Jangan lupa vote, comment, dan share ya!
Bab ini ada harapan.
Selamat membaca.
***
David memejamkan matanya. Ia tidak pernah menyangka akan hal ini. Orang tua macam apa yang tega membunuh darah dagingnya sendiri? Selama ini, ia begitu penasaran akan sosok ibu kandungnya. Selama itu juga, Hara, dan semua yang mengetahui hal ini menutup mulut rapat-rapat akan fakta ini.
David memejamkan matanya sejenak, menenangkan dirinya. "Ayah masih sakit hati?" Tanya David hati-hati.
Hara duduk di kursi dari batang pohon. "Luka itu akan terus membekas."
David mengerti. Ia ikut duduk dan menatap Hara. "Ayah maaf, bukan bermaksud membangkang. David sangat menghormati ayah, tapi hanya karena Thea adalah bagian dari Keluarga Agra, bukan berarti Thea turut bersalah atas kesalahan Agra secara pribadi."
"Ayah kan tau seseorang nggak pernah bisa memilih untuk ada di tengah keluarga yang seperti apa. Mungkin ini terdengar naif ayah, tapi kebencian juga nggak akan bisa merubah apapun, termasuk mengembalikan ibu. Kebencian ayah cuma akan jadi akar pahit dalam hati."
"David pernah denger, membenci orang lain itu ibarat kita minum racun, tapi berharap orang lain yang mati karena racun itu."
"Mungkin Agra memang jahat, tapi nggak dengan anak-anaknya ayah. Darah hijau Venossa itu diperoleh dari kerja sama."
Hara terkesiap. "Kerja sama?"
David mengangguk. "Iya. Kami bekerja sama dengan Keluarga Agra, ayah. Eh ralat, anak-anak Agra. Thea juga. Tanpa kerja sama, David sangsi ayah. Melawan ratusan bahkan ribuan vampire belum lagi Venossa pasti sangat melelahkan. Thea terluka karena Venossa saat dia lengah ketika melawan Venossa."
Hara menarik nafasnya pelan. Membiarkan David berbicara tanpa diinterupsi. Ia juga manusia yang mana tidak selalu benar. Untuk itu, tiap manusia butuh manusia lainnya sebagai pengingat.
David tersenyum. "David percaya ayah orang baik. Ayah selalu ngajarin bahwa kemanusiaan di atas kebencian kan? Saat ini, ada satu nyawa yang bener-bener butuh pertolongan, ayah."
"David mungkin nggak kenal sama ibu. Tapi menurut David ibu juga nggak akan senang kalo ayah terus-terusan seperti ini. Untuk apapun yang terjadi di masa lalu, manusia nggak punya kuasa untuk itu, ayah."
Jujur ini pun berat bagi David. Fakta yang diterima benar-benar menjadi pukulan yang mengejutkan. Tapi David hidup untuk masa sekarang, dan masa yang akan datang. Bukan masa lalu. Ia tidak ingin terjerumus dalam lubang yang bernama dendam. Lagipula, David percaya hukum alam. Agra akan menerima segala konsekuensi dari perbuatannya, suatu hari nanti.
David terbilang cepat berproses dalam penerimaan. Untuk hal-hal yang sudah tidak bisa diubah, ada baiknya manusia belajar perihal rela. Karena mungkin, sudah jalannya seperti itu.
***
Keesokan harinya,
Tristan menghentikan langkahnya, sebelum ia sempat memasuki rumah megah itu. Sontak, langkah Yasha, Liora dan Digo pun terhenti.
"Kenapa?" Tanya Liora.
"Kita harus bilang apa sama ayah?" Tanya Tristan.
Yasha tampak berpikir. "Jujur aja sama ayah, Tristan. Untuk apapun yang terjadi, kita bisa hadapin sama-sama."
Tristan mengangguk dan melangkah masuk diikuti oleh saudara-saudaranya yang lain.
Agra yang semula duduk kini beranjak dari kursinya, begitu mendapati anak-anaknya masuk ke dalam ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAINST US
FantasyJika kebencian abadi terpatri dalam sanubari, apakah menyerah pada keadaan adalah solusi? Untuk kita dan mereka yang saling mencintai, namun terhalang oleh pengabdian abadi. Seberapa jauh cinta mampu menepis perbedaan dan meruntuhkan sekat yang be...