08. Funeral Day

376 49 1
                                    

Sebelum upacara tutup peti dilangsungkan, Rae masih diperbolehkan melihat tubuh tak berdaya Gabriel yang sangat cantik meski terbaring di dalam peti. Wajahnya begitu damai dan tenang seakan-akan gadis itu hanya sedang tertidur lelap dengan mimpi-mimpi indah beterbangan seperti kupu-kupu.

Rae menghapus air matanya sendiri, sebisa mungkin menyapa kekasihnya dalam keadaan paling baik yang pernah dia punya. "Hallo cantik," sapanya riang, meski dengan tenggorokan yang rasanya tercekat sakit.

Sulit untuk percaya bahwa tubuh gadis tercintanya ini sudah tak bernyawa. Ia ingin sekali melihat kelopak mata cantik itu terbuka untuk menatapnya barang sedetik, dua detik, atau sedikit lebih lama lagi. Kalau harus terbangun demi menamparnya yang sudah berkhianat pun Rae rela. Lebih baik dari pada melihatnya diam, mengabaikannya terang-terangan begini.

"Bangun G, pukul aku! Aku udah salah banget sama kamu," lirihnya. "Aku minta maaf."

Melihat tubuh itu tetap diam tak menghiraukannya, jantung Rae seakan ikut mati. Ia menggenggam erat tangan Gabriel yang dingin dan kaku, menunduk, lalu menangis sejadinya. Meski sulit menerima kenyataan bahwa kekasihnya telah tiada, Rae lebih merasa kesulitan untuk pura-pura percaya bahwa gadis itu masih hidup di tempat yang tak dia tahu keberadaannya. Di luar sana. Mana ada duplikat manusia yang senyata ini. Mana ada wajah yang lebih cantik dari wajah yang terlelap ini.

Rae tak memiliki keyakinan apapun untuk menuduh Gabriel masih hidup. Ia tidak bisa lagi menyalahkan kesaksian Willa, tak bisa berprasangka buruk pada pihak manapun, atau menyangkal teman-teman sekelasnya yang menulis surat perpisahan.

Gabriel memang pergi. Benar-benar pergi.

Quinn mengusap-usap pundak Rae. "Udahan yuk, yang lain juga pengen say goodbye sama G," ujarnya dengan lirih.

Willa, Nael, dan Noah masih belum mengucapkan salam terakhirnya untuk Gabriel, sementara upacara penutupan peti sudah akan dimulai.

Ia mengangguk. Meminta sedikit lebih banyak waktu untuk memandangi wajah itu. Sebentar saja lagi. "Selamat tidur, sayang." Dikecupnya kening Gabriel untuk terakhir kalinya sebelum peti itu tertutup selama-lamanya.

Tubuh tinggi laki-laki itu berakhir di pelukan Quinn setelah ia berbalik menjauh.

Quinn mengerti, dia paham seperti apa perasaan Rae saat ini meski belum pernah kehilangan manusia tercintanya di bumi. Selama beberapa waktu, ia hanya membiarkan laki-laki itu menangis di pundak kecilnya, mendengar isakan tertahan persis di samping telinga tanpa mengucapkan apa-apa.

Meninggalnya Gabriel sama sekali tak membuatnya ingin menangis. Quinn merasa sulit untuk mengeluarkan air mata di hadapan banyak orang terlebih anggota keluarganya yang terus mengawasi setiap gerak-geriknya di rumah duka. Apa yang mereka takutkan? Kedekatan Quinn dengan teman-temannya sendiri?

"Nomor G ngirim chat lagi di grup." Willa menyodorkan ponsel diam-diam agar teman-temannya langsung membaca isi pesan grup tanpa membuka ponsel masing-masing.

"Jangan pura-pura sedih gitu dong, gue tahu kok isi pikiran kalian." Quinn membaca pelan sebaris kalimat terakhir di grup chat yang namanya baru diganti sebelum libur semester dimulai; Summerville Hiking Squad.

Si gadis berambut pendek menghapus sisa-sisa air mata di pipi. "Ini udah gak bener, kita harus laporin ini ke polisi!"

"No!" Quinn mencegah. Ia menoleh ke arah ibunya yang memberi tatapan peringatan untuk segera ikut bersama mereka di deretan keluarga mendiang. "Kita bicarain lagi nanti, after funeral kita ketemu di rumah Nael."

Nael hanya bisa mengangguk. Mereka merelakan kepergian Quinn bergabung bersama keluarganya. Yssabelle datang tak lama setelah itu. Sedikit terlambat karena harus datang bersama orang tuanya yang sangat sibuk.

"G's phone location is here." Clay berbisik di telinga sang kakak seusai perempuan itu bergabung bersama pihak keluarga.

Selagi orang tua mereka menyapa pimpinan 4Seasons---orang tua Yssabelle---, Quinn menanggapi kalimat adiknya diam-diam. "Are you sure?"

Laki-laki yang hari itu dipaksa memakai setelan jas formal seperti sang ayah, mengangguk mantap dengan mata penuh selidik ke penjuru ruangan. "Dia pasti ada di sini, di ruangan yang sama dengan kita."

Quinn ikut menyisir pandang. Selain pihak keluarga, kelima temannya---beserta orang tua mereka, pimpinan Saintama, anggota gereja, dan pihak kepolisian yang berjaga, tidak ada yang diperbolehkan masuk ke dalam rumah duka. Seluruh awak media termasuk wartawan Summerville hanya diperbolehkan meliput keadaan di luar pintu masuk atas perintah Uncle Ken dan Aunty Chrystie.

Meski semuanya berpakaian serba hitam dan tak mencolok, tetap mudah bagi Quinn untuk menghafal siapa-siapa saja manusia yang hadir di tempat itu.

"Siapa menurut lo?"

"Clueless."

Clay mengangguk. "But, that guy ..." Ia menunjuk seseorang yang baru masuk. "Lo harus hati-hati sama dia."

Quinn mengikuti arahan adiknya. Kiar datang ke tempat itu dengan pakaian yang tak seperti biasa. Bukan celana cargo dan seragam berlapis rompi anti peluru, pria itu tampil lebih kasual dengan hanya memakai kemeja hitam berlengan panjang dan celana bahan rapi seperti para pelayat lain.

"You know what he knows?"

"No."

Clay ingin kembali bicara, namun kakaknya sudah lebih dulu pergi menghampiri laki-laki yang ia tunjuk tadi.

"Apa yang lo mau sebenarnya?"

Kiar baru duduk di kursi pelayat---baru akan mendengar pidato perpisahan dari Hesa untuk adik tercintanya, waktu tahu-tahu seorang gadis muda menembaknya dengan pertanyaan tiba-tiba yang tak mendasar. "Maksud anda apa, Nona Moanaro?"

Senyum mengejek di bibir lawan bicaranya tak lantas membuat Quinn merasa gentar. Ia merasa semakin yakin bahwa ada yang disembunyikan oleh pria dewasa ini terkait kasus kematian saudaranya. Dia orang pertama yang langsung menetapkan Quinn dan kelima temannya menjadi tersangka di balik menghilangnya Gabriel, membuat mereka diintrogasi secara mendadak, sampai Quinn harus kehilangan akses Summerville sementara waktu hingga detik ini.

"Gue gak akan biarin lo mecahin kasus ini."

Sudut mata Quinn masih bisa menangkap garis senyum di bibir Kiar yang masih sama-sama menghadap lurus ke depan. "Gak-a-kan!" ulangnya, penuh penekanan.

Kiar masih dengan posisinya; duduk persis di sebalah Quinn sambil memandang lurus ke depan. Ke arah Hesa dan wajah sedihnya yang berantakan. "Saya dibayar untuk menyelesaikan kasus ini, mana mungkin saya tidak melakukannya, Nona?"

"Bisa apa kamu tanpa S-card, hm?" Kepala Kiar dicondongkan sedikit lebih dekat ke arah Quinn.

Meski tak sepenuhnya mewarisi sifat kedua orang tuanya, Quinn tetap keturunan mereka. Ia sedikit meniru ketegasan ibunya yang seperti tak berperasaan. "Lo merasa menang dengan itu?"

Pria muda itu menengadahkan telapak tangannya di atas paha. "Kamu gak bisa lihat ini?"

Quinn melirik sekilas telapak tangan kosong itu tanpa minat.

"Semua kendalinya ada di sini," lanjut Kiar tanpa diminta. Telapak tangan itu bergerak seolah menggenggam sesuatu yang sangat berharga, lalu sengaja dijatuhkan di atas paha seorang gadis di sebelahnya tanpa permisi.

Quinn menoleh masih tanpa ekspresi. Tubuhnya secara sadar merasakan setiap gerakan di atas kulit pahanya sampai menyentuh ujung dress pendek yang ia pakai hari itu. Quinn tersenyum miring.

"Mari bersaing, Nona Moanaro!"

***

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang