Rae keluar dari kelas karena perasaannya masih tak menentu. Masih terlalu sakit melihat tumpukan bunga mawar di kelas dengan foto-foto gadis itu yang dibiarkan tetap di atas meja. Padahal sudah hampir tiga hari. Kelopak bunga mulai berjatuhan dengan aroma yang tak lagi wangi berputar-putar mengelilingi ruangan, membuatnya mual dan lagi-lagi ingin mengamuk. Kenapa mereka tampak tenang-tenang saja dengan tumpukan bunga itu, sementara Rae sendirian merasa paling terganggu.
Ia butuh tempat untuk menenangkan diri. Enggan membuat keributan di kelas saat mata pelajaran wajib tengah berlangsung dan mereka masih serius belajar. Kalau dipikir-pikir ulang, kemarahannya di kelas yang tak jelas apa penyebabnya kemarin terasa sedikit memalukan sekarang. Rae tak semestinya mencak-mencak seperti orang bodoh untuk melampiaskan rasa kesal yang tak wajar. Segala menyebut Gabriel masih hidup, padahal sudah jelas-jelas satu penjuru negeri tengah ramai membicarakan kematiannya.
Langkah kaki panjangnya berhenti sedikit jauh dari pintu private gallery yang dihadiahkan kepadanya sebagai bentuk apresiasi setelah menjuarai kompetisi melukis internasional satu tahun silam. Karyanya dilelang seharga seratus juta hari itu, membawa namanya ke kancah internasional dan dikenal oleh banyak pelukis tersohor.
Masih tak banyak yang tahu. Orang-orang berpikir akses khusus yang dia dapat hanya membuang-buang anggaran. Galerinya dianggap sebagai tempat bermain yang tak berguna. Memang apa hebatnya menjadi seorang pelukis? Hidupnya masih tak berubah bahkan setelah menjuarai kompetisi itu.
"Hebat banget tahu!"
Rae menghela napas. Sulit sekali menghindari bayang-bayang gadis itu di tempat yang seluruh sudutnya memang tentang dia. Rasanya laki-laki itu bisa gila kalau setiap bayangan yang datang terlihat senyata ini. Ia harus memejamkan mata berulang-ulang kali sampai imajinasinya tentang Gabriel yang berdiri di depan pintu galeri segera menghilang.
Suara sensor berhasil memindai berbunyi nyaring di tengah-tengah suasana pagi yang masih sepi. Aroma kanvas baru dan cat air menguar, menusuk indra penciumannya dengan begitu menenangkan. Rae langsung menuju ruang melukis di balik dinding, menarik tirai panjang yang menutupi jendela kaca besar untuk dijadikan penerangan alami.
Ia tersenyum melihat dua lukisan yang masih setengah jadi di papan penyangga. Lukisan wajah Gabriel yang masih berbentuk sketsa kasar dengan lukisan wajahnya yang terkesan dilukis secara asal-asalan tanpa teknik.
Hari itu Gabriel menunggunya di galeri sambil membaca buku---tidak benar-benar dibaca, hanya dibuka di atas pangkuan sementara gadis itu terbengong-bengong lucu sampai tak menyadari kedatangannya. Rae iseng menjawil hidung Gabriel, membuatnya terkejut, lalu merengek seperti anak kecil.
"Ish, Raeee!"
"Kenapa, cantik? Hm?" Mereka duduk berhadap-hadapan di kursi yang sengaja ditarik berdekatan. Saling melempar tatapan manis yang justru berakhir dengan adu tatap antara satu sama lain. Rae mengagumi mata bulat Gabriel yang berbinar memantulkan cahaya dari jendela, memuji-muji dalam hati betapa cantik dan indahnya pemandangan itu meski yang ia lakukan justru melotot memancing kekesalan sang lawan.
Gabriel menutup mata, memukul main-main lengan kurus Rae yang lagi-lagi mengejutkannya.
"Yes! Aku menang."
"Kamu curang!" Gabriel tak terima. Meski begitu, detik berikutnya mereka saling tertawa seolah tak pernah ada perseteruan yang terjadi. "Ayo kita adu lukis," ajaknya dengan wajah menantang, tak tahu diri ingin melawan pelukis berbakat seperti sang kekasih, sementara kemampuan melukisnya hanya sebatas melukis pohon yang menyerupai brokoli.
"Kalau aku menang?"
"Kalau kamu menang aku kasih kamu hadiah sebelum kita hiking."
"Kalau kamu menang?"
"Kalau aku menang, kita putus."
"Hei! How dare you!"
"Bercanda. Makanya kamu gak boleh kalah dari aku. Masa yang lukisannya dilelang mahal kalah sama yang lukisannya mirip brokoli."
"Lukisan itu seni tahu, brokoli kamu juga nilai seninya tinggi."
"Nilai seninya tinggi tapi masih dibilang brokoli. Itu pohon tahu!"
"Tadi kamu sendiri yang bilang brokoli."
"Tapi itu pohon!"
Rae mengalah. "Iya iya, pohon deh pohon." Laki-laki itu sibuk menata papan lukis, mengambil dua kanvas baru, lalu menyiapkan cat minyak dan segala bentuk perlengkapan melukis yang lain. Sementara Gabriel menunggu penuh antusias di kursinya.
"Aku mau lukis kamu ya!"
Rae meringis. Sejujurnya ia tak begitu yakin dengan hasil lukisan Gabriel. Akan dilukis seperti apa wajahnya ini dalam imajinasi perempuan itu, mengingat pohon di belakang sekolah saja bisa disulap menjadi seonggok brokoli. "Kalau gitu aku juga lukis kamu."
Siapa sangka kedua lukisan itu akan sama-sama terbengkalai di sana tanpa pernah selesai. Ralat, hasil lukisan Gabriel yang---katanya---merupakan bentuk wajah Rae sudah selesai. Perempuan itu dulu mengeluh capek dan berakhir menyelesaikan lukisannya secara terburu-buru dan asal-asalan. Rae mengomel panjang karena hasil itu sama sekali tak menyerupai dirinya, namun Gabriel kukuh merasa lukisannya sudah bagus.
Kalau dilihat lagi sekarang, Rae ingin percaya bahwa lukisan perempuan itu memang bagus. Memang tak menyerupai wajahnya, tapi setiap goresan cat yang tak rapi membuatnya terlihat apik meski abstrak.
Rae melepas cardigan yang ia pakai sebagai pengganti jas almamater, menyisakan kemeja putih seragam Saintama sebelum meraih kuas lukisnya yang terbengkalai. "Lukisan kamu sekarang lebih bagus, tapi aku gak mau kamu menang. Aku gak mau kita putus," katanya meski sosok yang ia ajak bicara kini telah tiada.
Warna demi warna tersapu di atas kanvas berisi sketsa kasar wajah Gabriel, memperbaikinya sedikit demi sedikit agar semakin mirip dengan gadis dalam bayangannya.
Bahu laki-laki itu turun setelah beberapa sapuan. Sadar kalau cat putihnya habis dan mau tak mau ia harus keluar membeli benda itu di Saint-Mart demi menyelesaikan lukisan wajah si cantik.
Samar-samar Rae mendengar suara tangisan dari arah ruang konseling yang masih setengah terbuka. Ia melihat Kiar keluar dari sana tak lama sebelum itu. Otaknya berpikir cepat. Setelah pemakaman Gabriel kemarin, Yssabelle bilang detektif itu ingin menemuinya. Rae ingat-ingat lagi. Yssabelle tidak ada di kelas saat ia pergi. Besar kemungkinan keduanya bertemu di ruang konseling untuk saling bicara.
Lantas, suara tangisan itu adalah tangisan Yssabelle? Kenapa?
Ia melangkah perlahan mendekati pintu, melongok sedikit dari celah yang terbuka, menemukan kepala seorang gadis berambut cokelat oranye tengah tertelungkup di atas meja.
Yssabelle menangis sesenggukan dengan bahu bergetar. Sesekali menegakkan kepala, mengusap-usap mata untuk menghapus air matanya yang terus menerus keluar tanpa henti. Ia ingin berhenti menangis detik itu, tapi kenapa rasanya sulit sekali? Sakit di dadanya menjalar sampai ke seluruh tubuh, membuatnya meraung lebih keras, berharap tak ada seorang pun melihat keadaan kacaunya sekarang.
"Kenapa harus gini? Kenapa harus aku?" tanyanya entah ditujukan pada siapa di sela-sela tangis yang belum juga mereda.
Rae melangkah mundur. Sedikit demi sedikit menjauh dari pintu. Ia tolak mentah-mentah keinginannya untuk merengkuh tubuh itu demi memperbaiki perasaan bersalahnya pada mendiang Gabriel.
Kesalahan yang sama tak mungkin terulang dua kali.
Hubungan mereka harus berakhir.
***
Bekasi, 11 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Killed My G? (END)
Mystery / ThrillerMenghilangnya Gabriel di akhir waktu liburan semester menjadi mimpi buruk bagi teman-teman terdekatnya. Quinn, Noah, Nael, Willa, Belle, dan Rae harus merelakan kepergian sahabat mereka sekaligus menjadi buronan polisi atas meninggalnya Gabriella S...