12. The Discussion

337 47 0
                                    

"G diperkosa sebelum dibunuh."

Quinn duduk di sofa single menghadap ketiga temannya, mulai merasa terbiasa dengan tatapan-tatapan bingung nan menuntut dari mereka. Ia meletakkan ponsel yang menampilkan foto hasil autopsi Gabriel yang ia ambil secara diam-diam di ruangan kerja orang tuanya semalam.

"Itu hasil autopsi yang asli, G bukan meninggal karena kehabisan napas tapi karena dicekik habis-habisan." Fotonya ia geser sampai memperlihatkan sebuah potret luka membiru di bagian leher sepupunya. Beberapa luka dibagian perut dan lengan sampai kaki.

Masing-masing dari mereka memalingkan wajah begitu gambar di ponsel Quinn menunjukkan luka kerusakan dibagian sensitif tubuh Gabriel. Willa memejamkan mata sambil menggertakkan gigi kuat-kuat, tak habis pikir bahwa luka-luka itu tak sesederhana yang ia lihat.

"Gimana sidik jarinya?" tanya Noah.

Quinn menggeleng. "Gue gak tahu. Tapi gue yakin data lengkap dan semua bukti temuannya ada di tangan Kiar." Gadis itu menyimpan lagi ponselnya di saku blazer almamater.

"Kita harus tahu sejauh apa dia tahu soal perkembangan kasus ini, pembunuh G gak boleh hidup lebih lama lagi." Nael bergeser semakin dekat dengan Willa, menghapus jarak di antara mereka sampai kain celana dan rok seragam yang mereka pakai saling bersentuhan. Laki-laki itu meraih tangan kekasihnya yang tak mau berhenti bergerak, menahannya hingga tenang, lalu mengusap-usap bagian ibu jari yang kutikulanya mulai terkelupas. "Stop hurting yourself, Babe," lirihnya lembut tanpa nada menuntut sedikitpun.

Perempuan itu tak menanggapi apa-apa. "Terus study roomnya gimana?"

Quinn menghela napas. Fakta bahwa pintu ruangan pribadi Gabriel yang tak bisa dibuka oleh VIP---yang pada akhirnya menimbulkan fakta baru mengenai perempuan itu juga seorang VIP tak ayal membuatnya jengkel. Apa lagi yang tak ia ketahui dari mendiang sepupunya? Apa lagi yang perempuan itu sembunyikan dari mereka? Ada apa dengan ruangan itu sampai Gabriel menutupnya rapat-rapat seolah tak ingin ada orang lain yang tahu?

Seluruh pertanyaan itu mengalir deras dalam kepalanya. Bagaimana mereka bisa hidup rukun selama ini, padahal ada banyak sekali hal yang disembunyikan oleh perempuan itu.

"Kita bisa rusak pintunya dan bayar denda yang gak seberapa itu, tapi masalahnya, sekarang ruangan itu masih dijaga untuk proses investigasi. Merusak pintu itu sama aja kita nyerahin diri ke mereka."

"Kayak yang gue bilang kemaren, No, pintunya masih bisa dibuka sesuai ketentuan sistem yang berlaku."

"Tapi harus atas persetujuan sistem itu sendiri yang artinya semua pihak VIP juga harus setuju. Itu gak sebentar, Na. Bisa aja Kiar dapat izin duluan sebelum kita."

Nael sudah ingin menimpali argumen Noah dengan argumennya sendiri tentang ketentuan sistem yang masih bisa dibayar meski dengan harga yang tak murah, namun genggaman tangan kekasihnya yang semakin erat menekan jemari tangan Nael membuat laki-laki itu urung mengucapkan sepatah kata pun dari bibirnya.

"Gak ada cara lain, kita harus cari kartu itu sampai ketemu. Kuncinya ada di sana," kata Quinn.

"Kalau Kiar dapat persetujuan sistem gimana?" Noah menantang.

Quinn berpikir orang tuanya mungkin akan memberi fasilitas terbaik untuk menggerakkan Kiar semampu mereka. Tak peduli berapapun harganya, bagian terpenting dalam kasus ini adalah pembunuh Gabriel harus segera ditemukan, lalu mati detik itu juga.

Sistem bisa diacak-acak dengan rapi oleh mereka yang mampu membayar.

Noah ada betulnya juga.

"Lo bener. Tapi persetujuan sistem juga butuh waktu lama, kan? Kita masih punya waktu untuk nyari tahu di mana G's card disembunyiin."

"Gimana? Kita gak punya petunjuk apa-apa, Quinn."

Bola mata Willa bergerak bolak-balik melihat Noah dan Quinn secara berganti-gantian. Menyimak pembicaraan mereka dengan serius meski tak berani menimpali apa-apa.

Quinn ingin mengatakan kalau dia masih punya Clay yang bisa melacak keberadaan ponsel Gabriel saat pelakunya mengirimi mereka pesan, namun keterlibatan adiknya dirasa tak perlu sampai ke telinga mereka. Quinn tidak mau adiknya merasa kesulitan karena kasus ini. Ia ingin melindunginya sebagai seorang kakak.

Diskusi mereka tak berakhir setelah kedatangan Yssabelle yang entah dari mana. Perempuan itu memilih duduk di sofa single yang diletakkan berhadap-hadapan dengan sofa single lain yang diduduki Quinn. Tenang dan anggun seperti biasa meski penampilannya sedikit berbeda.

"What's so wrong with your eyes?"

"My eyes? Why?" Perempuan itu mengangkat ponsel dari genggamannya untuk bercermin. Mendengus sebal meski tetap santai seolah-olah hal yang sedang dilihatnya memang sudah sering terjadi. "Oh no, my allergy? Again? Kayaknya gue harus bener-bener bilang sama mereka buat bersihin ruangan itu properly, deh. There's a lot of dust!" katanya.

"Is it okay?" tanya Noah. Laki-laki itu merasakan seperti apa rasanya memiliki sepasang mata yang sangat sensitif terhadap debu atau bulu hewan. Melihat bagaimana warna mata Yssabelle berubah membuatnya meringis membayangkan seberapa kotor ruangan yang gadis itu datangi.

Yssabelle mengangguk. "Anyways, G sent me a message, last night. Dia nyuruh gue yakinin Kiar for not to comb out her private room. Dia mau kita cari kartunya. Dan ... gue pikir gak ada salahnya kita turutin kemauan dia."

"You did it?"

"Ya."

Cukup lama keempat anak remaja itu tanpa suara, bergelut dengan isi pikiran masing-masing, sibuk mencerna kalimat dari seorang gadis berambut cokelat oranye yang tengah fokus menengadah meneteskan cairan tetes mata ke dalam mata merahnya.

"Gue yakin dia bisa jadi petunjuk untuk kita." Quinn memecah keheningan.

"Lo yakin? Dia pembunuh G, Quinn."

"Lo sendiri yang bilang kalau pesan-pesan itu bisa jadi petunjuk, No."

Nael mengangguk. "Gimana pun caranya kita harus duluan nemu kartu itu sebelum Kiar."

Willa langsung menoleh dan refleks menjauh satu jengkal dari kedekatannya dengan tubuh Nael.

"Kalian ini sebenernya kenapa, sih?!"

Fokus Nael, Quinn, dan Noah beralih kepada seorang gadis berambut pendek yang tiba-tiba membentak nyaring setelah keterdiamannya yang cukup lama. Yssabelle ikut menoleh, tak peduli cairan dari matanya tumpah membasahi pipi untuk kesekian kalinya hari ini.

"Willa, wha---"

"Kenapa kalian gak mau kalah dari Kiar padahal tujuan kita sama? Kita sama-sama ingin pembunuh G secepatnya ditangkap! Tapi kenapa kalian seolah-olah gak mau kasus ini cepat selesai? Kenapa cuman gue yang merasa ga---"

"Stop it, Auilla!"

Willa langsung diam mendengar Nael memanggil namanya tanpa sebutan lain dengan nada dingin yang setengah membentak meski tak terlalu tinggi. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Lo tahu apa soal Kiar?"

Ditanya begitu, air mata di pelupuk mata Willa semakin menggenang dan siap untuk jatuh kapan saja. "I hate you!"

Semua orang yang tersisa di ruangan itu hanya mampu melihat kepergian Willa tanpa bisa mencegah.

"Na, lo gak mau kejar dia?"

"Biarin aja."

***

Bekasi, 13 Juli 2023

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang