Jangan lupa vote, comment and share!
Yuk bisa yuk 30 vote dan 50 komen.
Buat yang belum baca bab sebelumnya,
dibaca dulu yuk.Semoga bab ini ada rasa.
Selamat membaca.
***
Dua minggu sudah sejak kejadian pesawat jatuh di Laut Jawa, pihak kepolisian telah secara resmi menghentikan pencarian. Hal itu dikarenakan black box yang merekam percakapan sebelum jatuhnya pesawat itu telah ditemukan. Fakta baru terungkap bahwa pesawat telah meledak di udara sebelum jatuh ke laut. Tidak ada satu pun yang ditemukan berpulang secara utuh. Pihak keluarga harus merelakan hal itu, karena seluruh pihak terkait pun telah berupaya semaksimal mungkin.
Galang harus menelan pil pahit dan menerima kenyataan bahwa secara fisik; ibunya tidak akan pernah kembali. Raga itu telah menyatu dengan laut. Tidak ada lagi yang dapat ia lakukan, selain memeluk lewat doa. Sembari terus berharap, adakah sedikit keajaiban?
Seringkali Galang termenung, bagaimana rasanya merindu, tanpa bisa berbuat apa-apa?
Ternyata benar, hanya ada sekat tipis antara kehidupan dan kematian. Manusia bisa berencana, tapi apapun yang terjadi; itu kembali kepada rancangan Sang Pemilik Kehidupan.
Kini Galang duduk di tepi tebing. Ia sengaja keluar rumah dengan dalih cari angin, meskipun sempat adu mulut dengan Tobi. Tapi ia berjanji untuk kembali dengan selamat. Tobi yang sempat dilanda ragu pun akhirnya mengizinkan.
"Gue nggak butuh uang asuransi itu. Uang itu nggak lebih berharga dari nyawa mamsky."
Galang menengok ke bawah tebing. "Setiap kali gue liat air, gue jadi inget sama mamsky."
"Gue kayak orang gila deh duduk di tepi tebing gini."
"Mamsky nggak seru ih. Kenapa coba nggak ajak Galang?"
Galang berdecak. "Kalo jatuh gimana ya rasanya?"
Galang bergidik. "Iya kalo jatuh langsung meninggal, tapi kalo patah-patah gimana coba? Ih itu kan sakit. Ya meskipun nggak lebih sakit dari kehilangan mamsky sama papsky sih," ujar Galang pada diri sendiri.
Galang menggeleng. "Jangan di sini deh, ngeri pikiran gue makin kemana-mana nanti."
Galang berdiri.
"Galang."
Galang yang awalnya seorang diri terkejut, ia kemudian kehilangan keseimbangan dan tergelincir. "Aduh."
Galang menahan dirinya. Sebisa mungkin ia bertumpu pada pinggir tebing. "Thea."
Thea mengulurkan tangannya, kemudian membantu Galang untuk naik. "Ayo. Jangan lepasin. Lo pasti bisa naik."
Galang berusaha sekuat tenaga untuk kembali naik. Juga dengan Thea yang berusaha sekuat tenaga untuk menarik Galang.
Begitu Galang berhasil naik, ia berdeham. "Makasih ya."
Bukannya membalas ucapan Galang, Thea malah menghadiahi Galang cubitan.
Galang meringis. "Aw, aduh. Thea sakit. Kenapa sih? Gue salah apa?"
"Kalo gue terlalu ganteng, ya jangan salahin gue. Dari sananya udah begitu."
"Tanya sama diri lo sendiri," ketus Thea.
Galang tersenyum sumir. "Lo belum bisa maafin gue ya? Gue tau sih emang gue salah. Tapi jangan kayak gini dong. Lebih baik lo marah, lo katain gue, lo pukulin gue atau apapun, dibanding lo diam dan menjauh."
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAINST US
FantasyJika kebencian abadi terpatri dalam sanubari, apakah menyerah pada keadaan adalah solusi? Untuk kita dan mereka yang saling mencintai, namun terhalang oleh pengabdian abadi. Seberapa jauh cinta mampu menepis perbedaan dan meruntuhkan sekat yang be...