15. Behind The Wheel

337 48 1
                                    

Pesta ulang tahun Rae akan digelar di sebuah bar & lounge yang dulunya sering mereka datangi bersama Gabriel sejak baru mengantongi kartu tanda kependudukan diusianya yang baru menginjak 17 tahun. Meski belum dianggap legal untuk mendatangi tempat seperti itu, Gabriel selalu punya 1001 cara untuk menyelinap masuk dengan tenang tanpa masalah.

Nael menatap kekasihnya tanpa berkedip sejak pertama kali perempuan itu datang di hadapannya. Takjub melihat keindahan ciptaan Tuhan yang dipahat paling sempurna---di matanya---tanpa cela. Bagaimana bisa selembar kain satin yang polos terlihat begitu mewah di tubuh kurus itu. Bagaimana bisa warna pink yang tak pernah terlihat menarik untuknya, menjadi objek yang paling membuatnya tak ingin berpaling.

"You're so pretty, Babe," pujinya antara sadar dan tidak sadar.

Auilla yang ditatap begitu merasa tersipu namun juga kesal. Ia merasa percaya diri berkali-kali lipat, merasa keputusannya memilih dress satin dari koleksi The 4our memang tak akan pernah salah. Buktinya laki-laki yang masih berstatus sebagai pacarnya secara terang-terangan menunjukkan seluruh kekagumannya lewat tatapan mata dan suara yang sedikit memberat.

Tapi sekarang masalahnya hubungan mereka masih belum diperbaiki. Pertengkaran setelah diskusi di private study room milik Quinn menjadi momen terakhir mereka bicara. Keduanya sama-sama menghindari satu sama lain dalam beberapa hari terakhir. Padahal Willa ingin---setidaknya---laki-laki itu meminta maaf, meski tak langsung mengejarnya pergi. Bukan tiba-tiba muncul, lalu bertingkah seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Willa mendengus. Gampang sekali melupakan kejadian itu sementara dirinya dibuat kepikiran sepanjang waktu.

"Ngapain?" tanyanya malas.

"Pick you up, My Princess." Nael tersenyum lebar.

"Gue bukan princess lo." Willa berlalu hendak menghampiri mobil sang papa yang terparkir di halaman lengkap dengan sopir pribadinya yang siap mengantar ke mana pun ia mau.

Nael mencegah. "Kamu pergi bareng aku."

"Gak. Gue bisa berangkat sendiri."

"Aku, Babe. Not gue," ralatnya.

"Auilla, bukan Babe!" balas Willa tak mau kalah. Kemarahannya kemarin bukan hanya karena mereka terlihat seperti menyembunyikan sesuatu atau mencoba merencanakan sesuatu di belakangnya, tetapi juga karena laki-laki di hadapannya ini secara sadar meninggikan suara, menyuruhnya berhenti seolah-olah dialah yang paling bersalah hari itu.

Quinn, Noah, dan Yssabelle juga kompak  mendiamkannya sepanjang hari. Semakin mempertegas bahwa mereka merasa tak bersalah atas pertengkaran yang terjadi sebelumnya.

"Masih belum berangkat, Ka---lho ... ada Nael? Tadi katanya Nael gak bisa jemput, kok sekarang udah di sini aja?"

"Kata siapa gak bisa, Pa?"

"Willa tadi bilang kamu sibuk, makanya gak bisa jemput ke sini dulu." Bayu Baskara memasukkan tangan ke dalam saku celana sebelum turun tiga tangga mendekati kedua remaja yang selalu ia lihat bersama. "Kalau udah dijemput gini berarti driver Papa udah bisa disuruh pulang ya sekarang?"

Perempuan itu ingin melayangkan protes karena biar bagaimana pun ia enggan satu mobil dengan Nael. Ia tetap ingin pergi diantar sopir agar tidak perlu berduaan dengan laki-laki itu sepanjang perjalanan menuju tempat pesta yang lumayan jauh dari rumahnya.

"Bisa dong, Pa," sahut Nael tanpa persetujuan pihak lain. Laki-laki itu mengerling ke arah Willa. "Putri Papa aman sama pangerannya."

"Bagus deh. Besok Papa ada meeting pagi, jadi driver Papa juga harus stay pagi-pagi, kasihan kalau dia pulang kemaleman. Have fun ya, Sayang."

Willa mau tak mau harus berakhir duduk di jok mobil Nael seperti hari-hari biasanya. Jok yang terasa aneh setelah beberapa hari ini mobilnya tak ia tumpangi. Nael pasti membawa penumpang lain di mobil ini. Suasana hatinya turun semakin drastis memikirkan seseorang mungkin duduk menggantikannya di kursi itu.

"Kemarin aku main bareng Noah," kata Nael di tengah kegiatan si princess memperbaiki posisi sandaran jok.

"Gak nanya."

"Tapi muka kamu bete gitu. Pasti lagi mikirin siapa cewek yang aku anter pulang selama kamu gak ada, kan?" tanyanya atas dasar decakan kecil yang ia dengar dari bibir gadisnya sewaktu mereka masih bersiap memasang seatbelt.

Si perempuan tak menjawab.

Nael melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah Willa yang hampir ia kunjungi setiap hari sangking seringnya. "Aku gak pernah bawa cewek lain selain kamu. Kemarin itu Noah, bukan cewek lain," lurusnya.

Willa masih tak menjawab, namun secara diam-diam merasa lega atas penjelasan laki-laki itu.

"Aku ... minta maaf ya soal kemarin."

"Baru sekarang?"

"I just wanna give some time for us to think better. Aku gak mau kita yang sama-sama marah waktu itu bikin suasananya makin buruk."

"Kamu marah sama aku?!" Willa langsung menoleh tak percaya.

"Sayang, denger dulu." Nael membasahi bibirnya yang terasa kering. Kedua tangan laki-laki itu masih fokus mengemudi meski matanya sesekali melirik wajah kekasihnya yang nampak kecewa. "Aku gak bermaksud buat marah sama kamu hari itu, tapi ... you know, kita semua sama-sama bingung mikirin siapa pembunuh G. Aku gak sengaja buat bentak kamu, aku minta maaf."

"What are you hiding from me? Apa yang gak aku tahu dari Kiar?"

Nael meraih tangan Willa, membawanya mendekat untuk dikecup tanpa ditolak. Diperhatikannya wajah cantik itu cukup lama seiring harum manis dan gurih serupa aroma susu yang menguar dari pori-pori tangan kekasihnya mulai menyapa hidung. Traffic light di perempatan jalan masih berwarna merah, tersisa waktu 20 detik untuk menghirup wangi candu itu sebelum kembali melajukan kendaraannya.

"G has something hidden in her S-card. Dan Kiar udah tahu. Dia mengincar kartu itu lebih dari dia mengincar si pelaku, makanya kita gak bisa percaya sama dia. Quinn juga udah sering bilang ini sama kita, kan, Sayang?"

"What's in her S-card?" Willa terus menatap wajah Nael yang hari itu nampak lebih segar dengan rambut yang distyling rapi. Tak ingin sedetik pun melewatkan ekspresinya yang barangkali bisa dibaca.

Nael terlihat menimbang. "A lot of ... money? Aku juga gak tahu, tapi Quinn bilang begitu." Laki-laki itu bisa lebih santai waktu Civic yang dikendarainya berhasil masuk ke jalan tol yang lancar tanpa hambatan. "Kamu tahu kan VIP S-card gak punya batasan saldo alias unlimited? G gak sembarangan jadi VIP, dia punya rencana di balik itu, tapi kita semua gak pernah tahu."

"Kamu juga mau uang itu?"

"Aku? Buat apa? Aku sama sekali gak tahu soal uang itu. Lagi pula uang itu juga belum jelas dari mana asalnya, kan?"

"Kalau jumlahnya besar, kamu tetap gak mau tahu soal uang itu?"

"Babe, besar atau kecil nominalnya, kamu tahu aku gak gampang tergoda."

"Terus mereka?"

"Mereka?" Nael balik bertanya. "Quinn, Noah, Yssa---"

"Kamu yakin mereka gak tergiur soal uang itu?"

Ia terkekeh. "Babe, ya gak lah! Mereka sama-sama orang kaya. Buat apa mereka tergiur sama hal-hal kayak gitu."

Willa merasa Nael masih belum berekspektasi besar soal uang yang teman-temannya cari. Laki-laki itu masih menganggap enteng kasus ini dengan ketidakpeduliannya yang seperti biasa. "Jadi, kartu itu lebih baik jatuh di tangan kita sebelum Kiar?" Ia menarik kesimpulan.

Nael mengangguk. "Quinn keluarganya, dia berhak atas G's S-card dan private room."

"Gimana kalau kamu salah, Na?"

***

Bekasi, 18 Juli 2023

Who Killed My G? (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang