00.07 - Albi and his story.
-
happy reading bae💞🐾
ʕっ•ᴥ•ʔっ
“GAK! SAYA GAK MAU LIAT KAMU ANAK SIALAN!” Seorang wanita berteriak histeris, ia menunjuk-nunjuk pemuda di depannya yang sedang menundukkan kepala. Albi, laki-laki itu menatap bundanya prihatin.
“Bunda makan dulu, biar Abang suapin ya,” ujarnya dengan lembut.
Albi memegang nampan berisi satu mangkuk bubur juga air putih untuk memberikannya pada sang bunda yang sedang sakit.
Perempuan dengan rambut berantakan juga kantung matanya yang menghitam itu menatap anaknya dengan tajam.
“SUDAH SAYA BILANG GA MAU!” Rani, lagi-lagi teriak. Rani mengacak-acak rambutnya, ia mengamuk.
Albi berjalan perlahan kearah bundanya sambil tersenyum hangat. Pemuda berkaos putih dipadukan dengan celana pendek berwarna hitam itu hatinya merasa teriris melihat keadaan bundanya.
Pemuda itupun berjalan kearah nakas dan menyimpan nampannya, kemudian menghampiri sang bunda yang sedari tadi mengamati gerak-geriknya.
“Bunda, ini Albi, anak bunda,” ucap Albi dengan suara yang sedikit tercekat. Ia menatap bundanya yang sedang terduduk di pojok ranjang kamar. Tiba-tiba saja bundanya tersenyum.
“Albian, anakku.” Rani tiba-tiba saja melompat memeluk putranya itu hingga hampir membuat Albi terjengkang. “Jangan ikut papa ya nak, nanti bunda sama siapa kalo engga ada Abang?”
Rani Tanjung, wanita berdarah Sunda-jawa itu terkena penyakit gangguan mental akibat ulah sang mantan suami. Setiap hari wanita itu selalu mendapatkan cacian, makian juga pukulan dari suaminya yang tak lain adalah ayah dari Albi. Rani sering melamun dan berbicara sendiri hingga membuat beberapa orang menganggap wanita itu gila. Sampai akhirnya kewarasan Rani hilang, saat mengetahui sang suami berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Sejak saat itu, kepribadian Rani sering berubah-ubah.
Seperti saat ini, kepribadian wanita itu secara mendadak berubah. Yang tadinya marah-marah kini menjadi seorang yang lemah lembut.
Albi membalas pelukan bundanya. Pemuda itu menitikkan air matanya, tak kuasa menahan tangis sebab dadanya terasa sangat sesak. Melihat kondisi bundanya yang seperti ini, terkadang membuat pemuda itu terlihat sangat rapuh. Sifat temperamen nya tiba-tiba saja lenyap jika di hadapkan dengan wanita surganya.
Ia menangis dalam diam di dekapan sang bunda. Lelaki itu menyeka air matanya.
“Bunda makan ya.” Albi melonggarkan pelukannya. Ia kemudian menuntun sang bunda agar kembali duduk di tepi ranjang. Rani, bundanya hanya menurut saja.
Dengan mata yang terus-menerus memandangi wajah tampan sang anak, wanita berusia sekitar 40 tahun itu menggenggam erat tangan anak laki-lakinya. Takut jika sang anak tiba-tiba saja pergi dari sisinya.
“Abang mau ambil makan dulu, buat bunda. Bunda udah laper kan?”
Rani mengangguk, dengan perlahan ia melepaskan genggaman tangannya dari sang anak. Albi pun berjalan kearah meja nakas sambil terus-menerus di perhatikan oleh bundanya. Setelah mengambil mangkuk yang berisi bubur itupun, Albi menghampiri sang bunda dan dengan telaten menyuapi bundanya.
“Bunda harus makan banyak, biar Abang bisa jalan-jalan lagi sama bunda,” ucap Albi di sela-sela kegiatannya menyuapi sang ibunda tercinta. Sedangkan Rani, wanita itu hanya mengangguk mendengar ucapan anaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect person
Teen FictionRemayu Kamaliya Atmaja, selalu bertanya pada dirinya sendiri, tentang mengapa orang-orang di sekitarnya selalu memperlakukannya seperti binatang, memandangnya dengan tatapan jijik juga benci, dan mengolok-olok nya seakan-akan ia adalah makhluk palin...