8. Senja, Diam, dan Rony

7.8K 458 27
                                    

Salma terbangun, meraih ponsel disampingnya, jam empat pagi. Salma mencari kacamatanya, namun baru tersadar bahwa dia sudah tidak memakai kacamatanya sejak kemarin sore, saat bersiap untuk perform. Pasti kacamata itu ada di ruang makeup.

Salma memutuskan untuk mengambil kacamatanya, ia menarik asal hijab instan, mulai membuka pintu kamar.

Langkahnya gontai menuju ruang makeup, gedung ini lenggang, hanya ada suara beberapa crew yang masih sibuk. Salma mengernyit saat sampai di ruang makeup, ia berusaha memfokuskan penglihatannya, menatap seseorang yang tertidur diatas sofa.

Salma menghampirinya, terkejut saat mengetahui bahwa Rony lah yang tertidur disana, tangannya menutup setengah wajah. Ia tidak kaget kalau mendapati Rony tidur di sofa ketika siang hari, tapi ini, jam empat pagi? Kenapa dia tidak ke kamarnya?

Salma memutuskan untuk membangunkan Rony, kegiatan mereka nantinya akan semakin padat. Rony pasti tidak nyaman dalam posisi tidur ini, ketika bangun tubuhnya akan terasa sakit.

"Ron?" Panggil Salma, menepuk lengan Rony pelan. Rony yang merasa sedikit terganggu membuka matanya perlahan, terkejut melihat Salma yang kini berdiri di sebelahnya. Ia buru buru duduk, mengusap wajahnya.

"Kenapa tidur disini?" Tanya Salma.

"Ketiduran."

Salma mengangguk pelan, sepertinya dia tahu yang menyebabkan Rony bisa ketiduran disini. Salma mencari kacamatanya, setelah ketemu, dia tidak langsung kembali ke kamar. Salma mendudukkan diri tepat disebelah Rony.

"Sedih, Ron?" Salma menatap Rony yang masih diam ditempatnya.

"Kenapa?"

"Lu masih sedih nggak Paul pulang?"

"Nggak, biasa aja."

"Parah lu."

Rony tertawa pelan, "Paul cuma lulus, Sal. Nggak akan kemana mana."

"Tapi kan tetap aja, dia temen lu dari awal banget, kan?"

Rony mengangguk, menyandarkan punggungnya pada kepala sofa. Menghela napas pelan, "Iya, nggak apa apa."

"Laki laki emang selalu segengsi itu ya, Ron?"

Kali ini Rony menoleh, bingung mendengar pernyataan Salma beberapa detik yang lalu.

"Padahal kalo mau nangis ya nggak apa apa juga. Laki laki, kan bukan robot yang bisa disetting seolah nggak ada apa apa, dia juga punya perasaan, punya emosi. Apalagi kalo nangis depan perempuan, duh kesannya harga diri jatuh banget, padahal kan perempuan atau laki laki, sama sama butuh temen cerita." Salma menyindir. Karena ia paham betul tabiat pria disebelahnya ini, gengsinya lebih tinggi dari monas.

"Jadi kalo gue sekarang nangis, lu bakal nganggap gue lemah?"

Salma mendengus sebal, "Daya analisa lu aneh, Ron!" Sarkas Salma.

Rony tertawa, kembali menghela napas. "Paul jadi temen cerita gue, bahkan dari babak showcase." Rony mulai bercerita, menatap lurus ke depan, sedangkan Salma kini asyik menatap pria disampingnya.

"Dia yang tau semuanya tentang gue, Sal. Bahkan sampai hal terkecil pun. Sekarang dia pulang. Gue seneng gue lanjut, tapi nggak berbarengan dengan Paul pulang."

Salma mengangguk pelan, ia setuju. Salma ikut menyandarkan punggungnya, menatap kearah yang sama dengan Rony.

"Kita semua disini pasti tau rasanya ditinggal temen cerita, Ron. Sekarang kita tinggal bertiga, harus bisa saling terbuka, harus saling menguatkan. Jangan sungkan buat cerita atau butuh bantuan sama gue dan Nabila."

Fated | Salma Rony Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang