"Ca?"
Salma menoleh, melihat Rony yang tatapannya lurus ke depan, masih memperhatikan langit.
"Jangan ngomong ya hari ini, hemat suara." Rony meraih ponselnya, memberikannya pada Salma. "Diketik aja kalau mau ngomong. Sekarang biar gue yang ngomong,"
"Kemarin nangis lagi ya, Ca? Nabila khawatir banget."
Salma mengetikkan sesuatu, memberikannya pada Rony.
Nabila telfon lu?
"Nggak. Gue tahu dari Paul tadi. Nabila panik karena nggak bisa nenangin lu, dia sempat mau telfon gue dan minta gue datang, tapi dilarang sama Paul karena gue nya masih sakit."
Salma mengangguk pelan, meminum sebotol air yang sempat ia bawa.
"Tadi pas perjalanan kesini, Nabila jelasin yang kalian obrolin kemarin, gue yang minta. Gue yakin itu belum semua, soalnya gue keburu sampai. Gue yakin juga, kemarin nggak pertama kali nya lu nangis dalam seminggu ini. Pasti sering. Tapi sendirian, di kamar, iya, kan?"
Salma diam, memalingkan wajahnya, tidak mau menatap Rony. Ia lebih memilih menatap objek yang akhir akhir ini menjadi favorit nya, langit berwarna jingga didepan sana.
"Kenapa, Ca? Capek kan nangis terus?" Salma diam.
"Capek kan mikirin sesuatu yang seharusnya dibiarkan aja?" Salma masih diam.
"Mau sampai kapan?"
Kali ini Salma menatap Rony, matanya berkaca kaca, tapi ia memilih mengetiknya pada ponsel Rony, kalau ia bicara, yang ada Rony akan semakin mengomeli nya.
Gue harus bisa menuhin ekspektasi orang orang, Ron.
Rony mengangguk pelan, "Terus gimana sama diri lu sendiri? Kemana Salma yang selalu perform untuk dirinya sendiri?"
Salma langsung terdiam. Cara Rony menenangkannya tidak selamanya lembut, lebih sering seperti ini, membuat Salma sadar, bahwa yang dilakukannya salah.
"Ca, sadar, nggak? Suara lu yang habis itu, bisa jadi karena mindset lu sendiri, karena pemikiran buruk yang lu tanamkan di diri lu sendiri. Pikiran kalau akan gagal, akan hancur. Ca, gue tahu lu trauma sama masa lalu, sama kegagalan yang nggak pernah bisa dilupakan rasanya. Tapi kalau lu terus terusan berkutat sama masa lalu, kapan mau jalannya? Kapan mau berkembangnya?"
Rony menengadahkan tangannya, membuat Salma mengernyit bingung, namun beberapa detik kemudian ia tersadar, langsung meletakkan tangannya diatas tangan Rony. Rony mengusap lengan itu lembut, berusaha menyalurkan segala hal positif disana.
"Dengar ya, Ca. Apapun yang terjadi malam ini, biarlah terjadi. Ingat apa yang pernah lu bilang sama gue? Nggak usah dipaksain, jadi diri lu sendiri, let if flow, Ca."
Salma menatap mata teduh pria didepannya, tatapan mata itu, yang selalu membuatnya tenang, selalu membuatnya merasa aman.
"Sudah ya, Ca? Sedihnya sampai sini aja? Gue percaya, tahun ini, tahun lu."
Salma tersenyum lebar, air matanya menetes kembali tanpa diminta, dengan segera Salma mendekatkan diri, memeluk tubuh didepannya.
"Maaf, Ron."
Rony tidak menanggapi, ia lebih memilih mengusap lembut kepala Salma, berusaha menenangkan. Salma melepas pelukannya, masih menangis.
"Ca, udah. Sekarang lu istirahat sebentar, nanti lanjut GR."
"Nanti dulu, Ron. Senja nya belum habis."
"Sekarang, Ca. Senja masih ada lagi besok."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fated | Salma Rony
Fiksi RemajaTakdir. Satu kata beribu makna. Salma Salsabil Aliyyah, arek Probolinggo yang kembali mengadu nasibnya dalam dunia tarik suara setelah vakum selama beberapa tahun. Rony Parulian Nainggolan, pria batak yang tinggal lama di Jakarta, hidup sederhana da...