Keputusan terberat adalah saat tidak ada satupun pilihan yang memihakmu.
Semenjak kejadian malam itu Derry belum pernah pulang lagi ke rumah, membiarkan Wulan dan Arfin memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri. Namun rupanya adik kakak tersebut bahkan lebih memilih hidup tanpa Derry daripada harus menanggung beban di hati dan pikiran karena tingkah Derry yang selalu semena-mena kepada mereka.
Di meja makan, Arfin dan Wulan sedang asik berbincang sambil menikmati hidangan makan malam, sayur soup kesukaan Wulan.
"Kak, kemaren malem bapak kenapa marah-marahin Kak Ara" tanya Wulan.
Arfin yang hendak memasukkan makanan ke dalam mulut tiba-tiba terhenti mendengar pertanyaan yang dilontarkan adik bungsunya itu " Udah Lan, jangan dulu bahas itu kita kan lagi makan nanti aja yaa. Tuh lihat soup nya keburu dingin" jawab tenang Arfin.
Wulan hanya mengangguk dan melanjutkan makan malamnya itu. Terdengar keras suara seseorang mengetuk pintu. Hal itu membuat Arfin segera menghampiri sumber suara dan membukakan pintu.
"Amora mana?" tanya Derry sambil masuk ke dalam rumah masih memakai sepatu dan duduk di sofa ruang tengah.
Arfin mengabaikan pertanyaan Derry lalu kembali ke meja makan."Orang tua ngomong tuh dijawab! Gak adik gak kakak sama aja BODOH nya!" teriak Derry.
Arfin memegangi piring didepannya dengan kuat dan tersenyum sinis " Hah? Orang tua? Lawak banget" desis Arfin.
Derry yang sedari tadi terus menatap tajam Arfin membuat Wulan merasa ketakutan, lantas bergegas bersembunyi di samping Arfin sambil memegangi tangan kakak laki-laki nya itu " Kakk..takut" gumamnya.
Tanpa diduga, Derry menghampiri meja makan lalu memegang taplak meja sebelum akhirnya mengangkat dan melemparkannya ke lantai hingga makanan di meja itu tumpah dan berserakan. Teriak histeris Wulan terdengar bersamaan dengan pecahan piring. Arfin bangkit dari duduknya seraya melindungi Wulan yang bersembunyi di balik punggungnya.
"Apa? HAH? Masih mau ngelawan?" teriak Derry tepat di depan wajah Arfin.
"Lo gak mikir apa? Siapa yang udah urus kalian dari kecil? Siapa yang biayain kebutuhan kalian? Berkat siapa kalian hidup sampai saat ini? Giliran gue minta si Amora buat ngelakuin gitu aja, SUSAH BANGET. Padahal kalo dibandingin gak bakalan seimbang sama apa yang udah gue kasih ke lo sama adik lo. SHITT.." sambung Derry."Lo pikir gue sama adik gue bisa milih buat dilahirin atau nggak ke dunia?. Bahkan lo Gak pantes sebut diri lo sebagai orang tua. Gue mau tahu, orang tua mana yang tega ngorbanin anaknya demi taruhan judi? Orang tua mana yang berani pukul anaknya? Anak perempuan? Yang harusnya lo lindungi. Orang tua mana yang biarin anaknya terus dirundung rasa takut? MANA? Lo sama sekali bukan orang tua gue, bukan ayah Wulan, bukan ayah Amora. Anggap aja kita udah gak ada. PUAS LO?" balas teriak Arfin yang sudah tidak tahan dengan ocehan Derry.
Tangan Derry hendak kembali mendarat di pipi Arfin "Kurang Ajaarrrr!!!!!" namun terhalang Wulan yang tiba-tiba muncul didepan Arfin.
"Bapak jangaannnn..." cegah Wulan dengan deraian air mata yang sedari tadi sudah membasahi pipinya. "Jangan pukul terus kak Arfin" lanjutnya.
"Wulan sayang sama Kak Arfin, Wulan sayang juga sama bapak. Tapi kenapa bapak jadi gak sayang kita lagi" ucapan yang keluar dari mulut Wulan begitu menyayat hati Arfin. Ditinggal oleh ibu di usia masih dini, tentunya Wulan masih sangat membutuhkan sosok yang bisa menjadi sandaran hidupnya, tapi semua di rusak oleh sikap egois Derry.
Tak tersentuh sedikit pun, entah terbuat dari apa hati Derry itu sampai tega bersikap demikian kerasnya.
"Dengar Wulan, ini bapak kamu. Ini rumah bapak. Sekarang kamu mau tetep disini sama bapak atau mau pergi sama dia?" ujar Derry.
Arfin menggenggam erat tangan Wulan "Oh lo ngusir kita gitu? Oke, Wulan adik gue, dia ikut gue karena lo bukan siapa-siapa Wulan" jawab Arfin.
"Wulan?" suara Derry semakin tegas.
Suasana hening dan dingin malam itu seolah menusuk dada Wulan. Memilih keputusan yang tidak ada pilihan didalamnya. Disisi lain Derry adalah ayahnya tapi dia sendiri merasa tidak aman. Lantas matanya yang basah ditutup dengan rapat, Wulan menarik nafas panjang, suara gemetar keluar dari mujut Wulan ketika memutuskan pilihan yang diberikan Derry itu " Kak Arfin, Wulan mau sama kak Arfin".
Derry menatap garang Wulan "Silahkan! Pergi. Pergi" teriak Derry.
"Tanpa di suruh pun gue bakalan pergi" ucap Arfin. Malam itu kedua kakak adik tersebut bergegas meninggalkan rumah dengan barang bawaan mereka, tak lupa juga barang milik Amora dibawanya. Arfin dan Wulan pergi ke rumah peninggalan kakek neneknya dulu namun sudah lama tidak ada yang mengisi dan tidak dirawat. Meskipun begitu rumah itu masih layak untuk dihuni.
•••
Pagi pertama yang cerah di Bandung. Amora sepertinya sudah selesai membereskan kamar, melicin pakaian dan menyiapkan barang bawaan ke kampus. Duduklah gadis itu di balkon sambil memandangi burung yang terbang hilir mudik. Sesaat tatapan kosongnya kembali sadar ketika dering telepon dari ponsel yang dikantonginya berbunyi. Di layar muncul nama Arfin, orang yang menelepon Amora itu. Lantas Amora mengangkat panggilan dari kakaknya itu.
(Di telepon)
"Assalamualaikum Ara" salam dari Arfin.
"Waalaikumussalam Kak Arfin"
"Ara kamu sehat?"
"Sehat kok kak, ada apa Kak Arfin telepon Ara? Tumben" tanyanya.
"Ini Ra, ada yang mau kakak omongin"
"Tentang?" Tanya balik Amora.
Suara Arfin tiba-tiba tidak terdengar di telepon dan membuat suasana hening.
"Bapak lagi kak? Bapak ngapain lagi? Bapak main keras lagi ya kak?" sambung kembali Amora.
Arfin berbohong demi tidak mau membuat Adiknya itu cemas " Nggak kok, orang itu gak pulang ke rumah".
Sebutan orang itu Arfin pakai untuk memanggil Derry.
"Kami lagi sibuk gak Ra? Gak kuliah emangnya?" tanya Arfin.
"Kuliah kak nanti jam 11"
"Ohh.. Eumm Araa sekarang kakak sama Wulan tinggal di rumah kakek yang dulu itu"
Lantas Amora terdiam dan berpikir bahwa sesuatu telah terjadi di rumah. Tidak salah lagi bahwa Derry akan berulah kembali.
"Hah? Kok? Diusir bapak?" tanya Amora to the point karena perasaannya sudah tidak enak.
"Bukan, emang kakak aja yang memutuskan buat gak serumah lagi sama orang itu. Nanti kalo kamu pulang ke Garut, ke rumah kakek aja soalnya barang-barang kamu udah kakak bawain kesini" jelas Arfin.
"Tapi ka pasti ..."
Belum sempat selesai bicara, tiba-tiba Arfin memotong pembicaraan Amora "Ara kakak tutup dulu telepon nya ya, ini mau berangkat kerja udah siang juga. Nanti kakak telepin lagi. Jaga diri disana. Assalamualaikum"
Tuuttt....
Amora menatap layar ponsel, terlihat telepon sudah terputus. Amora begitu penasaran dan rasanya ingin segera pulang lagi karena harus mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sambil memandangi dedaunan yang gugur dari pohon, Amora masih memikirkan keadaan Arfin dan Wulan di kampung.
"Gak ada orang yang benar-benar peduli. Semuanya hangus termakan waktu. Kecuali ibu" pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A.M.O.R.A [ TERBIT ]
Fiksi Remaja⚠️ Sudah Terbit di Penerbit Teori Kata ⚠️ Masih Bisa di Order lewat toko buku online (Shopee) ya AraDers AraDers : Amora Readers 🤩 ☆ C O M P L E T E D ☆ Harapan adalah sebuah ketidakpastian yang tak pernah diketahui pelabuhannya. Betapa lelah Amo...