28. Friend & Lover

365 45 1
                                    

"Kalau ini jebakan untuk kita, mungkin gak akan masalah kalau kita masuk ke perangkap yang salah." Auilla berkata setelah menukar posisi kedua kartu itu di atas meja.

Rae menatapnya ragu. "Lo yakin ini gak lebih beresiko?"

Meski sama-sama merasa tak begitu yakin, si perempuan berambut pendek tetap mengangguk mantap berusaha meyakinkan lawan bicaranya yang sedang diajak bekerjasama.

Auilla memandangi kartu Summerville di tangannya lalu berpindah melihat sekeliling kawasan mini house yang didesain seperti hunian-hunian nyaman di dalam hutan dengan pepohonan sejuk mengelilingi tempat itu. Unit private mini house milik Quinn dan Gabriel sengaja dibangun secara bersebelahan di sisi kanan komplek penginapan.

Pengemudi grab menghentikan laju mobilnya persis di depan pintu masuk Summerville. "Sampai sini aja ya, Kak, setahu saya kalau masuk ke sana harus punya kartu membernya dulu. Kakaknya mau nginep di sini?"

Auilla mengangguk menanggapi pertanyaan sang sopir.

Meski agak ragu karena penumpangnya tak membawa satu pun barang bawaan kecuali tas ransel sekolah berukuran kecil yang menempel di punggung, Bapak Pengemudi Grab tetap tersenyum mengiakan balasannya. "Selamat berlibur ya, Kak."

Perempuan itu mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar turun dari Avanza putih yang ia tumpangi dari depan komplek perumahannya sendiri sampai ke tempat ini. Ayahnya mengira ia akan pergi bersama Nathanael seperti hari-hari biasa, lalu menggunakan kesempatan itu untuk diam-diam berlari ke pos satpam lalu memesan kendaraan online dari sana. Auilla juga berbohong pada kekasihnya dengan mengatakan bahwa ia akan pergi diantar sopir Sang Ayah. Dia sudah bilang mungkin akan terlambat datang karena menemani Nenek cek kesehatan sebelum berangkat sekolah. Padahal yang dicek hari itu adalah rumah kecil milik mendiang sahabatnya, Gabriella Sofya.

Kedua unit di sisi kanan komplek penginapan semakin terlihat jelas setelah Auilla menelusuri langkah demi langkah melewati pintu masuk Summerville. Meski terlihat tak ada beda antara satu sama lainnya, tetapi memiliki inisial nama berbeda yang sama-sama terbuat dari ukiran mahal kayu cendana.

Seingatnya, ukiran kayu itu sudah ada sejak kedua bersaudara pertama kalinya mengajak mereka berkunjung untuk merayakan liburan akhir tahun sekaligus merayakan pencapaian keduanya yang berhasil meraih gold medal dari Global Science Competition di tahun pertama masuk Middle School. Orang tua mereka menghadiahkan masing-masing satu unit rumah sebagai bentuk apresiasi dan motivasi agar lebih banyak lagi medali yang didapat.

Auilla dulu sempat merasa iri, ingin merasakan apa yang mereka rasakan juga. Kenapa bisa hanya dengan modal menang lomba mereka bisa langsung dihadiahi rumah yang sebagus itu. Dulu ia masih belum mengerti. Sekarang apa yang terlihat di depan matanya terasa semakin biasa semenjak perempuan itu memahami seperti apa cara otak manusia dewasa bekerja. Hunian itu tidak diberikan secara cuma-cuma dengan hanya ditukar dengan gold medal. Harus ada timbal balik yang lain di belakangnya.

Kenaikan saham perusahaan setelah kedua gadis muda ramai dijadikan motivasi publik misalnya.

Entah masih terlalu pagi atau memang rumah-rumah sewa itu kosong tanpa pengunjung.  Sejauh ini, Auilla tak menjumpai aktivitas apapun di wilayah itu meski waktu sudah hampir menunjuk angka delapan. Pos pendakian juga masih sepi tanpa penjaga, seolah memang sengaja tidak dioperasikan oleh sang pemilik dan pihak pengelola.

Melihat pos pendakian di ujung jalanan berpaving yang ia pijak, Auilla langsung berpikir soal kekasihnya yang---ia yakini sampai detik ini---masih menyimpan banyak kebohongan di belakangnya.

Klik.

Pintu rumah itu terbuka, menyerang Auilla dengan ratusan memori dari masa lalu yang menyesakkan dada. Ia menarik napas dalam-dalam, bersiap menelusuri mini house yang dulu sering mereka datangi untuk saling berbagi rahasia.

"Tebak, siapa yang barusan ngajak aku ngedate malam Minggu ini!" Gabriel berumur 14 tahun mendekap erat ponsel pintarnya di depan dada.

Quinn melebarkan mata besarnya yang semakin lucu. "Siapa?"

"Kak Maven?" tebak Auilla yang pada waktu itu masih memiliki rambut panjang sebatas pinggang seperti Quinn.

Yssabelle memekik tertahan, menunggu kalimat konfirmasi dari sahabatnya yang baru pertama kali ini merasakan jatuh cinta. Begitu sang gadis berponi mengangguk, ketiga remaja yang lain segera ikut bersorak ikut merayakan kebahagiaan teman mereka.

"Congratulationnn!"

"Eh, tapi tapi tapi nih, Willa juga lagi naksir cowok tahu!" Quinn dengan sengaja membeberkan rahasianya di hadapan Gabriel dan Yssabelle.

"Oh ya? Siapa? Kok gak pernah cerita, sih!"

"Masa ceritanya cuman sama Quinn aja. Aku sama G gak dianggep teman ya?"

Auilla menggeleng ribut. "Ih enggak gitu ... aku cuman gak ngerti aja gimana cara kasih tahunya. Kalian 'kan sibuk terus."

"Oke. Siapa siapa siapa?" Gabriel mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mendengar jawaban dari Auilla yang wajahnya memerah salah tingkah.

"Buruan dong, Will! Aku udah baik loh kasih kamu moment yang pas banget buat kasih tahu mereka."

"Dia ... Nathanael."

"Nathanael siapa?"

"Nathanael Najendra, G, yang satu kelas sama kamu waktu English Class." Quinn memancingnya untuk kembali mengingat laki-laki yang tengah mereka bicarakan.

Yssabelle memaju-mundurkan bibir tanpa sebab. "Nathanael anak photography bukan?"

"Iyaaa!" sorak Quinn senang.

"I think he's handsome and cool and ... nice."

Auilla mengangguki pendapat Yssabelle tentang anak laki-laki yang disukainya sejak beberapa bulan lalu.

"Ah, that boy? I see. He's not my type, by the way."

Puluhan foto berbingkai yang sengaja ditata rapi memenuhi dinding utama menjadi bukti atas kebohongan yang Gabriel katakan bertahun-tahun lalu. Auilla menggertakkan gigi kuat-kuat, menahan gemuruh di dadanya yang kian merambat naik menggores tenggorokannya, lalu naik lagi ke area mata sampai berakhir di puncak kepala.

Di dalam foto-foto itu, Nael dan Gabriel---dua orang yang paling ia kenal---saling menunjukkan kedekatan di antara keduanya yang tak biasa. Auilla ingin menuduh semua potret yang ia lihat di depan matanya sekarang adalah bentuk dari kecanggihan teknologi yang mudah merekayasa apa saja.

Ia mencari-cari celah kebohongan dari setiap detail gambar sebelum meraih salah satu dari mereka, membawanya lebih dekat, tetapi tetap tak menemukan kejanggalan apa-apa. Gadis itu melempar bingkai yang ia pegang hingga remuk membentur lantai.

"Percuma lagi lo lempar-lempar gitu fotonya. Mereka gak akan merasakan sakit apa-apa."

Auilla berbalik mendapati Hesa berdiri di ambang pintu yang masih setengah terbuka.

"Kenapa? Kaget ya?" Langkah kaki panjang laki-laki itu berjalan mendekat ke arah Auilla yang secara refleks langsung mundur, penuh waspada. "Gue juga kaget karena tiba-tiba lo ada di sini. Ke mana temen lo yang suka selingkuh it--ups! Semua temen lo emang suka selingkuh, ya? Lihat deh."

Auilla mengikuti arah telunjuk Hesa pada sebuah foto berbingkai yang mengabadikan potret Nael bersama Gabriel di kamar laki-laki itu yang sudah ia hafal tata letaknya di luar kepala.

"Siapa yang harus lo benci seharusnya?"

"Mau lo apa?" Perempuan itu menatap lawan bicaranya dengan berani.

"Gue sih maunya Rae yang dateng ke sini. Tapi, lo juga gak apa-apa deh. Sama-sama kaget juga kan lihat ini?"

"Lo mau uang itu, kan?

Hesa tersenyum menyeringai yang menyebalkan. "Lo selalu tahu apa yang paling gue mau, girl."

***

Bekasi, 25 Agustus 2023

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang