07. Sorry, G!

438 53 1
                                    

Quinn, Noah, Willa, Nael, Rae, dan Yssabelle berdiri melingkari meja Gabriel yang pagi ini dipenuhi bunga mawar berpita hitam, kartu ucapan turut berduka cita atas meninggalnya gadis itu, benda-benda kecil yang baru sempat dikembalikan, atau selembar foto yang sengaja dicetak sebagai bukti kenang-kenangan kedekatan mereka dengan Gabriel sebelum gadis itu pergi.

"Siapa yang nulis ini?! Hah?!" Rae tanpa aba-aba berbalik melihat seisi ruang kelas yang hening. Beberapa dari mereka menatap balik tanpa takut, selebihnya menunduk enggan menyaksikannya marah. "SAMPAH!"

"Kalian pikir G udah gak ada?! Kalian pikir G udah mati?!"

"DIA MASIH HIDUP!"

Noah hanya berusaha meraih pelan pundak laki-laki itu, tahu kalau usahanya pasti akan segera ditepis dan ditolak mentah-mentah. Kalau sudah begini, mereka hanya bisa membiarkan Rae dikuasai kemarahannya. Menyaksikan emosinya yang meledak-ledak tak terbendung. Mereka tahu Rae terlalu lama memendamnya sendirian. Sejak perempuan itu dikabarkan hilang, sampai dia ditemukan tak berdaya di gudang sekolah, Rae belum pernah melampiaskan apa-apa.

Rae sama sekali bukan Noah yang langsung akan mencari samsak untuk ditinju. Bukan juga Nael yang langsung pergi mencari gunung untuk didaki. Dia tetap hanya Rae yang marahnya melalui cat di atas canvas.

Sama sekali tak membantu, menurut Noah.

Ia dibiarkan memarahi teman sekelas yang tak tahu apa-apa.

"Dia udah gak ada! Lo sendiri yang anterin dia ke rumah sakit kemarin. Lo lupa?"

Termasuk membiarkan mereka menyangkal, menyulut kemarahan Rae lebih dalam lagi.

"LO GAK TAHU APA-APA SOAL DIA!"

Selagi laki-laki itu menumpahkan segala bentuk kekesalan yang selama ini dia pendam sendiri, kelima temannya kompak memeriksa layar ponsel masing-masing untuk membaca sebuah pesan yang dikirim secara bersamaan.

Yssabelle memandangi raut wajah teman-temannya satu persatu, memerhatikan bagaimana perubahan ekspresi mereka setelah memeriksa ponsel. Ingin memastikan bahwa pesan aneh dari nomor yang tak terduga ini bukan hanya ditujukan untuknya.

Setiap garis kerutan di dahi, gerakan alis terangkat, dan refleks lain yang mereka lakukan tanpa sadar. Yssabelle yakin mereka menerima pesan yang sama dari nomor yang sama.

"Kita ke study room sekarang!" putus Quinn tanpa persetujuan dan aba-aba lebih dulu.

Rae ditarik paksa meninggalkan perdebatannya di kelas yang semakin panas. "Apa-apaan sih, main tarik gitu aja! Urusan gue sama mereka belum selesai!"

"Buka hape lo sekarang," titah Noah begitu mereka sampai di ruang belajar Quinn yang baru.

Rae menuruti perintah itu. Membelalakkan mata tak percaya melihat kolom pesan yang---sengaja ia letakkan paling atas---secara mengejutkan, menampilkan satu pesan belum terbaca.

'Hahaha, are you scared yet?'

"Dugaan gue benar, kan? G pasti masih hidup!" katanya yakin.

Kalimat Rae tidak disangkal oleh siapapun, semua orang di sana hanya diam termenung dengan dahi berkerut-kerut serius. Mulai berpikir bahwa; mungkin saja Gabriel memang masih hidup di dunia ini, dan berita kematiannya kemarin hanyalah tipuan besar yang sengaja ia rekayasa sendiri untuk suatu alasan yang tak pernah mereka tahu.

Willa menggeleng melihat keterdiaman itu. "Kalian gak percaya sama gue? Gue lihat G udah gak ada. G udah gak ada dan gue gak mungkin salah." Ia menunduk memegangi kepalanya, mengulang-ulang kalimat terakhir dengan nada lirih dan semakin lirih. Kenapa bisa teman-temannya beranggapan bahwa Gabriel masih hidup? Sedangkan sudah jelas-jelas ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Gabriel terbaring tak bernyawa di lantai gudang.

Nael mengusap-usap lengan kekasihnya meski tanpa bicara apa-apa. Dia sendiri masih bingung harus beropini seperti apa di tengah-tengah kondisi yang seperti ini.

"Kita tetap harus waspada. Belum tentu G yang ngirim pesan gak jelas ini, bisa jadi dalang di balik penculikan sekaligus pembunuh G sengaja mau ngisengin kita."

Quinn mengangguk setuju. Adiknya benar, ponsel milik Gabriel masih hidup dan barusan mengirim pesan untuk mereka semua. Ia buru-buru mengirim pesan untuk Clay agar segera melacak lokasi keberadaan ponsel itu. Meski pelakunya bukan Gabriel, Quinn yakin siapapun itu orangnya, dia pasti tengah mengawasi mereka.

"Tapi, siapa?"

Jawaban dari pertanyaan Noah masih sangat abu-abu. Mereka masih tak punya bukti untuk menuduh siapa yang bersalah.

"Polisi negara gak akan ikut campur soal kasus ini. Semuanya bakal diambil alih sama Kiar."

"Kiar?"

Quinn mengangguk. Dia tidak bisa percaya dengan ayahnya seratus persen, teman-temannya juga harus tahu tentang perkembangan kasus ini. "Detektif itu lumayan menakutkan menurut gue. Sejak awal dia ditunjuk buat menyelidiki kasus ini, gue merasa kalau dia punya tujuan lain." Perempuan itu menatap temannya satu persatu. "Didn't you guys feel the same?"

Biar bagaimanapun mereka juga ikut menjadi sasarannya. Quinn tak mungkin menyembunyikan proses penyelidikan yang akan berubah total.

Laki-laki di sebelah Willa mengangguk tenang. "He is dangerous."

"If he's in full control of this case, that means he can do anything to us. Whatever he wants." Rae mengutarakan sedikit pengetahuannya tentang detektif bayaran di luar pemerintahan yang ia tahu dari sang ayah---yang juga pernah bekerja sebagai mata-mata ilegal sewaktu masih muda. "Dia bisa mencurigai kita kapanpun dia mau."

Yssabelle mengangguk. Dia tetap akan menjadi sasaran paling empuk untuk dicurigai berkat kepemilikan kartu vip Saintama. "I think, he knows something we don't."

"Like ... what?"

"G's secret?" Noah menebak.

"Kita harus cari tahu!"

Mereka mengikuti langkah kaki Quinn sampai di depan pintu study room milik Gabriel yang masih terkunci rapat. Seluruh pintu di sekolah itu memakai sistem keycard yang hanya bisa dibuka menggunakan Saintama card untuk akses keluar masuk.

"Private room cuma bisa dibuka sama pemiliknya, Quinn. Lo lupa?" Nael memperingati. Mereka tak mungkin merusak pintu untuk memaksa masuk ke dalam, itu sama saja tindak kriminal di sekolah yang sanksinya bisa berupa pengurangan saldo Saintama card senilai lebih dari sepuluh juta. Lebih baik Nael membeli sepatu atau ransel baru untuk mendaki.

Quinn menggeleng. "VIP S-card punya seluruh akses masuk Saintama. Termasuk ini," katanya, menunjuk pintu private study room milik Gabriel dengan yakin.

Yssabelle menjadi pusat perhatian mereka.

Ia ingin menuruti perintah Zara untuk tidak melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri di masa depan, tetapi juga merasa penasaran akan apa yang tersembunyi di dalam sana. Yssabelle tak pernah benar-benar memakai kartu itu sebagai seorang vip yang diistimewakan. Kartu itu ia pegang semata-mata hanya untuk memudahkannya dalam menghadiri rapat bersama para petinggi Saintama atau sekedar rapat pembahasan seragam baru. Perempuan itu ingin merasakan seperti apa rasanya menjadi seseorang yang berkuasa dan bebas.

Dengan perlahan, Yssabelle mengeluarkan Saintama card dari saku rok lipit yang hari itu ia pakai. Menempelkan barcode di bagian belakang kartu pada permukaan pintu yang dilengkapi pemindai.

"Sorry, G," lirihnya.

***

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang