{13} Acceptance

4K 334 29
                                    

Sandy POV

Aku terbangun dari tidur panjangku. Ku rasa seharian ini aku tak sadarkan diri untuk merapel jam tidurku. Ku lihat jam yang ada di meja kecil di sebelah ranjang Damar, sudah jam 11 malam. Aku bangkit dengan tubuh yang terasa sangat berat.

Kepalaku terasa pusing memikirkan ucapan Chris. Dia mendekatimu hanya karena kemampuanmu bermain violin. Deeeeggggghhh, rasa perih itu kembali menggelayut dalam hatiku. Mengirisnya tanpa ku sadari.

Rongga dalam leherku terasa kering sekali. Aku keluar dari kamarku, menuju dapur untuk mengambil minum. Ku lihat, dua sahabatku berada di depan televisi yang sepertinya sedang menonton mereka.

Ku coba mendekat untuk memeriksanya. Damar telah terlelap tidur di pangkuan Mada. Raden sendiri bersandar di sofa yang menyangga punggungnya dengan nyaman. Aku berbalik menuju arah meja makan dengan pelan, tak ingin membuat suara gaduh yang bisa membangunkan mereka.

"Kau sudah bangun ya?" Aku sedikit terlonjak mendengar suara Mada. "Ku pikir kau telah lelap tertidur" jawabku.

"Aku belum tidur, Lala. Apa kau lapar?" tanyanya. "Tidak, aku hanya haus. Aku ingin minum" sahutku.

Mada bangun dari posisinya setelah dia berhasil memindahkan kepala Damar dan menyangganya dengan bantal empuk.

"Apa keadaanmu sudah membaik?" tanya Mada dengan senyumnya yang mendamaikan. Aku tersenyum tipis, "Ya kurasa".

"Kau tak bisa membohongiku Lala" katanya yang membuatku tersudutkan. Mada selalu mengerti isi hatiku meskipun aku telah berusaha menyembunyikannya di balik senyumanku.

"Meski kau tersenyum, matamu tak akan pernah bisa berbohong Sandy". Mada kini berjalan ke arah lemari es dan duduk di meja makan setelah mengambil sebotol air dan gelas. "Duduklah" katanya.

Aku mendekat dan duduk di sebalahnya. "Kau bisa mengeluarkan semua beban hatimu sekarang. Kau bisa membaginya padaku. Kau tak harus menanggung sendiri, Sandy" kata Mada.

Dadaku terasa hangat mendengar ucapan Mada. Kenapa aku baru sadar bahwa aku punya sahabat yang selalu bersedia kubagi beban hatiku.

"Aku bingung harus mulai dari mana, Den" kataku dengan suara serak. "Minumlah dulu, baru kau cerita" katanya sambil menyerahkan gelas yang terisi penuh. Aku meneguk semuanya seperti orang yang baru saja berjalan di gurun di tengah hari dan kehabisan bekal perjalanan. Mada tertawa kecil, tapi itulah yang ku butuhkan sekarang. Suasana yang santai.

"Kau pasti sudah tahu kalau Lambang sudah menikah kan?" kataku pada Mada. Dia mengangguk.

"Bukan itu yang membuatku pergi sejauh ini. Aku hanya ingin mewujudkan impianku yang telah lama aku urungkan, karena dulu Bapak ingin semua anaknya menjadi Polisi. Tapi aku tak bisa menikmati profesi itu" lanjutku.

Aku mulai menceritakan perjalananku hingga aku sampai ke Dublin. "Lalu, siapa Sarfarraz itu? Dia pacar barumu ya?" tanya Mada yang mulai penasaran.

"Bukan. Dia bukan pacarku. Aku membencinya, karena dia mendekatiku hanya karena cara bermain violinku mirip dengan Katherine, kekasihnya yang telah lama tiada" jawabku dengan ketus.

"Oh begitu. Ternyata ada yang patah hati nih?" kata Mada yang terdengar seperti ingin menggodaku. "Raden please, jangan mulai menggodaku seperti itu. Aku serius" sergahku.

"Apakah dia yang mengatakan hal itu padamu?" tanya Mada. Aku menggeleng, "Chris yang bilang padaku". "Lalu kau mempercayai Chris begitu saja?" Mada mulai mendesakku dengan pertanyaan kritisnya. "Aku --" belum sempat aku melanjutkan jawabanku, Mada telah memotongnya.

"Kau bodoh Sandy. Kau kabur dari masalahmu, bahkan sebelum mendengarkan penjelasan Sarfarraz". "Mada --" suaraku tertahan di tenggorokan.

"Kenapa kau tak pernah memikirkan perasaannya? Aku tahu kau sangat mencintai Sarfarraz, begitu juga dirinya. Meskipun aku belum pernah bertemu dengannya, tapi aku yakin dia adalah orang yang baik" kata Mada yang membuatku tersentak dan menyadarkanku dari bayang-bayang yang telah menutupi akal sehatku.

Harmoni Cinta, SandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang