Jangan lupa vote, comment and share!
Maaf ya telat banget huhu, aku ada kesibukan di dunia nyata hehe.
Bab ini gitu deh.
Selamat membaca.
***
"Kayaknya emang aku yang salah karena terlalu berharap sama kamu," ujar Nayla dengan air mata yang mengalir membentuk sungai kecil di kedua pipi itu.
Tristan menatap Nayla. Demi apapun, ia merasa bersalah karena telah membiarkan gadis di hadapannya menangis untuk kesekian kalinya. "Aku minta maaf. Tapi kamu harus tau kalo saat ini keadaannya lagi nggak tepat buat kita. Tolong mengerti," ujar Tristan berupaya menjelaskan.
"Kamu cinta nggak sih sama aku, Tristan? Kenapa susah banget buat kamu untuk jelasin semuanya sama aku?"
Tristan menggeleng tidak percaya. "Bisa-bisanya keluar pertanyaan seperti itu dari mulut kamu Nayla? Semua upaya aku, pengorbanan aku, itu artinya apa? Aku lakuin semua hal buat kamu. Aku lakuin semua hal yang nggak akan mungkin aku lakuin kalo bukan karena cinta."
"Aku mau nikah sama kamu Tristan. Aku mau menua sama kamu."
Tristan mengusap wajahnya kasar. "Aku juga. Tapi belum sekarang Nayla. Ayah nggak merestui hubungan kita dengan cuma-cuma. Ada kepentingan dibalik itu semua dan aku nggak mau kamu terseret di dalamnya. Aku mau kamu diterima dengan ketulusan. Aku mau kamu diterima, karena ayah luluh sama perjuangan kita, bukan karena hal lain."
Nayla menggeleng. "Hal lain? Aku nggak apa-apa Tristan. Setidaknya ayah kamu merestui kan? Bukannya restu yang selalu kita nanti?"
"Tolong sedikit lebih pengertian Nay. Kamu tau kan aku selalu mau yang terbaik buat kamu? Kita akan menikah, tapi bukan dengan cara seperti ini."
"Tapi gimana kalo ayah kamu berubah pikiran?" tanya Nayla khawatir.
Tristan menggeleng. "Mungkin itu lebih baik Nay, dari pada menikah dengan kondisi seperti ini. Aku nggak mau kamu dimanfaatkan, Nay. Kamu hanya akan terluka."
"Tristan."
"Tapi barangkali kamu masih susah untuk mengerti, mungkin masing-masing dari kita butuh waktu untuk berpikir dengan jernih Nay. Untuk cukup sampe di sini atau lanjut. Tapi satu hal Nay, untuk memutuskan lanjut, kita harus punya rasa pengertian yang lebih besar lagi."
Jujur ini pun berat bagi Tristan, tapi kata-kata itu terpaksa keluar sebagai gertakan. Dengan harapan, Nayla bisa berpikir lebih jernih dan bisa lebih mengerti posisi keduanya saat ini.
Nayla sontak membeku. "Maksud kamu?"
"Aku rasa kamu sudah cukup dewasa untuk bisa mencerna maksud dari perkataan aku. Sekali lagi, aku minta maaf."
Tristan mengusap air mata Nayla. "Aku cinta sama kamu. Tapi tujuannya harus diubah Nay, bukan pernikahan. Kalo tujuannya pernikahan, gimana kehidupan setelah menikah? Seandainya kita menikah dan berujung aku kehilangan kamu, mungkin lebih baik jangan."
Tristan menatap Nayla dalam. Ia hanya berharap keputusannya kali ini tepat, karena jujur semua terlalu pelik. Ia jelas mencintai Nayla, tapi bukan dengan cara seperti ini. Belum lagi, ia mendapat banyak tekanan dari Agra, dan juga Nayla.
Tristan paham bahwa Nayla sudah terlanjur berharap. Makanya ia sudah meminta maaf, karena telah mematahkan hati dan harapan gadis itu. Ia ingin keduanya kembali merajut cerita, tapi mungkin belum sekarang. Mungkin nanti. Saat semuanya sudah jauh lebih baik. Karena untuk saat ini, keduanya butuh waktu dan ruang untuk menyendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAINST US
FantasyJika kebencian abadi terpatri dalam sanubari, apakah menyerah pada keadaan adalah solusi? Untuk kita dan mereka yang saling mencintai, namun terhalang oleh pengabdian abadi. Seberapa jauh cinta mampu menepis perbedaan dan meruntuhkan sekat yang be...