertawa hambar dan mengatakan tidak. Kau tau, rasanya itu.."
Nabila menutup mulutnya. Satu isakan hampir lolos dari mulutnya. Dia menyadari cerita ini akan membawanya menangis seperti ini.
"Jangan lanjutkan," ucap Billy datar.
Nabila menggeleng. Tidak. Dia harus!
"Aku memang bodoh. Bahkan aku memperbudak diriku dibawah cinta yang bahkan tidak sengaja berada padamu. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Tidak kau, tidak cintaku. Karena aku tau, cinta itu dari Tuhan. Aku hanya bisa berusaha untuk menanamnya dihatimu, tapi selalu gagal."
"Oh ya, kau ingat saat kita bertengkar di sekolah karena kau kuliah di Sidney?" Nabila tersenyum ditengah tangisnya mengingat saat itu. "Aku menakutkan hal yang paling bodoh yang pernah aku lakukan. Kau berpaling dariku padahal selama itu, kau tidak pernah menatapku."
Tangis itu pecah. Nabila membungkukkan tubuhnya menahan tangisnya yang tiba-tiba itu. Billy melihat itu segera menepikan mobilnya.
"Jangan! Jalan!" perintah Nabila ditengah tangisnya yang terisak.
"Sudah sayang. Itu masa lalu. Jangan di ungkit. Aku merasa menyesal."
Nabila menoleh. Menatap Billy yang tampak tidak jelas karena matanya yang kini berembun. "Kau tidak perlu menyesal. Dan aku akan terus melanjutkan ini. Jadi ku mohon jalankan mobilnya."
Billy mengetatkan rahangnya dua kali sebelum kembali mengegas mobilnya. Matanya kembali menatap jalan.
Nabila menarik nafas dan menenangkan dirinya berulang kali sebelum melanjutkan.
"Setiap hari, sebisa yang aku lakukan, aku selalu mengabarimu melalui email. Berharap setiap hari pesan itu akan dibalas. Tapi, tidak. Beberapa memang kau respon. Lainnya tidak.
Semakin lama, satu tahun lewat, kita semakin jauh. Aku hanya bisa melepaskan rinduku padamu dari Bunda, Bianca. Bahkan terkadang aku meminta Bunda menelfonmu didepanku hanya agar mendengar suaramu. Karena aku tahu, telefon dariku tidak pernah kau angkat."
Nabila mengerjapkan matanya meloloskan setetes air mata ke pipinya.
"Aku benci saat-saat aku selalu berusaha mencarimu Bil. Kau harus tau itu."
Nabila melirik sedikit menimbang emosi Billy. Tapi rautnya masih datar.
"Hingga aku masuk kuliah, aku satu kampus dengan Vicky. Kau tau, dia berusaha menggantikanmu. Selalu berusaha berada didekatku terus. Mungkin saat itu aku baru merasakan menjadi dirimu, mengabaikannya yang ternyata benar-benar mencintaiku. Dia memintaku menjadi pacarnya, dan ku pikir, kenapa tidak? Toh kami hanya sekedar berpacaran dan tidak terpikir kalau dia akan melamarku.
Ini yang paling lucu. Saat di kampus dia berkata akan melamarku ke orang tuaku, aku langsung teringat padamu. Aku segera lari ke kamar sepulang kuliah, berusaha menghubungimu dari email. Mengetikkan beberapa kalimat bodoh yang mungkin tidak akan kau gubris. Kau tau apa kalimatnya? Salah satu kalimat terbodoh itu adalah aku memintamu untuk melamarku. Dan berpikir itu adalah kalimat terbodoh, aku akhirnya menghapus dan mengubah kata-katanya. Aku menulis, aku masih ingat kata-katanya, 'Billy, Vicky melamarku. Aku harus bagaimana?'. Dan seketika sebelum aku menekan tombol kirim, aku tersadar kalau palingan kau akan menjawab. 'Baguslah, semoga kalian berbahagia'. Dan hal itu yang paling aku takutkan. Aku takut, kau membiarkanku dengan pria lain."
"Cerita lucu apanya," ucap Billy dingin. Nabila menoleh. Tawa yang dibuat-buatnya tadi hilang seketika.
"Kau benar, ini tidak lucu ternyata."
Billy menutup matanya sebentar lalu membukanya lagi. "Lanjutkan."
"Akhirnya, kalimat yang bisa aku ketikan hanya itu. Mengabarkanmu bahwa aku dilamar. Tapi tetap saja, kau tidak mengubrisnya kan?"
"Maaf kan aku.."
"Jangan. Ini belum selesai."
"Baiklah." Billy menghembuskan nafasnya yang terasa semakin berat.
"Aku bertunangan dengannya. Aku mulai belajar untuk mencintai pria baik hati itu. Perlahan, aku mengubah diriku menjadi sepertimu. Dingin dan datar. Banyak mereka mengatakan aku terlihat semakin cantik, nyatanya hatiku tidak. Aku saat itu membatu dan aku tau itu semua karena aku tidak bisa mencintai pria lain. Bahkan bodohnya, aku memikirkan kau saat aku menciumnya."
Brak.
Nabila terkejut menoleh ke Billy yang memukul dashboardnya. Billy marah. Mukanya memerah dan rahangnya benar-benar sudah mengeras.
"Pulang," ucap Nabila akhirnya setelah berusaha mengabaikan Billy yang kini semakin tegang ditempatnya.
***
Mobil Billy berhenti didepan rumah Nabila. Mereka masih saling diam setelah beberapa detik mesin mobil dimatikan.
"Billy, aku ada sesuatu untukmu."
Billy menoleh. Wajahnya yang sudah berangsur membaik menatap Nabila yang kini sudah bersih dari air matanya. Tapi matanya masih bengkak.
Nabila meraih kardus di jok belakang. Membawa kardus itu kepangkuannya. "Ini semua, aku kembalikan padamu." Diserahkannya kardus itu pada Billy. Billy dengan ragu menerimanya. Perlahan membukanya.
Banyak pernak pernik wanita didalamnya. Mahkota perak, pena emas, bando pink, bola volly, beberapa pernak pernik lain termasuk kalung berbandul B besar. Mata Billy melebar. Barang-barang ini menyentuh egonya.
"Apa-apaan ini Nabila?"
Nabila menarik ujung bibirnya melengkung keatas. "Semua barang ini adalah kado-kado yang kau berikan untukku saat aku berulang tahun kan? Kau ingat semuanya?"
Billy berkerut. Matanya masih memandang Nabila tajam.
"Kau pasti tidak ingat kan? Tentu. Karena barang-barang itu bukan pemberianmu, tapi permintaanku. Dan kurasa, sudah sepantasnya kembali karena kau tidak pernah menginginkan mereka menjadi milikku."
"Tapi aku ikhlas Nabila, aku ikhlas memberikannya." Suara Billy berubah lembut.
"Tidak. Aku selalu berusaha menanamkan satu pikiran itu setiap kado itu kuminta. Tapi kenyataannya didasar hatiku, menolak. Sekali seumur hidupku, aku hanya ingin kau memberikanku kado darimu, tapi, itu tidak pernah kan? Satu kadomu, langsung darimu, pernah? Apa aku harus mengingatkanmu dulu kalau aku berulang tahun hari itu dan menarikmu ke mall untuk membeli kadoku?"
Air mata sialan itu meluncur lagi. Billy hanya bisa mengangkat tangannya dan mengelap air mata itu dengan lembut.
"Maaf aku tidak pernah memahamimu dulu Nabila."
Nabila menepis tangan Billy. Matanya menatap penuh keraguan. "Bahkan, sampai sekarang kau tidak juga memahamiku."
Billy terkejut. Satu kalimat itu berhasil memporak porandakan hatinya. Kini tidak hanya Nabila, matanya juga mulai memanas.
"Segalanya tentang kau Billy. Aku, pernikahan kita, bagaimana pestanya, bahkan rumah itu, semuanya tentang kau kan? Semuanya adalah seleramu. Kau selalu berkata 'ini bagus, bagaimana menurutmu?' Bodohnya, hanya demi melihatmu senang, aku bisa mematikan egoku dan ikut serta menyukai apa yang kau suka."
Mereka saling menatap. Nabila dengan keteguhannya dan Billy dengan ketakutannya.
"Jujur, aku ragu untuk bisa menikah denganmu."
Dan kalimat itu berhasil mematahkan kekuatan Billy. Satu tetes air matanya mengalir mulus ditengah wajah terkejutnya.
"Tidak! Nabila aku mohon jangan akhiri!" Billy menggapai tangan gadis didepannya. Memohon agar kalimat itu tidak terucap lagi. Kalau saja dia bisa berlutut bahkan bersujud, dia akan melakukannya sekarang.
Nabila menggeleng. "Tidak. Aku tidak akan bisa mengakhirinya. Kita tetap akan menikah. Tapi aku tidak tau, sekuat apa aku akan menjadi istrimu nanti. Apakah jantung ini masih akan berdebar sama setiap harinya saat aku melihatmu. Atau semuanya akan terasa hambar karena aku sudah mengungkapkan semuanya."
Billy mengerjap. Disingkirkannya kardus itu pelan-pelan kebelakang lalu menarik gadisnya kepelukannya. "Jika kau lupa bagaimana mencintaiku, maka aku akan mengingatkan setiap hari bagaimana bodohnya aku dulu menolakmu."
Nabila tersenyum. Dipejamkannya matanya menikmati pelukan calon suaminya yang kini mencium puncak kepalanya bertubi-tubi.
"Tapi, aku serius masalah pingitan dan barang-barang itu Bil."
"Kita lihat nanti saja."
***
Bunyi-bunyi ribut mengusik tidur sang wanita. Dia menggeliat sebelum akhirnya membuka mata. Diliriknya jam dinding yang menunjukkan angka tiga. Dimatikannya alat pembuat keributan tadi yang tersambung ke kamar bayinya. Bayinya mengeak minta digedong Mamahnya.
Nabila bangkit dari ranjangnya menuju kamar disebelah kanan. Baru saja tangannya berada di gagang pintu, seorang bocah kecil meneriakinya. "Mah, adek bayi ribut sekali!" ucapnya sambil mengucek matanya. Rambutnya yang berantakan tambah membuatnya tampak imut mengingatkan Nabila pada pria versi besarnya.
"Ayo masuk bareng mamah liat adek bayi," ucap Nabila mengulurkan tangannya yang segera ditanggapi cepat oleh bocah itu.
Nabila tersenyum saat tangannya digenggam erat oleh anak pertamanya itu. Lalu bersama mereka masuk kedalam kamar bernuansa hijau. Tidak seperti kamar anak bayi perempuan umumnya yang berwarna pink, ini adalah pilihan Nabila sendiri tanpa campur tangan suaminya. Sengaja menerapkan warna hijau sebagai gambaran alam dikamar anak keduanya dan menerapkan warna biru yang menggambarkan langit di kamar anak pertamanya.
Dikamar ini, yang didekor seperti taman, ada sebuah pohon buatan yang daun-daunnya merupakan toples-toples kecil yang bergelantungan disetiap cabangnya. Isinya ada berbagai macam pernak-pernik perempuan, termasuk salah satunya kalung bandul B besar itu. Mereka menyebutnya pohon memori.
Tangis sang bayi langsung hilang saat Nabila menggendong bayi perempuan berumur 3 bulan itu. Bayi itu langsung bergerak pelan mencari kenyamanan di gendongan sang Mamah.
"Abi!" teriak suara berat khas yang familiar dirumah ini. Bocah disebelahnya langsung melompat dan meneriakan kepulangan Papahnya.
"Mah, Papah pulang! Ayo ayo!" ucapnya sambil menarik-narik ujung baju kaos kebesaran mamahnya.
Nabila mengikuti anak laki-lakinya itu yang berlari menuruni tangga. Di ujung tangga ada seorang pria berkemeja abu-abu polos dengan celana jins hitam. Di kanan kiri kakinya terdapat dua koper besar. Melihatnya yang tersenyum saja berhasil membuat jantung Nabila langsung berlompatan, padahal ini sudah tahun ke empat pernikahan mereka.
"Abimayu nakal ditinggal Papah seminggu keluar kota?" tanya pria itu sambil menggendong anaknya dengan satu tangan.
"Tidak! Abi selalu jaga mamah!"
"Hmm, bohong anak papah tuh. Kerjaannya gangguin Abigail terus," celetuk Nabila tepat ketika kakinya menginjak tangga terakhir.
"Dilarang ganggu Abigail, Abimayu!"
"Yah, adek bayinya tidur terus sih pah. Abi gemes," jawab Abimayu dengan wajah tidak kalah menggemaskan.
Nabila tertawa sambil menggelengkan kepalanya melihat ayah dan anak itu.
"Hei sini, peluk aku juga dong," ucap pria itu sambil membentangkan tangan kanannya yang bebas.
Nabila mendekat. Dirinya masuk kedalam pelukan kecil mereka itu.
"Happy birthday sayang," ucap pria itu membuat Nabila tertawa.
"Aku ulang tahunnya kemarin sayang. Kenapa diulang sih, kan udah ditelefon kemarin."
"Yah, ini yang live nya dong. Omong-omong maafkan aku yang tidak ada disaat kau ulang tahun kemarin ya."
"Iya sayang."
Pria itu tersenyum lalu mengecup bibir istrinya singkat. "Nah, nanti malam kita dinner berdua buat merayakannya."
Nabila mengambil jarak keluar dari pelukan suaminya. "Duo Abi tidak dibawa?"
"Tidak. Kita titipkan ke Briana saja. Dia pasti suka-suka aja asal dapat I-phone baru."
"Yah, semua aturanmu Bil. Terserahlah," ucap Nabila dengan bibir manyun beberapa senti.
Billy terkekeh. Direntangkannya lagi sebelah tangannya untuk memeluk istrinya kembali. Tanpa perlu di ingatkan sekali lagi, Nabila sudah masuk kedalam pelukan Billy.

Really2End!

Puhlease buat yang nanyain akhir kisah cinta BIL, ini dia. Mereka nikah dan punya dua anak. Abi dan Abi
Seeya in next story!

BilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang