27. VVIP Card

307 43 0
                                    

Quinn mengunjungi Arctic Golf lebih dulu meski pemiliknya masih tertahan di dalam studio foto di sekolah. Noah sedang melakukan prosesi pemotretan bersama Auilla untuk poster Face Of The School yang seharusnya dilakukan olehnya. Ia menolak menggantikan Gabriel yang wajahnya terpampang di jalanan ibukota dengan alasan tak tega. Sebenarnya bukan itu. Quinn tak ingin semua orang berasumsi bahwa dirinya merebut posisi Gabriel setelah perempuan itu meninggal. Karena pada kenyataannya Quinn belajar cukup keras untuk mendapatkan semuanya. Nilai Gabriel hanya sedikit lebih rendah dari pada biasanya di hasil akhir ujian kemarin. Ia masih sempat mengikuti ujian dengan normal, Quinn tidak merebutnya semata-mata karena perempuan itu hilang lalu meninggal. Apalagi sengaja membunuhnya.

Perempuan itu masuk ke ruangan yang biasa mereka tempati dengan sedikit terburu-buru, ia ingin menghempaskan tubuhnya di sofa sesegera mungkin untuk tidur siang selama satu atau dua jam sampai Noah selesai dari acaranya di sekolah. Namun, baru satu langkah melewati pintu, Quinn segera melambatkan langkahnya menyadari keberadaan Maven di tempat belajar laki-laki itu.

"Hai!" Maven menyapa sembari mengangkat kepala dari tumpukkan kertas yang tengah ia kerjakan.

"Eh sori ... aku ganggu ya?" Pintu di belakangnya ditutup dengan sangat hati-hati sambil merutuki dirinya sendiri yang hampir seperti mendobrak pintu saat masuk tadi.

Laki-laki itu tersenyum lalu menggeleng. "Enggak, kok," balasnya kemudian setelah kembali fokus mengerjakan sesuatu di tumpukkan kertas dan buku-buku bisnis yang berserakan. "Kamu ke sini sama Noah?"

Langkahnya yang baru sebatas lebar meja belajar Maven kembali terhenti. "Noah lagi foto buat poster sekolah."

"Hng? Bukan harusnya sama kamu? Kamu kan student of the year tahun ini."

Quinn mengedik malas menandakan ia sedang tak ingin membicarakan hal itu sekarang. Melihat Maven yang nampak langsung mengerti sebab tak lagi memberinya pertanyaan membuat kaki jenjangnya kembali melangkah menuju sofa bed di samping pintu dan tembok kaca besar yang memisahkan antara ruangan tersebut dengan halaman terbuka yang biasa dipakai Noah untuk berolahraga. Seluruh cahaya masuk dari luar menembus kaca yang sengaja tak dipasangi kain atau apapun itu agar terlihat lebih hidup. Perempuan itu betulan menjatuhkan diri di sana seperti apa yang sudah ia rencanakan sebelumnya, melemparkan tas sekolahnya dengan asal, lalu menenggelamkan wajah di permukaan sofa bed yang empuk dan wangi busa serta kain baru.

"Are you okay?" tanya Maven yang sempat terkejut mendengar suaranya terbanting di atas sofa.

Perempuan itu menyampingkan kepalanya, menghirup lebih banyak udara dengan mata terpejam yang meski begitu tetap akan terlihat cantik. "I just need to sleep," balasnya dengan suara mengantuk yang semakin menjadi-jadi. Persetan dengan Maven yang masih ada di sana, ia butuh mengistirahatkan pikiran yang seharian ini terasa penuh sejak berdebat dengan orang tua dan adiknya sekaligus tadi pagi. Suasana di sekolah pun tak lebih baik dari pada itu setelah Mr. Jo secara tiba-tiba mengusulkan ide gilanya untuk membongkar paksa ruangan di sebelah ruang belajarnya. Mana mungkin dia setuju soal itu? Tidak akan!

"Okay, kalau gitu. Aku tinggal sendiri gak apa-apa ya? Ada yang harus aku kerjain sama temen-temen aku buat acara di kampus besok. Sleep well, Sayang."

Quinn masih bisa mendengar suara pintu dibuka lalu ditutup kembali secara perlahan sebelum ia terlelap dengan posisinya, masih memakai kemeja seragam dan sepatu kets bersol tinggi yang juga masih melekat di kedua kakinya.

Tempat itu hampir tak terjamah oleh manusia lain yang bekerja di wilayah Arctic, selain karena tempatnya yang terpencil dan tersembunyi, karyawan di sana terlalu takut untuk mencampuri urusan Sang Tuan Muda---beserta teman-temannya---sebab tak ingin dunia pekerjaan mereka hancur sia-sia. Lebih baik menahan diri sejak awal dari pada harus diri mereka yang ditahan kemudian.

Berkat peraturan tak tertulis terhadap ruangan itu, Quinn bisa tidur siang selama hampir satu setengah jam sampai Noah tiba di sana dengan tatanan rambut yang berbeda dari saat terakhir kali mereka bertemu. Ia menggeliat, menguap lebar, lalu tersenyum menyapa laki-laki itu dengan suara serak khas bangun tidur. "Hai, good morning!"

"Morning apaan sih, Quinn, orang udah sore." Noah melempar ransel sekolahnya di atas tas sekolah Quinn di ujung sofa bed, melepas kemeja seragamnya yang kemudian dilempar asal untuk menutupi bagian paha perempuan yang roknya terangkat sedikit memperlihatkan celana ketat super pendek. "Nyenyak banget tidurnya sampai lupa waktu gitu?"

Quinn tertawa tanpa sebab. Tangannya bergerak menyentuh kain kemeja Noah dengan perasaan hangat yang tak biasa.

"Makan apa lo tadi siang?"

"Hm?"

"Makan apa?" ulang Noah yang tengah menunduk melepas ikatan tali sepatunya sendiri menghadap kaca lebar yang kini disinari sinar matahari berwarna jingga kemerahan.

Si perempuan nampak berpikir mengingat-ingat makanan apa yang dia santap sebelum mendatangi tempat ini. "Makan ... pad thai, 'kan?"

"Gak makan lagi? Tumben."

Garis-garis bekas tidur di pipi Quinn terlihat sangat nyata begitu gadis itu terbangun dari posisinya, duduk sambil mengerjap-ngerjap, lalu menatap Noah dengan pandangan mata yang masih sayu. "Lo beneran gak nyentuh G hari itu, kan, No?"

Noah menarik napas panjang sebelum menghembuskannya kuat-kuat. Merasa lelah dengan pertanyaan yang itu dan itu lagi yang meskipun sudah dijawab ratusan kali tetap akan dipertanyakan ulang sebab perempuan di hadapannya kini tak menyimpan setitikpun rasa percaya terhadapnya.

"Gue percaya lo bukan bagian dari mereka, tapi ... satu orang yang lain itu siapa? Cuma ada Maven, Nael, dan lo di sini. Kalau lo gak termasuk ada di sana itu artinya ada orang lain yang tahu keberadaan G sebelum Willa nemuin tubuh G di gudang. Iya, kan? Tapi siapa?"

Noah menggeleng singkat menanggapi kalimat Quinn yang panjang.

"Siapa pun pelakunya, orang itu pasti pemilik kartu VIP."

Noah menggeleng lagi. "Enggak, gudang bisa diakses sama siapa aja. Dia juga gak mungkin menyelinap after midnight karena ada anak-anak SSC yang di sana sampai jam dua pagi."

Quinn terdiam mencerna kalimat Noah.

"Akan lebih masuk akal kalau orang itu diam-diam masuk ke gudang besok paginya, setelah Saintama dibuka dan semua orang sibuk di halaman utama."

"Itu artinya G ..."

Laki-laki itu mengangguk. "Ada kemungkinan kalau orang itu juga yang udah bunuh G."

"Kita harus cari tahu."

"Silver-white card juga harus cepat-cepat kita cari. Belle bilang semua akun VIP yang diblokir paksa akan langsung diambil alih oleh sistem dan jumlah saldo yang ada akan secara otomatis dibagikan untuk para pemilik kartu VIP yang lain."

"Itu artinya lo sama Yssabelle bisa dapat sepersekian persen dari jumlah saldonya?"

"Gak semua kartu VIP bisa digunakan selayaknya kartu VIP. Kita cuma dikasih akses untuk ruangan-ruangan tertentu yang masih dibatasi, tetapi gak mendapat keistimewaan berupa saldo itu tadi. Gampangnya gini, gue dan Yssabelle punya kartu VIP, sedangkan di atas kita masih ada pemilik kartu VVIP yang tingkat kekuasaannya lebih tinggi."

"Contohnya?"

"Orang tua Belle, bokap gue, Mr. Joseph."

Quinn berpikir cepat menyambung-nyambungkan seluruh informasi yang masuk ke dalam kepalanya.

"Itu kenapa Yssabelle gak bisa buka ruangan G waktu itu. Karena akses kartunya juga masih terbatas," terang Noah lagi sembari menerawang jauh ke luar dinding kaca.

"Kalau gitu para VVIP bisa dengan gampang masuk ke ruangan G dong?" pikir Quinn.

"Yaa ... kecuali kalau G juga jadi salah satu bagian dari VVIP."

***

Bekasi, 24 Agustus 2023

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang