Lambang POV
Seminggu berlalu sejak pemakaman Anindya. Aku menjual apartemenku, karena ku pikir lebih baik aku dan Sandy junior tinggal bersama orang tuaku. Sandy sudah bisa membuka matanya. Irisnya berwarna biru gelap, seperti dalamnya samudera. Hatiku selalu damai saat menatap mata gelapnya itu, seakan aku tertarik ke dalamnya.
Awalnya mama, papa, om Bima dan tante Sani kaget dengan kedatanganku yang membawa putraku. Namun, setelah aku bercerita panjang lebar, mereka semua bisa menerima kehadiran Sandy. Dan yang paling bahagia dengan kedatangan Sandy adalah Adine. Bocah itu sekarang punya adek baru.
"Om Lambang, dek Sandy mana?" teriak Adine masuk ke kamarku. "Dek Sandy lagi bobok. Jangan diganggu ya sayang". Adine mengangguk setuju dengan senyuman manisnya. Anak itu lebih mirip Mada kalau tersenyum seperti itu. "Sini om Lambang minta cium dulu" kataku yang disambut ciuman Adine di pipi kananku.
"Lambang" kata suara dari tablet yang dibawa Adine. Lalu Adine melihat layar tabletnya. "Ayah, dek Sandynya lagi bobok, jadi Adine gak boleh ganggu" kata Adine ke seseorang disana yang aku yakin adalah Damar.
"Ya sudah, nanti kalau dek Sandy sudah bangun kasih tahu Ayah ya sayang. Sekarang tolong kasih tablet Adine ke om Lambang ya. Ayah mau ngomong sama om Lambang" kata Damar. Adine langsung menyerahkan tabletnya dan langsung naik ke ranjangku tidur di samping Sandy.
Ku lihat Damar tersenyum. "Selamat ya ayah baru". "Terima kasih" jawabku.
"Anindya mana?" tanyanya. "Anindya meninggal karena pendarahan yang hebat setelah melahirkan Sandy. Bahkan dia belum sempat melihat putranya". "Tak apa Lambang. Kau jangan menyesali semua yang telah terjadi, ini semua sudah digariskan. Jadi kau memberi nama putramu dengan nama Sandy?" kata Damar. Aku mengangguk.
"Sandya Samana Dewantara. Sandya, aku dapat nama itu dari gabungan nama Sandy dan Anindya. Samana berarti nafas hidup, karena keduanya telah memberi nafas cinta pada hidupku. Dari mereka aku belajar memahami arti ketulusan cinta. Dewantara, aku ambil dari nama terakhirku" jawabku.
Lagi-lagi Damar tersenyum. "Apa kau akan menikah lagi? Usiamu masih sangat muda dan kau punya ketampanan dan kemapanan" tanyanya. "Tidak. Aku tak akan menikah lagi, kecuali dengan Sandy" jawabku.
Wajah Damar berubah pucat pasi. "Apa ada yang salah dengan ucapanku?" tanyaku. "Tidak" sergahnya. Lalu ku lihat Mada kini berada di samping Damar.
"Maaf Lambang. Tapi keadaan Sandy yang sekarang telah berbeda dari yang terakhir kali kau bertemu dengannya" kata Mada. Hatiku terasa panas, amarahku membakarnya dengan kobaran yang sangat besar. Mataku terasa panas dan lelehan air mata meluncur turun dengan sendirinya.
"Apa Sandy baik-baik saja? Apa dia bahagia? Apa kalian sudah bertemu dengannya?" tanyaku. Mada mengangguk pelan untuk menjawab semua pertanyaanku.
"Kenapa kalian tak mengabariku?" protesku. "Kami masih belum siap memberi kabar ini padamu. Karena Sandy juga berjuang sendiri untuk mendapat kebahagiaannya disini" jawab Mada.
"Ini semua salahku. Harusnya aku tak mengkhianati cintanya". "Lambang, dengarkan aku. Kau tak salah, sudah ku bilang ini semua telah digariskan untuk kalian. Jika kau tak menikah dengan Anindya, maka Sandy kecil tak pernah ada di dunia ini" sahut Damar.
Damar memang benar, aku harusnya tak menyesali semua ini. Aku yakin semua akan kembali seperti dulu, Vocalocious akan berkumpul lagi di saat yang tepat.
Adine duduk di sampingku dan mengusap air mataku. "Om Lambang jangan nangis ya. Ayah sama Daddy nakal. Om Lambang kan gak jahat, kok malah dimarahi sampai nangis gini" celetuk bocah kecil itu. Aku tersenyum, ku lihat Damar dan Mada seperti beku karena ucapan Adine.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harmoni Cinta, Sandyakala
FanfictionCerita kedua ini adalah lanjutan dari Aksara Cinta Mada, namun di cerita ini Saya fokuskan pada kisah cinta Sandyakala Bagas Prakoso. Masih dengan konten yang sama yak, jadi bagi Homophobic tolong jangan cerca cerita ini, tapi kalau mau baca juga y...