CHAPTER 08 : °Billing and Request°

109 32 6
                                    

Happy Reading and enjoy! 💗

>>>

Hari senin upacara akan dilaksanakan. Semua siswa-siswi berbondong-bondong berjalan menuju lapangan. Tepat sebentar lagi waktu menunjukkan pukul 06.57. Nea dan Fanasya memutuskan jajan makanan ringan dulu di kantin. Agar saat upacara nanti berjalan keduanya tidak bosan. Tidak hanya ada mereka saja, anak-anak kelas lain pun ada.

"Semuanya ke lapangan cepat!" suara berat itu menggema di sepanjang kantin.

Nea tahu pemilik suara itu. Itu Abizar--ketua osis tahun ini. Setelah mendapatkan uang kembalian. Langkah keduanya terhenti saat Abizar dan Dafa--wakil ketua osis menghadangnya dari depan.

"Ngapain lo pada di sini?" tanya Abizar datar.

"Lagi gibah, kenapa? Masalah?" Nea membuka permen milkita itu dan memakannya.

Abizar dan Dafa kompak menggeleng.

"Gue ingetin hari ini, lo masih ada hutang setor sama gue, Nea. Baru berapa? Oh, gue tahu baru 2999. Sorry kalau gue benar." Abizar tersenyum lebih tepatnya mengejek.

"Iya, Zar. Tenang aja gue bakalan nuntasin itu semua kok. Iya kan, Sya." Nea menepuk bahu Fanasya di sebelahnya.

"Yakin?" Dafa mengeluarkan suara.

Nea menatap Dafa dengan satu alis terangkat. "Lo ngeraguin gue, Daf? Wah lo nggak tahu gue ini siapa."

"Kita ke lapangan, yu. Kayanya udah mau mulai." Fanasya menarik tangan Nea karena tak ingin berlama-lama dihadapan osis itu.

Saat Nea dan Fanasya pergi. Abizar yakin Nea tidak akan mampu menyelesaikan tantangannya itu. Seolah sejalan pikiran antara dua cowok itu kini tersenyum penuh arti. Dengan begitu Abizar bisa menjadikan Nea babu dibawah kekuasaannya.

•••

Satu jam berlalu setelah dilaksanakan upacara. Laki-laki yang memakai jam tangan hitam itu menyugarkan rambutnya. Fikri Laskara terlihat fresh berbeda dengan Fathir yang sedari tadi tak henti-hentinya mengeluarkan api naga. Jika Reigan, cowok itu terasa kakinya sangat pegal. Karena dihari libur dia tidak sempat berolahraga.

"Kak Fiksi! Tunggu, Kak!"

Suara teriakan dari arah kooridor menghentikan langkah ketiga cowok itu di tengah-tengah anak tangga.

Nea berjalan mulai berjalan pelan sambil menetralkan napas yang ngos-ngosan itu. Jangan lupakan dengan barang bawaan keranjangnya. Ya! Gorengan.

Ketiga pasang mata itu menatap Nea.

"Gue kira udah pindah jadi ke pabrik. Ternyata masih ada," ucap Fathir pelan.

Nea gugup asli. Terlebih saat melihat Fikri begitu terlihat ganteng sekali hari ini. Sebisa mungkin ia menutupi kegugupan dengan basa-basi.

Sebelum Nea mengeluarkan sepatah kata. Fikri lebih dulu.

"Apa? Mau nyuruh gue beli itu? Jawabannya tetep enggak." Fikri bersedekap dada.

"Bukan Kak. Kakak hari ini ganteng banget sih. Nea jadi makin cinta, duh."

"Iya, makasih," sahut Fathir tanpa dosa.

"Oh iya, Kak Fiksi buruan beli dong, Kak. Satu aja nggak pa-pa."

"Cabut!" ujar Fikri. Ketiganya berjalan je arah kooridor di lantai dua.

Nea berlari dan menghadang ketiganya. "Kak Fiksi, plis beli atuh, ya? Jualan aku nggak ada yang beli dari tadi," ujar Nea memasang wajah melas.

Fikri memutar bola matanya malas. Dia banyak melihat orang yang berlalu lalang. "Woy! Lo semua mau beli gorengan nggak? Gratis nih."

Saat mendengar kata gratis. Seketika orang-orang itu mengelilingi jualan Nea. Dengan begitu Fikri, Reigan dan Fathir kembali berjalan tanpa ada yang memberhentikannya.

Melihat punggung tegap itu pergi Nea hanya bisa mengela napas berat.

"Ini rill gratis?" tanya cowok tengil adik kelasnya itu.

Nea menggeram marah. "Beungeut sia hurung! Bayarlah, bisa-bisa gue bangkrut."

"Galak pisan anjir."

•••

Bel pulang sudah berbunyi satu menit lalu. Siswa-siswi mulai berpulangan. Matahari di sore itu sangat terik. Nea akan menunggu jemputan Mamanya di halte saja. Namun, niatnya itu terurung kala melihat Fikri di parkiran akan mengeluarkan motornya. Nea inisiatif menghadang seperti biasa di depan motor itu.

"Gue kasih jalan asal Kak Fiksi mau beli gorengan gue."

Fikri yang baru duduk di jok lantas menyalakan motornya dan mengklakson hingga menimbulkan atensi orang-orang.

"Minggir lo."

Nea tak ingin kalah dengan tatapan tajam Fikri. Justru dirinya semakin melotot ke arah Fikri dengan kedua tangan di pinggang.

"Beli dulu, baru gue minggir."

"Gue bilang minggir, Jamet!" Fikri menggerung-gerung motornya yang tanpa knalpot berisik itu. Karena motor Fikri bukanlah motor ninja.

Nea malah semakin santai bertopang dagu di stang motor milik Fikri. "Emang susah ya? Padahal tinggal lo beli gorengan gue habis itu udah. Sesusah itu?"

"Yaudah gue beli, lo awas dulu," ujar Fikri ketus.

Dengan begitu Nea langsung bergembira. Gadis itu beralih kepinggir akan tetapi cowok itu sudah lolos pergi begitu saja. Asli! Nea kesal karena dibohongi. Ditambah lagi si cowok osis menyebalkan tengah berjalan menghampiri sambil menertawai.

"Mau sampai kapan, hm? Udah hampir satu tahun lho. Lebih malah." Abizar memainkan lidah di dalam mulut. Sepertinya gayanya kali ini cukup membuat gadis di hadapannya takut tak karuan.

"Plis, kasih gue kesempatan untuk beberapa hari, Zar." Nea menyatukan kedua telapak tangannya.

"Well, gue harap lo nggak lupa sama hadiahnya kalau lo kalah. Gue duluan, Bro." Abizar menepuk sekali bahu Nea yang lemas itu sebelum akhirnya dia pergi.

- To be continued -

Terima kasih sudah membaca dan meluangkan waktunya 💗

Ada yang masih baca ceritaku kah???

°Sabtu 25 Nov 2023.°

Sorry, I'm not romantic Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang