30. Behind Me

315 46 2
                                    

Dengan tegas Auilla menolak kedatangan Nael yang bermaksud untuk menjenguk, melihat keadaannya seusai mengalami kecelakaan sampai harus dioperasi karena patah tulang kaki. Sejak hari pertama hingga sekarang hari ketiganya beristirahat di ruangan serba putih kamar VIP Summerville Hospital Center, Auilla selalu membuat bermacam-macam alasan agar tak satupun dari mereka mampu mengunjunginya di sana. Masih trauma setelah kecelakaan, masih butuh istirahat sendiri, sedang dikunjungi keluarga, atau banyak lagi.

"Temen kamu yang namanya Rae ada di depan, tuh, Papa harus bilang apa sama dia biar dia pergi?"

Hari itu Papa mengunjunginya di jam kantor sebelum makan siang untuk memastikan putri cantiknya makan dengan lahap sebelum minum obat, menggantikan tugas Mama yang hari itu mendadak diserang sakit kepala. Pria itu baru kembali dari kantin rumah sakit setelah membeli rice bowl chicken teriyaki untuk Auilla yang tiba-tiba mogok makan-makanan pasien.

"Dia disuruh masuk aja, Pa, gak apa-apa."

Gerakan tangan Papa mengeluarkan mangkuk dan peralatan makan yang lain dari dalam kantung belanja tiba-tiba terhenti. Beliau menelisik wajah putrinya lekat-lekat untuk memastikan sudah tidak ada lagi kekhawatiran dalam sorot matanya---seperti yang sudah-sudah---lantas mengangguk. "Tapi, Papa gak bisa lama. Gak apa-apa?"

"It's okay, kan ada suster."

Papa memasang overbed table food di atas ranjang agar anak gadisnya tak merasa kesulitan saat makan lalu meletakkan mangkuk, sendok, sumpit, dan botol minumnya juga di atas sana. "Kalau gitu Papa tinggal ya? Nanti Papa kasih tahu Mama biar Bibi di rumah jagain kamu di sini."

Auilla membiarkan Papa mencium puncak kepalanya. Rambutnya wangi berkat Mama yang sudah tidak sanggup melihat rambut lepek anak gadisnya, lalu dengan susah payah beliau membantu Auilla mencuci rambut menggunakan baskom khusus dari pihak rumah sakit karena ia belum bisa mandi di kamar mandi atau berdiri terlalu lama.

Harum shampoo beradu dengan aroma sedap ayam teriyaki di hadapannya.

"Makan yang banyak dan jangan lupa minum obat ya. Papa pantau kamu terus dari suster."

Auilla mengangguk patuh. Liurnya meleleh melihat potongan ayam dan nasi yang bentuknya normal, tidak terlalu lembek seperti nasi yang biasa dibawakan untuknya beberapa hari belakangan. Dia jelas akan makan banyak hari ini.

"Nanti Papa panggilin temen kamu juga."

Tidak lama setelah itu, saat Auilla baru akan menelan kunyahan keduanya, Rae muncul dari balik pintu yang ia buka perlahan-lahan. "Lo bikin gue khawatir sampai mau mati tahu gak lo!" Ia menghampiri ranjang Auilla dengan kesal seolah-olah ingin mencakar atau menjambak rambut pendeknya, tetapi urung dia lakukan sebab status gadis itu sekarang masih menjadi pasien rumah sakit ini andai dia lupa. Rae bisa dituntut pasal berlapis atas tindakan mencelakai pasien yang juga termasuk pembunuhan berencana.

Laki-laki itu berakhir meninju udara sebagai bentuk penyaluran rasa kesal sekaligus lega. Matanya sudah melihat secara langsung dan jelas keadaan Auilla yang makan dengan sangat lahap yang langsung ia artikan dengan: gadis itu sudah sembuh dari segala penyakit.

Manusia yang menjadi objek kekesalan Rae masih tak menggubris situasi di sekitarnya. Dengan tenang dan penuh penghayatan, Auilla menikmati menu makan siang pertamanya yang bukan berupa nasi lembek, tumis brokoli, ayam goreng, dan sayur sop yang sama-sama dimasak dengan ciri khas minim bumbu. "Kalau khawatir kenapa baru dateng sekarang?"

"Lo bahkan gak ngizinin cowok lo buat jenguk, La. Gimana gue?"

"Justru gue gak ngizinin mereka masuk karena gue belum ketemu sama lo."

"Lo kenapa gak bales chat gue? Kirim surat lah minimal biar gue tahu."

"Hape gue hilang. Dirampas kali sama orang yang udah bikin gue jadi gini."

Rae menarik kursi lalu duduk menghadap Auilla yang sedang menikmati makan siang meski baru jam sepuluh lewat sedikit. "Siapa pelakunya? Gue denger polisi gak bisa melacak siapa-siapa di tempat itu."

Auilla menelan kunyahannya sebelum membalas pertanyaan Rae. "Pelakunya orang yang sama yang udah bikin lo sama Yssabelle celaka waktu itu."

Dahi Rae berkerut-kerut samar.

"Ada satu fakta lagi yang harus lo tahu. Tapi gue gak yakin lo mau percaya sama gue atau enggak, Re." Perempuan itu kembali menyuap sepotong besar ayam teriyaki dan separuh sendok nasi ke dalam mulutnya. Sengaja memberi waktu lebih lama untuk Rae menunggunya selesai sembari bersiap mendengar apa yang akan ia suarakan.

Laki-laki itu menarik selembar tisu di atas meja nakas untuk mengelap bumbu teriyaki yang belepotan di bibir Auilla. Sampai gadis itu berucap tak yakin akan membuatnya percaya, itu berarti ada sesuatu yang tak ia percayai juga, tetapi benar-benar terjadi atau terlihat di hadapannya sebelum ini. Bisa jadi sesuatu yang gadis itu lihat saat mengunjungi Summerville tiga hari lalu.

"Apapun itu kalau lo udah berusaha buat percaya, gue juga akan berusaha buat jadi seperti lo."

Auilla mengangguk, membuktikan ucapan laki-laki itu dengan rentetan kalimat setelahnya. "G punya hubungan dengan cowok lain di belakang lo. Jauh sebelum lo punya hubungan dengan Belle di belakang G, sebelum lo merasa bersalah sampai hampir mati karena nyakitin dia, G udah duluan nyakitin lo, Re. Tapi lo gak pernah tahu."

"Lo boleh percaya boleh enggak, tapi cowok yang G temuin di belakang lo itu ... cowok gue."

Rae tidak akan tahu Auilla menangis andai gadis itu tidak mengusap dagunya lalu kembali menyendok makanan dengan punggung tangan basah bekas air mata. Suaranya tidak terdengar bergetar sama sekali, ekspresi wajahnya pun tak menunjukkan kesedihan yang berlebihan. Sekilas ia hanya terlihat sedang makan dengan tenang, tetapi air matanya mengalir tanpa bisa gadis itu cegah sendiri.

Laki-laki itu menunggu sampai gadis di hadapannya selesai makan siang. Ia membukakan tutup botol saat Auilla merasa kesulitan, lalu menyingkirkan mangkuk bekasnya makan sekaligus menyimpan kembali overbed table food di tempatnya semula.

"Terus ... lo sendiri gimana? Lo percaya dengan apa yang lo lihat atau lo masih percaya Nael?" Rae bertanya sambil mengelap telapak tangan Willa yang tak sengaja menyentuh ujung sumpit yang kotor dengan tisu basah. Hubungan Nael dan Auilla jauh lebih lama dibandingkan dengan hubungannya dengan Gabriel yang baru dimulai setelah ia terdaftar menjadi siswa Saintama. Melihat keadaan gadis itu yang tak bisa biasa setelah mengungkapkan rahasia Gabriel, yang juga menyangkut rahasia Nathanael, membuatnya berpikir bahwa di sini bukan dia yang seharusnya bersedih, tetapi Auilla.

"Gue masih pengen percaya Nael, tapi semua yang gue lihat gak bisa bikin gue gak percaya. Everything looks so real, Re," katanya. Kali ini dengan suara yang lebih berat dan tercekat dari pada sebelumnya.

"Lo lihat semuanya di mini house dia?"

Auilla mengangguk. Sedikit mulai sesenggukan.

"G pernah bilang dia lagi nyiapin sesuatu buat gue di sana, apa mungkin dia sengaja mau nunjukin ini? Makanya dia ninggalin kartunya di galeri gitu aja."

"Kalau semuanya G yang siapin, kenapa Hesa juga bisa ikut tahu? Dia tahu kalau orang yang seharusnya datang ke sana itu elo, bukan gue."

Rae menatap mata Auilla yang masih basah dan memerah.

"Lo tahu kan seberapa dekat dia dengan bokap gue? Gue gak bisa, Re."

***

Bekasi, 28 Agustus 2023

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang